Semua Ingin Makan
Tangannya membentuk suapan kecil ketika dia mengucapkan itu. Badannya tegap, tambun. Tidak terlihat memprihatinkan. Laki-laki itu selalu telanjang dada. Bersimpuh di jembatan penyeberangan depan Plaza BII, Thamrin, sambil membawa sapu lidi. Hampir setiap hari saya bertemu dengannya. Setiap bertemu, dia selalu mengucapkan kalimat yang sama.
Saya tidak melakukan itu. Setiap kali dia minta uang, saya hanya tersenyum. Terkadang, pura-pura melihat ke arah lain. Tapi, saya juga pernah memberinya uang. Hanya saja, saya berpikir, kalau saya melakukan itu, bukankah itu hanya akan membuat dia semakin malas? Masalahnya, badannya cukup besar, dan kuat untuk bekerja. Minimal jadi kuli, lah. Kalau dia tidak punya kemampuan apa pun.
Saya juga sering berpikir, mungkin dia sudah berusaha. Tapi belum juga berhasil, bukan karena malas. Makanya, dia mengemis di sana. Setiap hari. Mengharap belas kasihan. Entahlah.
Dia tidak sendirian. Masih ada tiga pengemis di sana. Dua perempuan setengah baya [yang satu masih sehat, satu lagi kondisi fisiknya memprihatinkan], serta seorang laki-laki belasan tahun. Dan mereka melakukan itu setiap hari. Hanya hari-hari tertentu saja mereka tidak terlihat di sana.
Itu yang merisaukan saya. Kadang saya merasa iba. Kadang juga merasa tidak peduli. Lagipula, bukan hanya mereka yang butuh makan. Kalau saya memberi mereka sedekah setiap hari, saya khawatir mereka jadi tergantung. Dan akan meminta terus setiap hari.
Dan, pikiran bahwa saya telah menyisihkan sebagian rejeki saya untuk yang membutuhkan itu, menghentikan langkah saya. Saya telah menunaikan kewajiban. Makanya, saya tidak perlu memperhatikan mereka lagi. Lagipula, orang-orang yang lebih dekat saya juga membutuhkan sedekah. Si mbok pencuci pakaian di kost-an, atau para pengurus kost-an.
Ah. Itu selalu mengganggu saya. Atau, mungkin kehadiran mereka setiap hari sudah diatur Tuhan? Supaya saya selalu ingat. Bahwa tidak semuanya selalu bahagia di sini. Agar saya tidak lantas terbuai dalam indahnya hura-hura Ibu Kota! Hahaha.
Anjir! Semakin serius. Saya harus segera sudahi perenungan ini [Kalaupun ini termasuk ke dalam perenungan]. Sudahlah. Toh, rejeki setiap orang sudah diatur Tuhan.
Salam,
0 Comments