Dicari: Kritikus Musik Lokal!
Suatu hari,
seorang kawan mengeluh. Album kompilasi yang dia produksi, tidak mendapat
review yang asik dari salah satu majalah musik ibukota. Tidak. Bukan karena
dibilang buruk. Tapi, si penulis review hanya mendeskripsikan kelompok musik
serta alirannya. Tanpa mengatakan dengan jelas kualitas album itu.
Saya
hanya cengengesan mendengar keluhan dia. Sebagai jurnalis, saya tau kalau
menulis review itu salah satu pekerjaan yang tidak mudah. Tapi, saya juga tau
rasanya jadi pembaca. Orang berharap penulis review bisa memberi gambaran
apakah album itu bagus atau tidak.
Lantas
saya teringat kata salah satu narasumber skripsi saya soal majalah musik di
Salah satu penyebab tidak banyak majalah musik yang bertahan lama, karena
kurangnya kritikus musik. Coba saja, sekarang kalau kamu ditanya siapa jurnalis
atau kritikus musik asal
yang cukup disegani, apakah kamu bisa menjawabnya? Saya rasa agak susah.
Era
’70-an nama Remy Sylado pernah menempati posisi itu ketika aktif. Denny MR juga
pernah berjaya di masa keemasan majalah Hai di era ’90-an. Tapi sekarang? Oke,
ada beberapa nama seperti Denny Sakrie yang cukup disegani di kalangan
tersendiri. Hanya, harus diakui
tidak punya kritikus musik sekelas Lester Bangs misalnya. Jurnalis-jurnalis
muda dari Rolling Stone Indonesia sepertinya punya kesempatan untuk jadi
kritikus/jurnalis musik yang disegani. Tapi, waktu yang akan menjawabnya.
Andreas
Harsono, Ketua Yayasan Pantau [yayasan yang menaruh perhatian besar terhadap
jurnalisme] berkata pada saya suatu hari, “Salah satu penyebab jurnalisme musik
di
tidak berkembang, karena tidak ada independensi. Wartawan musik merangkap humas
si musisi. Jadi penyelenggara konferensi pers. Hobinya
Ucapan
dia mengingatkan saya pada perkataan Lester Bangs di film Almost Famous. “You made friends with them. See, friendship
is the booze they feed you. They want you to get drunk on feeling like you
belong…I know you think those guys are your friends. You wanna be a true friend
to them? Be honest, and unmerciful,” kata Bangs kepada jurnalis muda
bernama William Miller.
Sekarang,
jangan bermimpi dulu kita disuguhkan oleh kolom musik yang berkelas, review
album atau review konser yang memikat saja masih jarang. Coba, kapan terakhir
kamu membaca review penulis lokal hingga membuat kamu tergerak membeli album
yang direview dia? Atau, kapan terakhir kamu baca kolom musik di majalah lokal?
Majalah musik terbitan luar biasanya punya ruang untuk kolom musik. Dari
ruang-ruang itulah, kritikus musik yang disegani, muncul. Bukan cuma review, pelaporan
mendalam soal musik dengan standar jurnalisme yang tinggi malah datang dari
media yang bukan berbasis musik.
Lantas,
soal berteman dengan narasumber. Itu bukan sesuatu yang buruk. Hanya, maksud
dari perkataan Lester dan Andreas, adalah jangan lantas jurnalis menjadi tidak independen.
Tapi, ini juga masih kurang dipahami beberapa musisi lokal. Saya punya
pengalaman soal ini. Vokalis band yang musiknya terpengaruh kuat era ’80-an
pernah bertanya pada teman saya, setelah album terakhir band itu saya tulis
jelek. “Si Soleh kok bilang album gue jelek ya?
hanya bisa cengengesan mendengar cerita teman saya. Secara musikalitas mereka
memang makin menurun. Lebih bagus jadi MC. Kurang diskusi. Kalau kamu sudah tau
band mana yang saya maksud, mungkin kamu juga setuju dengan saya. Kecuali tentu
saja kamu bagian dari banyak perempuan yang belakangan jadi penggemar band itu.
Bahkan kelompok
musik dengan basis massa yang sangat besar pun, pernah kesal karena di salah
satu edisi majalah tempat saya bekerja dulu, dikritik video klip mereka yang buruk.
Sempat terjadi ‘keributan’ di kantor manajemen mereka setelah tulisan itu
dimuat. Pernah, di tahun 2001, vokalis pemuja Kahlil Gibran meminta salah satu
tabloid menulis ulang profil dia. Setelah sebelumnya penulis musik di sana
mengritik betapa album solo dan album band dia tidak jauh berbeda.
Saya percaya,
tidak ada benar dan salah dalam musik. Maksudnya, walaupun katanya cuma ada dua
musik—baik dan buruk—lagi-lagi, itu masih relatif. Ini bukan ilmu pasti. Tapi,
kritik musik harusnya bisa menjadi sesuatu yang bisa dipikirkan musisi lokal.
Supaya bisa lebih baik lagi dalam berkarya. Mungkin musisi lokal masih harus
belajar menghadapi kritik. Mungkin juga jurnalis-jurnalis musik lokal harus
banyak belajar membuat tulisan soal musik yang lebih baik lagi.
Termasuk saya
tentunya.
*saya menyumbangkan tulisan di atas untuk edisi perdana majalah Encore. Majalah indie terbitan anak-anak Bandung.
0 Comments