Musim kemarau api. Musim penghujan banjir. Jakarta tidak bersahabat. Api dan airnya bencana. Entah karena kebodohan, kecerobohan atau keserakahan… Jakarta cuma enak buat cari duit. Nah, kalau duit sudah punya. Hijrah saja…
Salam,
Musim kemarau api. Musim penghujan banjir. Jakarta tidak bersahabat. Api dan airnya bencana. Entah karena kebodohan, kecerobohan atau keserakahan… Jakarta cuma enak buat cari duit. Nah, kalau duit sudah punya. Hijrah saja…
Salam,
Makanya, sampai ada teori soulmate segala macem. Saya menulis ini karena kemarin, sahabat saya menceritakan kegamangannya–begitu dia menyebutnya. Dia gamang dan takut kalau orang yang dia putuskan akan jadi pasangan hidupnya ternyata bukan “the one” yang dia cari.
Sahabat saya yang lain lagi, malah sedang berbahagia. Kemarin, dia baru saja jadian. Dan dia bilang, kalau orang itu mungkin yang dia cari selama ini. Pasalnya, setelah beberapa kali kencan, baru dengan orang itulah dia merasakan chemistry. Makanya, dia ungkapkanlah perasaannya itu. Hingga akhirnya mereka jadian.
Pertanyaan apakah pasangan kita adalah “the one” yang selama ini kita cari, agaknya menghantui banyak orang. Dan saya yakin, banyak orang yang bingung. Dari mana kita tau, kalau dia adalah “the one”? Bisa jadi, masih ada orang lain di luar sana yang ternyata lebih cocok dengan kita. Mungkin kamu juga punya pikiran seperti itu.
Tapi, saya belum sampai ke sana. Bukan apa-apa. Saya belum punya pacar lagi. Sudah lebih dari satu tahun saya sendiri. Dan, sebelumnya saya sempat naif, mengira kalau mantan saya itu adalah yang saya cari. Haha. Sialan! Lagi-lagi malah curhat. Harus segera dihentikan nih.
Sudah dulu ya. Buat kamu yang juga bertanya, saya doakan semoga mendapat jawabannya. Buat kamu yang sudah yakin dengan pilihannya, saya ucapkan selamat. Buat kamu yang masih mencari, saya ucapkan semoga sukses. Haha. Dan tetaplah mencari. Tetap yakin, “…because you got to have faith faith faith!”
Salam,
Primal Scream di XXMS. Arian, Bayu, Demit, Andira, Noxx, Wian. Lantai 3. “BUKAN PERPISAHAN INI YANG AKU TANGISI. TAPI PERTEMUAN INI YANG AKU SESALI.” –Chris Carraba, jejaka emo di white board. Blender, friendster, blogger di monitor…
23.52.
Alias uang berbicara. Memang, uang bukan segalanya. Tapi, sepertinya sekarang segala sesuatu butuh uang. Dan dengan begitu, uang jadi punya kuasa. Boleh punya pendapat lain. Yang jelas, saya baru saja mengalaminya. Di majalah tempat saya bekerja.
Dulu, sewaktu masih kuliah saya sering mempelajari ini. Betapa pemilik modal punya kuasa yang besar. Apa yang ada di kepala redaksi, bisa dengan mudah dipatahkan oleh sang pemilik uang. Dan, kalau begitu yang bisa dilakukan bawahan hanya menerima saja. Sialan!
Resiko jadi orang yang bekerja untuk orang lain. Ah, sudahlah. Saya hanya ingin berbagi saja. Lebih baik dikeluarkan daripada dipendam. Untungnya, saya berada di sekitar teman-teman yang kuat.
Tunggu saja! Kalau saya punya uang, saya yang akan punya kuasa! Hahaha. Eh, nggak deng. Kalau saya punya kuasa, saya tidak akan seperti mereka. Mudah-mudahan.
Salam,
Kamu memang cantik. Seksi. Dan kamu seksi. Mulus. Kamu juga mulus. Bahan hayalanku... Hey seksi! Ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu. Aku ingin sekali main rock n’ roll denganmu. Kalau kamu tidak suka rock n’ roll, blues oke? Hah, you know what I mean? Kau dan aku! [Suit-suit He he [Gadis Sexy]–Slank, 1990]
Sekali – sekali nggak nulis yang serius. Boleh kan? Sekadar intermezzo. Biar kamu menebak apa yang kira-kira ada di benak saya ketika menulis ini. Hahaha.
