Perjalanan Majalah Musik di Indonesia
Kata
Frank Zappa, “Most rock journalism is about people who can’t write
interviewing people who can’t talk for people who can’t read.” Mungkin
dia benar. Makanya, majalah musik di Indonesia tidak pernah bertahan
lama. Walaupun istilah rock journalism belum ada di Indonesia.
Ini masih dalam rangka kursus
jurnalisme sastrawi. Tugas terakhir adalah membuat outline. Untuk buku,
atau pelaporan mendalam. Saya memilih buku. Dan ini, kira-kira yang
ingin saya buat.
Outline Buku “Perjalanan Majalah
Musik di Indonesia” karya Soleh Solihun. [Amiiin].
musik di Indonesia tidak pernah bernasib baik. Umurnya tidak pernah bertahan
lama. Kalau dibandingkan di luar negeri, mereka punya majalah musik yang
bertahan puluhan tahun. Rolling Stone, NME, Blender, Spin, beberapa di
antaranya.
Di
Indonesia, satu-satunya majalah musik yang pernah bertahan lama, hanyalah
Aktuil. Dari tahun 1967, hingga 1981. Itu pun, hanya mengalami masa jaya pada
kurun waktu 1970 – 1975. Setelah Aktuil, belum ada majalah musik yang bisa
menyamai kesuksesan itu. Nah, buku ini ingin memaparkan bagaimana kisah majalah
musik di Indonesia. Kenapa tidak pernah ada yang sukses? Bagaimana peranannya
dalam perkembangan industri musik di Indonesia? Dan banyak pertanyaan lain.
Untuk
menceritakan perjalanan majalah musik di Indonesia, saya bagi ke dalam empat
periode.
Periode ’70-an.
Majalah
yang diceritakan di sini, adalah Aktuil. Disinggung sedikit soal majalah musik
sebelum Aktuil, yaitu Musika, yang terbit tahun ’50-an. Tapi karena Aktuil yang
paling fenomenal, maka kisah ini dimulai di sini. Plus, industri musik
Indonesia di tahun ’70-an mulai menunjukkan geliatnya.
Cerita
dimulai dari pernyataan Remy Sylado, soal tidak akan mau lagi mengurus majalah
musik. Dibayar berapapun. Lantas, flashback ke masa ketika Sylado ditawari jadi
redaktur di Aktuil. Majalah ini kemudian berkembang. Sylado salah satu tokoh
kunci. Sylado pula yang hingga sekarang masih dikenal publik. Itu sebabnya,
karakter Sylado untuk menceritakan majalah Aktuil tepat digunakan. Dia juga
bisa bicara banyak soal industri musik serta jurnalis musik di Indonesia.
Di
periode ini, diceritakan juga, bagaimana Bens Leo yang masih muda bergabung di
Aktuil. Dia juga salah satu alumni Aktuil yang masih aktif hingga sekarang. Bens
Leo juga jadi Pemimpin Redaksi NewsMusik, majalah musik yang kemudian terbit di
akhir ’90-an.
Periode ’80-an.
Banyak
yang mencoba mengulang kesuksesan majalah Aktuil. Vista Musik di antaranya.
Beberapa awak Aktuil bahkan ikut bergabung di sini. Tapi, Vista Musik tidak
berhasil juga. Berubah format jadi Vista Film, Musik, Televisi. Di akhir
’80-an, majalah Hai mulai berubah format jadi majalah remaja pria. Arswendo
masuk.
Periode ’90-an.
Di
awal tahun ’90-an, Tabloid Citra Musik terbit. Setelah Monitor dibredel,
pelan-pelan tabloid ini berubah format jadi tabloid hiburan. Untuk mengganti
posisi Monitor. Beberapa karakter di era ini, Remy Soetansyah, dan Hans Miller
Banureah. Dua nama ini, akan masuk lagi dalam cerita, di awal 2000-an.
Di
era ini, Hai jadi majalah yang paling banyak memberi informasi musik. Remaja
Indonesia, rasanya percaya saja apa yang Hai katakan. Mirip dengan yang dialami
Aktuil. Sejarah berulang. Hanya, Hai masih bisa diselamatkan. Porsi musik dikurangi
sedikit demi sedikit. Perusahaan yang besar di belakangnya, jadi salah satu
faktor penentu juga. Di era ini, nama Denny MR muncul. Di era ini pula,
Arswendo pernah mengelola Tabloid Dangdut selepas dari penjara. Tabloid Dangdut
juga tidak bernasib baik.
Periode 2000-an.
Akhir
’90-an dan awal 2000-an, muncul media massa musik. Tabloid MUMU, yang hanya
bertahan sekitar empat tahun. Majalah NewsMusik, yang hanya tiga tahun. Dan
tabloid Rock, yang hanya sekitar 52 edisi. Remy Soetansyah dan Hans Miller Banureah
dua petingginya. Majalah Popcity juga hanya bertahan sekitar tiga tahun.
Majalah Poster juga tidak lebih baik nasibnya. Di era ini, beberapa majalah
independen, yang membahas musik cutting edge terbit. Trolley, hanya 11 edisi.
Kini, hanya beberapa nama bertahan. Trax dan Ripple di antaranya. Ripple
majalah independent yang banyak menulis musik yang tidak mainstream. Sekarang
berubah jadi majalah gratisan. Sebagian halamannya diisi katalog produk distro.
Alurnya
kronologis. Tapi, di setiap periode, tentu saja digambarkan konflik-konflik
yang melanda majalah-majalah itu. Beberapa kisah yang berulang juga, akan
menarik untuk diceritakan. Misal, kesamaan Aktuil dan Ripple, yang terbit dari
Bandung. Soal porsi musik rock yang cukup besar di Aktuil dan Trax. Cerita
berhenti di tahun 2006. Menyisakan pertanyaan, soal berapa lama majalah musik
yang sekarang masih terbit bisa bertahan? Apakah sejarah akan berulang?
0 Comments