Meringis di Bis
Jangan pergi ke Cirebon naek bis!
Apalagi kalau kamu pergi dari
Jakarta. Ini sedikit cerita pengalaman saya naek bis dari Jakarta ke
Cirebon. Sabtu [15/7] kemarin saya ke Cirebon. Pacar saya sedang KKN di
Desa Plumbon, Kabupaten Cirebon. Makanya, saya kunjungi. Hehe.
Saya
pilih bis, karena lebih dekat ke terminal, dari pada ke Stasiun dari
kosan. Lebih praktis lah. Plus, jadwal kereta belum tau pasti.
Jam
tujuh pagi, saya berangkat dari kosan. Sarapan dulu. Jam delapan di
Terminal Lebak Bulus. Tapi, tidak ada Bis Jakarta Cirebon yang ber-AC.
Lantas, saya pergi ke Kp. Rambutan. Seperti biasa, terminal selalu
menjengkelkan. Begitu tiba, banyak calo menghampiri. “Mau ke mana Bang?”
Awalnya
saya menolak. Tapi, setelah kesulitan mencari bis Cirebon, saya
menyerah juga. Tidak berapa lama setelah saya bilang Cirebon, tahu-tahu
tangan sudah diseret ke bis AC jurusan Cirebon. Ah, akhirnya bis AC
juga. Tapi, begitu duduk, saya kaget. Karena bis ini, kursinya dua –
tiga. Bukan dua- dua, seperti di bis AC yang lainnya.
Ini sudah
mencurigakan. Hmmm, alamat tidak nyaman nih. Begitu pikir saya. Tapi,
saya berusaha tepis jauh-jauh pikiran itu. Ah, mungkin bis AC ke
Cirebon memang begitu. Yang penting, bis dingin. Berapa lama pun saya
duduk, tidak apa-apa lah. Asal dingin. Asal sepi. Waktu saya duduk di
sana, cuma ada sekitar tujuh orang menempati kursi.
Jam setengah
sepuluh bis keluar dari terminal. Baru sejam kemudian, bis mulai masuk
Tol Luar Kota. Di sini mulai mencurigakan. Penumpang mulai berdatangan.
Bis mulai tidak dingin. Dan beberapa penumpang, mulai menawar tarif Rp
45 ribu yang ditetapkan kondektur. Mereka kelihatan tidak cocok dengan
harga itu.
Biasanya, penumpang bis AC tidak menawar tarif. Hmmm.
Semakin mencurigakan nih. Di pintu tol Pondok Gede, semakin kuat
kecurigaan saya kalau bis ini akan tidak nyaman. Penumpang semakin
memenuhi bis. Dan tidak sedikit dari mereka yang mengeluarkan bau tidak
sedap dari badannya. Dan beberapa dari mereka juga, mulai menawar tarif.
Maka,
sesaklah bis itu. Tidak ada yang berdiri memang. Tapi, AC sekarang
sudah tidak terasa dingin. Seorang pengamen masuk. Bernyanyi, dengan
gitar fals. Tepat di telinga saya. Tampangnya awut-awutan. Beres
pengamen, pedagang donat masuk. Presentasi dulu sekitar lima menit,
lalu menaruh donat di pangkuan masing-masing penumpang. “Anda tidak
berminat, kami ambil kembali,” begitu kalimat standar yang mereka
gunakan untuk menutup presentasi.
Dan dari situ, bis itu tidak
pernah sepi lagi. Impian saya untuk tidur di bis, lenyap sudah. Belum
lagi, dengkul saya mentok di sana. Boro-boro bisa tidur kalau begitu.
Dan penumpang di bis itu, tidak bisa diam. Rasanya semua berbicara.
Saya
jadi heran. Dan timbul pertanyaan. Kenapa penumpang kelas menengah ke
bawah, selalu lebih ribut di bis antar kota? Soalnya, kalau saya naek
bis Bandung Jakarta, AC dengan kursi dua – dua dan tanpa dengkul
mentok, penumpangnya diam, tenang, tidak banyak bicara.
Sepanjang
Pantura, pedagang keluar masuk bis itu. Barulah saya yakin, bis itu
bukan bis AC seperti yang saya bayangkan. Pedagang mulai kacang polong,
pensil 2B, buku, salak, jeruk, air minum, tahu, semua ada! Datang
bergantian.
Sekitar setengah empat, saya tiba di tujuan. Dan
ketika saya turun, barulah saya lihat di bis itu, tulisan Bisnis AC.
Akhirnya! Bebas! Pulangnya, saya pilih naek kereta saja. Yang ternyata,
jauh lebih nyaman, menenangkan, dan lebih cepat. Tiga jam saja.
Tidak lagi-lagi deh, naek bis ke Cirebon.