Salam,
Ada hitam ada putih. Ada manis ada pahit. Dan ada suka ada duka. Ribuan orang sedang berduka di Aceh dan Sumatera Utara. Tragedi ini sudah bukan jadi bencana nasional lagi. Perhatian dunia rupanya sudah ke sana juga.
Bantuan pun diberikan. Relawan pun berdatangan. Dan, ini yang menarik. Pesta-pesta pun diselenggarakan. Atas nama kepedulian. Atas nama pengumpulan dana. Konser peduli Aceh, charity show, dan entah apalagi sebutannya.
Ironis. Itu pandangan saya terhadap situasi seperti ini. Untuk menolong orang yang kesusahan, ternyata harus lewat acara senang-senang. Tidak. Saya tidak mengatakan kalau konser-konser yang mengatasnamakan kemanusiaan itu salah. Saya yakin tujuannya mulia, kok. Hanya saja. Itu yang sedikit mengganggu saya.
Kenapa tidak ada cara lain yang dianggap lebih ampuh selain mengadakan konser musik? Saya tau, musik adalah salah satu media yang paling ampuh untuk komunikasi. Tapi, agak ironis juga. Kalau orang-orang harus tertawa, berdansa, minum-minum, berpesta untuk menggalang dana.
Ironis.
Tapi, sudahlah. Apapun niat dan misi yang mereka kejar, mudah-mudahan acaranya setimpal. Mudah-mudahan semua pesta pora itu berguna untuk meringankan beban mereka. Mudah-mudahan.
Salam,
Saya rasa kata-kata itu selalu menghantui kamu juga. Sebanyak mereka menghantui saya. Saya tidak tau bagaimana dengan kamu, tapi kepala saya sepertinya selalu dihinggapi pertanyaan. Melihat orang tidur di kolong jembatan, saya bertanya, “Apakah dia punya keluarga?” “Di mana dia tinggal?” “Dari mana dia dapat uang makan?”. Datang ke pesta, saya bertanya, “Apa yang mereka cari?” “Kenapa mereka berdandan?” “Apakah mereka benar-benar bahagia?” Dan sekian banyak pertanyaan lain di kepala saya.
Entah kenapa. Rasanya semakin tua, pertanyaan justru semakin banyak. Dan, pertanyaan itu malah semakin membingungkan saja. Hahaha. Betul kan? Tulisan saya saja berisi pertanyaan melulu. Coba perhatikan. Sejak tulisan pertama, hingga sekarang. Saya pasti bertanya. Bertanya, bertanya selalu bertanya.
Mungkin itu juga yang membuat manusia tetap hidup. Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang memang ada di kepala. Termasuk saya dan kamu. Bukan begitu? Entahlah, kamu punya jawabannya. Bingung? Sama. Sudahlah.
Salam,
Saya lupa siapa yang mengatakan itu. Yang jelas, itu yang saya rasakan sekarang. Waktu saya untuk menulis di blog, dua hari ini nyaris tidak ada. Maklum, saya masih harus menyelesaikan tulisan yang lain. Masih menumpuk. Akhirnya, saya belum posting kemarin. Padahal, saya punya niat untuk meluangkan waktu menulis minimal satu tulisan per hari di sini.
Atas nama kepentingan mengasah kemampuan menulis tentunya. Tapi, sudahlah. Kadang-kadang sesuatu yang dipaksakan hasilnya tidak baik juga. Biarlah waktu saya untuk bermimpi sedikit dikurangi. Bukan apa-apa, blog ini bagian dari mimpi-mimpi saya juga. Dan tidak menulis satu hari di sini, berarti waktu saya mengejar mimpi sedikit berkurang.
Mulai melantur lagi, nih. Sudah ya. Lain kali saya habiskan lebih banyak waktu saya untuk mengejar mimpi lewat blog ini. Sekarang saya harus mengejar mimpi saya yang lain. Lewat media yang lain.
Salam,
Tangannya membentuk suapan kecil ketika dia mengucapkan itu. Badannya tegap, tambun. Tidak terlihat memprihatinkan. Laki-laki itu selalu telanjang dada. Bersimpuh di jembatan penyeberangan depan Plaza BII, Thamrin, sambil membawa sapu lidi. Hampir setiap hari saya bertemu dengannya. Setiap bertemu, dia selalu mengucapkan kalimat yang sama.
Saya tidak melakukan itu. Setiap kali dia minta uang, saya hanya tersenyum. Terkadang, pura-pura melihat ke arah lain. Tapi, saya juga pernah memberinya uang. Hanya saja, saya berpikir, kalau saya melakukan itu, bukankah itu hanya akan membuat dia semakin malas? Masalahnya, badannya cukup besar, dan kuat untuk bekerja. Minimal jadi kuli, lah. Kalau dia tidak punya kemampuan apa pun.
