Anak Muda, Musik dan Parc
tugas kedua saya untuk pelatihan jurnalisme sastrawi dari Yayasan
Pantau. Membuat tulisan dengan memasukan kata “saya” dalam tulisan. Ini
sebenarnya sudah sering saya lakukan di blog dan multiply. Tapi,
tulisan ini harus menggambarkan adegan.
Sebenarnya saya kurang puas dengan
hasilnya. Berhubung sudah malam, dan saya sudah mengantuk, akhirnya
saya kumpulkan seperti di bawah ini, buat besok. Tugas pertama sih,
dapat respon positif dari pengajar. Sesuai ekspektasi dia. Walaupun
beberapa peserta mengatakan tulisan saya terlalu segmented. “Terlalu
Jakarta,” kata peserta dari Papua.
Tulisan di bawah ini, adalah salah
satu adegan di Parc–mungkin akan dikritik lagi, karena terlalu
Jakarta. Bisa jadi, gabungan dari beberapa adegan yang saya muat di
satu tulisan. Ah biarlah. Toh, mereka tidak akan tau. Hihihi. Yang
dinilai kan, struktur dan gaya penulisannya.
Anak Muda, Musik, dan Parc
Oleh
Soleh Solihun
Parc,
nama tempat itu. Saya tidak tahu harus menyebut apa. Klub atau bar. Kalau
disebut klub, yang terbayang adalah klub malam tempat orang berdansa, berjoged,
bergoyang, bersenang-senang, minum-minum. Kalau disebut bar, berarti hanya
tempat minum. Tapi Parc adalah keduanya. Definisi klub, masuk di situ.
Orang-orang datang ke sana untuk bersenang-senang menikmati musik. Ada barnya
pula. Lokasinya cukup strategis. Ada di salah satu ruko di Jalan Iskandarsyah, dekat
Blok M. Itu agaknya jadi salah satu kelebihan Parc.
Tidak
seperti klub atau bar lain di Jakarta, pilihan musik yang dimainkan di sana
tidak mainstream. Anda bisa mendengar
para DJ memainkan musik mulai rock n’
roll, new wave, indie pop, hingga metal.
Begitu pula kelompok musik yang bermain di sana. Bukan tipikal home band klub,
atau café yang memainkan musik Top 40 dengan vokalis perempuan yang biasanya
dandanannya terlalu menor atau sangat seksi.
Itu
sebabnya, Parc didatangi banyak anak muda. Saya salah satunya. Entah kali ke
berapa, saya datang ke Parc, Kamis malam itu. Seperti biasa, selalu ramai.
Maklum, ada event mingguan bernama
Thusrday Riot. Tidak, saya tidak salah ketik. Itu memang cara pengelola Parc
menulisnya.
Di
pelataran parkir, di luar pintu masuk Parc, tampak puluhan anak muda. Dandanan
mereka senada. Celana jins ketat, kaos beraneka warna, sepatu Converse All
Star, atau Vans Old School bagi sebagian lelakinya. Sebagian dari yang
perempuan, memakai rok, kaos ketat dipadu rompi, kalung dan rambut dengan pony tail.
“Meliput
Leh?” tanya seorang laki-laki ketika saya baru datang. Saya lupa namanya.
“Oh,
nggak. Mau nonton aja,” jawab saya singkat sambil bersalaman.
Jadi
jurnalis membuat saya kenal banyak orang di sana. Sebagian besar dari mereka,
pernah saya wawancarai. Sebagian, ada yang kenal karena membaca tulisan saya di
majalah. Ini sebabnya, saya menikmati jadi jurnalis musik. Punya akses ke
berbagai event musik. Salah satu
impian saya.
Parc
punya dua lantai. Lantai bawah, tempat mendengarkan musik yang dimainkan DJ.
Lantai atas, tempat live music
digelar. Ruangannya tidak terlalu luas. Kira-kira sebanding dengan tiga per empat
ruang kelas di sekolah. Lantai atas, selalu penuh sesak. Asap rokok, aroma
minuman keras dan keringat campur jadi satu.
Ini
salah satu yang sering menggangu saya. Asap rokok dan minuman keras. Ada di
ruangan penuh asap rokok selama berjam-jam membuat mata saya perih. Saya bukan
perokok, walaupun banyak orang mengira saya perokok. Kata mereka, penampilan saya
seperti perokok. Dan saya juga tidak mengonsumsi alkohol. Saya sering
diolok-olok karena ini. Tidak jarang, teman-teman saya menawari bir dingin.
Seperti juga malam itu.
Leh, minum sedikit aja,” kata seorang teman.
“Nggak
ah. Makasih. Nggak minum euy.”
“Yang
bener Leh? Nggak minum?” kata seorang lagi.
“Iya
bener. Makasih ya.”
Saya
sering ada di situasi seperti itu. Banyak yang tidak percaya, kalau saya tidak
mengonsumsi alkohol. Tidak sedikit juga yang selalu menawarkan bahkan memaksa
saya minum. Padahal, saya murni datang ke sana untuk bersenang-senang. Dan saya
cukup senang, hanya dengan menikmati musik yang asik.
“Iya
nih, masa’ nggak mau minum. Katanya rock n’ roll. Suka Rolling Stones. Masa’
nggak minum. Mick Jagger juga minum Leh,” kata teman saya lagi, sambil tertawa
dan menyodorkan gelas.
“Eits. Mick Jagger mah Mick Jagger. Kan gua
cuma suka musiknya. Emang kalo suka musiknya, harus ikut-ikutan minum juga ya?
Nggak kan.”
menolaknya sekali lagi. Seperti juga di malam-malam lain. Saya tidak ikut
menenggak alkohol. Tapi, saya tetap bisa bersenang-senang bersama mereka. Menikmati
musik. Sesekali menggerakkan kaki mengikuti irama. Badan bergoyang, walau hanya
sedikit. Maklum, saya tidak bisa berdansa.
0 Comments