Apalagi kalau kamu pergi dari
Jakarta. Ini sedikit cerita pengalaman saya naek bis dari Jakarta ke
Cirebon. Sabtu [15/7] kemarin saya ke Cirebon. Pacar saya sedang KKN di
Desa Plumbon, Kabupaten Cirebon. Makanya, saya kunjungi. Hehe.
Saya
pilih bis, karena lebih dekat ke terminal, dari pada ke Stasiun dari
kosan. Lebih praktis lah. Plus, jadwal kereta belum tau pasti.
Jam
tujuh pagi, saya berangkat dari kosan. Sarapan dulu. Jam delapan di
Terminal Lebak Bulus. Tapi, tidak ada Bis Jakarta Cirebon yang ber-AC.
Lantas, saya pergi ke Kp. Rambutan. Seperti biasa, terminal selalu
menjengkelkan. Begitu tiba, banyak calo menghampiri. “Mau ke mana Bang?”
Awalnya
saya menolak. Tapi, setelah kesulitan mencari bis Cirebon, saya
menyerah juga. Tidak berapa lama setelah saya bilang Cirebon, tahu-tahu
tangan sudah diseret ke bis AC jurusan Cirebon. Ah, akhirnya bis AC
juga. Tapi, begitu duduk, saya kaget. Karena bis ini, kursinya dua –
tiga. Bukan dua- dua, seperti di bis AC yang lainnya.
Ini sudah
mencurigakan. Hmmm, alamat tidak nyaman nih. Begitu pikir saya. Tapi,
saya berusaha tepis jauh-jauh pikiran itu. Ah, mungkin bis AC ke
Cirebon memang begitu. Yang penting, bis dingin. Berapa lama pun saya
duduk, tidak apa-apa lah. Asal dingin. Asal sepi. Waktu saya duduk di
sana, cuma ada sekitar tujuh orang menempati kursi.
Jam setengah
sepuluh bis keluar dari terminal. Baru sejam kemudian, bis mulai masuk
Tol Luar Kota. Di sini mulai mencurigakan. Penumpang mulai berdatangan.
Bis mulai tidak dingin. Dan beberapa penumpang, mulai menawar tarif Rp
45 ribu yang ditetapkan kondektur. Mereka kelihatan tidak cocok dengan
harga itu.
Biasanya, penumpang bis AC tidak menawar tarif. Hmmm.
Semakin mencurigakan nih. Di pintu tol Pondok Gede, semakin kuat
kecurigaan saya kalau bis ini akan tidak nyaman. Penumpang semakin
memenuhi bis. Dan tidak sedikit dari mereka yang mengeluarkan bau tidak
sedap dari badannya. Dan beberapa dari mereka juga, mulai menawar tarif.
Maka,
sesaklah bis itu. Tidak ada yang berdiri memang. Tapi, AC sekarang
sudah tidak terasa dingin. Seorang pengamen masuk. Bernyanyi, dengan
gitar fals. Tepat di telinga saya. Tampangnya awut-awutan. Beres
pengamen, pedagang donat masuk. Presentasi dulu sekitar lima menit,
lalu menaruh donat di pangkuan masing-masing penumpang. “Anda tidak
berminat, kami ambil kembali,” begitu kalimat standar yang mereka
gunakan untuk menutup presentasi.
Dan dari situ, bis itu tidak
pernah sepi lagi. Impian saya untuk tidur di bis, lenyap sudah. Belum
lagi, dengkul saya mentok di sana. Boro-boro bisa tidur kalau begitu.
Dan penumpang di bis itu, tidak bisa diam. Rasanya semua berbicara.
Saya
jadi heran. Dan timbul pertanyaan. Kenapa penumpang kelas menengah ke
bawah, selalu lebih ribut di bis antar kota? Soalnya, kalau saya naek
bis Bandung Jakarta, AC dengan kursi dua – dua dan tanpa dengkul
mentok, penumpangnya diam, tenang, tidak banyak bicara.
Sepanjang
Pantura, pedagang keluar masuk bis itu. Barulah saya yakin, bis itu
bukan bis AC seperti yang saya bayangkan. Pedagang mulai kacang polong,
pensil 2B, buku, salak, jeruk, air minum, tahu, semua ada! Datang
bergantian.
Sekitar setengah empat, saya tiba di tujuan. Dan
ketika saya turun, barulah saya lihat di bis itu, tulisan Bisnis AC.
Akhirnya! Bebas! Pulangnya, saya pilih naek kereta saja. Yang ternyata,
jauh lebih nyaman, menenangkan, dan lebih cepat. Tiga jam saja.
Tidak lagi-lagi deh, naek bis ke Cirebon.
0 Comments