Saya juga sering berpikir, mungkin dia sudah berusaha. Tapi belum juga berhasil, bukan karena malas. Makanya, dia mengemis di sana. Setiap hari. Mengharap belas kasihan. Entahlah.
Dia tidak sendirian. Masih ada tiga pengemis di sana. Dua perempuan setengah baya [yang satu masih sehat, satu lagi kondisi fisiknya memprihatinkan], serta seorang laki-laki belasan tahun. Dan mereka melakukan itu setiap hari. Hanya hari-hari tertentu saja mereka tidak terlihat di sana.
Itu yang merisaukan saya. Kadang saya merasa iba. Kadang juga merasa tidak peduli. Lagipula, bukan hanya mereka yang butuh makan. Kalau saya memberi mereka sedekah setiap hari, saya khawatir mereka jadi tergantung. Dan akan meminta terus setiap hari.
Dan, pikiran bahwa saya telah menyisihkan sebagian rejeki saya untuk yang membutuhkan itu, menghentikan langkah saya. Saya telah menunaikan kewajiban. Makanya, saya tidak perlu memperhatikan mereka lagi. Lagipula, orang-orang yang lebih dekat saya juga membutuhkan sedekah. Si mbok pencuci pakaian di kost-an, atau para pengurus kost-an.
Ah. Itu selalu mengganggu saya. Atau, mungkin kehadiran mereka setiap hari sudah diatur Tuhan? Supaya saya selalu ingat. Bahwa tidak semuanya selalu bahagia di sini. Agar saya tidak lantas terbuai dalam indahnya hura-hura Ibu Kota! Hahaha.
Anjir! Semakin serius. Saya harus segera sudahi perenungan ini [Kalaupun ini termasuk ke dalam perenungan]. Sudahlah. Toh, rejeki setiap orang sudah diatur Tuhan.
Salam,
Ada orang mati ditembak.
Ada yang menarik. Ketika penembakan di Hilton itu terjadi. Katanya, si bos sedang bersama seorang perempuan–entah siapa. Kartu BCA yang digunakan perempuan itu ditolak. Singkat kata, si perempuan lapor kepada si bos. Entah bagaimana kejadian sebenarnya. Yang jelas, pegawai malang yang baru satu bulan kerja di sana itu, akhirnya mati ditembak si bos.
Saya tidak tau pasti, bagaimana attitude si bos. Hanya, mungkin kalau saja si perempuan tidak melaporkan soal ditolaknya kartu dia, si bos tidak akan menarik pelatuk. Ini yang menarik saya. Bagaimana peristiwa itu dipicu seorang perempuan.
Saya jadi ingat kisah Hawa yang meminta Adam memetik buah khuldi di surga. Sejak dimulainya kehidupan ini, rasanya laki-laki selalu berusaha memenuhi keinginan perempuan. Semua selalu untuk perempuan. Contoh lain; Superman dan Lois Lane. Coba perhatikan. Ceritanya pasti seputar bagaimana Superman menyelamatkan seorang Lois Lane. Mungkin, kalau tidak ada Lois Lane, Superman tidak harus repot menyelamatkan dunia. Lalu, kisah bagaimana Spiderman mati-matian menyelamatkan Mary Jane dari segala marabahaya.
Maaf. Bukan maksud saya menjelekkan perempuan. Saya masih normal, kok. Hahaha. Orientasi seks saya juga masih terhadap perempuan. Mereka mahluk cantik. Tanpa ada perempuan, tidak akan ada mahluk yang disebut laki-laki. Intinya, saya tidak membenci mereka.
Bahkan, setelah sekian banyak fakta bahwa banyak laki-laki melakukan kebodohan karena perempuan pun. Bukan hanya Adam, Superman dan Spiderman tentunya. Tapi, jutaan laki-laki lain di dunia. Sepanjang jaman.
Woman is a devil, kata Jim Morrison. Kata Jim dalam lagu itu, “…woman is a devil. That’s what I’ve been told. She’ll take all your money. Then she’ll spend all your gold. The devil is a woman. She’s a woman. Well I play my acts, honey. She take the whole damn role…”
Devil or not. Agaknya, saya masih belum bisa hidup tanpa mereka. Dan, kadang kala, justru bukankah itu yang membuat hidup sedikit menarik dan berwarna? Entahlah.
Salam,