Tiga Kord dari Bandung
Yeah.
Ini masih dalam rangka tugas pelatihan jurnalisme sastrawi. Tulisan ini
saya buat setelah datang ke TRL, Sabtu [17/6] lalu. Selamat menikmati.
Tiga Kord dari Bandung
Oleh
Soleh Solihun
The
Super Insurgent Group of Intemperance Talent. Kumpulan orang yang punya bakat,
tapi tidak bisa mengendalikan dirinya. Begitu kira-kira arti nama itu. Kalau
itu terlalu panjang, panggil mereka The S.I.G.I.T. Salah satu rock n’ roll band dari Bandung. Mereka
adalah vokalis/gitaris Rekti, Bassist Adit, gitaris Farri, dan drummer Acil.
Fenomena
garage rock revival di akhir ’90-an
hingga awal 2000-an, yang melanda industri musik dunia, ikut berpengaruh
terhadap mereka. Ketika kelompok musik macam The Hives, The Strokes, The Vines,
dan banyak lagi nama mencuri perhatian publik, Rekti dan kawan-kawan dapat inspirasi.
“Bukan berarti kami ikut-ikutan trend. Fenomena itu seperti membuat kami panas.
Ah, kalau musik tiga kord doang sih, kami juga bisa. Bahkan mungkin bisa lebih
bagus!” kata Rekti.
Persahabatan
yang dimulai sejak tahun ’94 akhirnya menghasilkan The S.I.G.I.T. pada tahun
2002. Dua tahun kemudian, self titled
mini album mereka dirilis di bawah Spills Records. 2000 kaset diproduksi,
sekitar 1000 kaset terjual ke pasaran. “Sisanya lagi, nggak tau ke mana,” kata
Rekti sambil tersenyum.
Tiga
tahun sejak album dirilis, belum ada perkembangan yang berarti. Nama The
S.I.G.I.T. belum juga dikenal banyak orang. Tidak aneh sebenarnya. Kelompok
musik serupa, macam katakanlah The Brandals atau Speaker 1st pun
belum mendapat popularitas dan kesuksesan finansial yang luar biasa. Walau
begitu, tawaran manggung untuk The S.I.G.I.T. masih berdatangan.
Sabtu
[17/6] malam lalu, mereka tampil di TRL Bar, di Jalan Braga 115, Bandung. Nama TRL
diambil dari kata Traffic Light. Lokasinya memang ada di persimpangan antara
Jalan Braga dan Jalan Suniaraja. Otomatis, ada lampu lalu lintas di sana. Bar
itu ada di lantai dua. Dari dalam ruangan, terlihat suasana jalan raya. Sedikit
mengingatkan pada salah satu program di MTV dengan nama yang sama; TRL,
kependekan dari Total Request Live. Studio TRL ada di lantai atas.
Pemandangannya; suasana jalan raya. Berbeda dengan TRL dari MTV, TRL Bar dibuka
khusus untuk mereka yang ingin menikmati musik yang tidak mainstream.
Ini
kali ke-tiga The S.I.G.I.T manggung di TRL. Kata manggung mungkin kurang cocok.
Karena tidak ada panggung di sana. Para pemain dan penonton berdiri sejajar di
lantai yang sama. Ukuran ruangan bar yang tidak terlalu besar, menambah kesan
akrab. Pukul 22.00, kelompok musik bernama Vincent Vega jadi pembuka selama
setengah jam. Tanpa basa-basi, The S.I.G.I.T. tampil sesudahnya.
Mereka
membawakan lagu-lagu dari upcoming album yang akan dirilis FFWD
Records—label dari Bandung yang sukses memasarkan Mocca—Agustus nanti. Semua
lagunya berbahasa Inggris. Rekti penulis liriknya. Tapi, rock n’ roll bukan jadi alasan liriknya dibuat dalam bahasa
Inggris. “Bahasa Indonesia kesannya buat komunikasi sehari-hari aja. Bukan
untuk menggambarkan apa yang ada di hati,” kata Rekti.
Bagi
Rekti, tampil di TRL, “seperti latihan yang ditonton.” Banyak orang yang dia kenal malam itu. Makanya,
dia terlihat rileks. Tidak banyak berkomunikasi dengan penonton. Hanya sesekali
menyapa dan mengenalkan lagu baru. Adit dan Farri, mengimbangi dengan bergoyang
mengikuti irama. Acil yang paling enerjik. Maklum, drummer. Penampilan keempat
anak itu, layaknya banyak personel rock
n’ roll bands; berambut gondrong. Rambut Rekti, sedikit mengingatkan pada
rambut Robert Plant, vokalis Led Zeppelin—salah satu kelompok musik yang
memberi banyak pengaruh pada musik The S.I.G.I.T. Tentu saja, soal kemiripan
rambut hanya karena Rekti dan Plant sama-sama berambut ikal.
Untuk
sebuah rock n’ roll show, penonton
malam itu, bisa dibilang malu-malu. Tidak banyak bergerak. Hanya menggerakkan
kepala. Menghentakkan kaki. Sesekali ikut bernyanyi. Ada banyak kemungkinan.
Kata Rekti, penonton di Bandung lebih jaga gengsi dibandingkan penonton,
katakanlah Jakarta. Tidak akan memulai berjoged, kecuali ada yang memulai. Bisa
jadi juga, mereka yang datang menonton malam itu, banyak yang masih remaja.
Anak sekolah, yang mungkin masih canggung untuk berjoged di sana. Kemungkinan
lain, banyak dari penonton musik di Bandung, yang juga bermain musik. Punya kelompok
musik. Ketika datang ke pertunjukkan musik, mereka lebih banyak memerhatikan
penampilan si kelompok musik. Bagaimana sound-nya.
Bagaimana skill si personel. Hingga, instrumen
apa yang digunakan. Bukannya menikmati musik. “Mentalnya mental kritik. Bahaya euy!” kata Rekti sambil tertawa.
0 Comments