Waktu SD dulu, setiap habis liburan, tugas standar pelajaran Bahasa Indonesia adalah membuat karangan dengan tema liburan. Untuk mengenang masa SD, saya ingin menuliskan kembali apa saja yang saya lakukan libur lebaran kemarin.
Jumat [20/10] malam, saya pulang ke Bandung. Bis Primajasa jurusan Lebak Bulus — Bandung yang saya tumpangi, berangkat dari Lebak Bulus jam sembilan malam. Sejam kemudian, bis itu baru masuk tol Cipularang. Dan perjalanan itu merupakan perjalanan paling lama saya lewat tol itu, karena baru jam dua pagi saya tiba di Leuwi Panjang.
Ah, mungkin hanya di Indonesia, ada yang namanya arus mudik. Soalnya, saya tidak pernah melihat kejadian itu di film-film Hollywood. Entah pendapat saya ini benar atau tidak. Mungkin hanya orang Indonesia yang tahu namanya arus mudik dan arus balik. Bahkan, saya tidak tahu bahasa Inggrisnya arus mudik. Going Home Stream?
Puasa terakhir saya habiskan dengan teman. Dari depan rumah teman saya, yang kebetulan tepat di depan Bandung Indah Plaza, saya lihat orang-orang bertakbiran. Ada yang konvoi naek motor. Ada yang naek mobil bak. Bising. Takbir sih takbir. Tapi, kenapa juga mesti ke jalan-jalan ya?
Saya kurang mengerti aturan dalam agama. Apakah memang ada sunah Nabi yang mengatakan ketika takbiran orang-orang harus berkeliling kota, mengumandangkan takbir? Yang saya tau, bukannya orang-orang itu harus bertakbir di mesjid ya? Ah tau ah.
Cuma ya itu tadi. Saya jadi risih. Sepanjang jalan, saya lihat konvoi. Ada yang ugal-ugalan naek motor. Meniup terompet. Seperti tahun baru saja. Sebagai pengendara motor, saya jadi semacam terganggu jadinya. Kenapa ya mesti begitu? Bukankah katanya hari kemenangan? Hari ketika semua jadi fitri, suci kembali? Tapi cara mengekspresikannya bisa mengganggu orang lain.
Ah sudahlah. Langsung ke bagian lebaran. Saya dan seluruh penduduk di Kampung Cibodas–kampung keluarga besar dan tempat saya berlebaran sepanjang hidup saya–memilih berlebaran hari Selasa. Saya sih ikut pemerintah saja lah. Ikut yang rame. Kadang saya suka heran. Kenapa juga mesti ada dua hari yang berbeda? Walaupun saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Tapi, harusnya ada yang bisa mengalah lah. Ah entahlah. Saya kurang paham soal ini.
Lebaran di rumah saya selalu sama. Sejak saya ingat. Beres sholat Ied, orang-orang berbaris. Mulai dari dalam masjid hingga ke jalan. Praktis, saya bisa bertemu hampir semua orang di kampung itu dalam hitungan jam. Tidak perlu mengunjungi banyak rumah. Dan tidak perlu dikunjungi banyak orang.
Beres salam-salaman, kunjungannya pasti makam. Saya selalu teringat kematian setiap kali datang ke makam. Banyak hal yang saya pikirkan. Apakah saya akan bahagia di sana? Apakah keluarga dan teman-teman saya kelak akan mengunjungi makam saya, setelah saya meninggal? Apakah ada yang mendoakan saya nanti?
Yah begitulah. Tengah hari, keriaan lebaran sudah tidak terasa. Walaupun perut masih penuh oleh opor ayam dan ketupat, praktis tidak ada kegiatan lain. Saya biasanya hanya mengisinya dengan tidur siang atau nonton TV. Berbeda dengan suasana di rumah pacar saya. Di sana, selalu sibuk. Sejak beres sholat Ied hingga malam hari, hampir tidak bisa istirahat. Tamu-tamu selalu berdatangan.
Hari kedua lebaran, keluarga saya pergi ke Garut, desa Sumur Sari. Nenek dari ibu saya, berasal dari sana. Jadi agak-agak gimana juga. Diingatkan kembali akan nenek moyang saya yang pendiri pesantren. Haha. Kelakuan saya belum Islami. Baru namanya saja.
Pulang dari Sumur Sari, kami berpikir untuk mampir di kawasan wisata pemandian Cipanas di Garut. Entah siapa yang melontarkan ide itu waktu berangkat. Sampai di sana, ternyata pelayanannya MENGESALKAN! Kami masuk semacam kawasan wisatanya. Bayar parkir tiga ribu. Padahal, tiketnya bilang seribu tarifnya. Petugas parkir bilang, masih banyak tempat kosong.
Dengan lincah, beberapa orang memandu kami. Eh tiba-tiba, kami diarahkan ke gerbang salah satu hotel di sana. “Berapa orang Pak?” tanya petugas di sana. Terang saja kami kesal. Katanya mau ditunjukkan tempat parkir. Ini kok, tiba-tiba disuruh masuk ke hotel itu. Padahal, niatnya, kami parkir lalu pikir-pikir, pemandian mana yang enak dikunjungi.
Rombongan keluarga saya akhirnya minta diarahkan ke tempat parkir. Seorang memandu kami ke lahan parkir kosong. “Parkir dengan dibersihin mobil, jadinya sepuluh ribu ya Pak!” kata seorang dari mereka begitu kami turun. Sialan. Katanya mau diarahkan ke tempat parkir, tiba-tiba belum apa-apa sudah ditagih macam-macam. “Ini beda dengan yang di depan Pak. Lahan parkirnya punya pribadi,” kata si orang lokal. Padahal, kata petugas parkir depan kami disuruh mengikuti orang-orang itu untuk mencari lahan parkir. Kenapa jadinya seperti dijebak ya?
Karena kesal. Merasa ditipu. Kami langsung pulang ke Bandung. Payah. Dinas Pariwisata Garut harusnya memikirkan hal ini.
Oke, cukup bicara lebaran bersama keluarga. Jumat [27/10] malam, ada hiburan liburan yang menyenangkan. Konser Iwan Fals gratis di lapangan Gasibu. Aslinya, itu acaranya Gudang Garam. Ada Pas Band dan Cokelat sebelum Iwan. Dan begitu Iwan naik panggung, baligo raksasa Gudang Garam di kanan kiri panggung dicopot. Mungkin permintaaan manajemen. Saya setuju sekali. Soalnya, sponsor sering kali tidak memerhatikan keindahan panggung.
Berbeda dengan beberapa tahun lalu, saya sekarang sudah tidak lagi tertarik merangsek ke depan. Berjoget bersama ratusan laki-laki berkeringat lainnya. Haha. Hanya menyaksikan dari jauh.
Iwan tidak tampil agresif malam itu. Lagu-lagu yang dibawakannya lebih banyak lagu dengan tempo medium, atau lagu-lagu penuh perenungan, macam “Kantata Takwa”, “Perempuan Malam”, “Belum Ada Judul” hingga lagu dari album “Manusia 1/2 Dewa” yang bicara soal desa harus jadi kekuatan ekonomi–saya lupa judulnya.
Semua dengan aransemen baru. Tapi, yang paling mengejutkan adalah aransemen ulang lagu “Galang Rambu Anarki”. Lagu itu jadi seperti sebuah lagu punk rock. Mungkin menyesuaikan dengan karakter almarhum anaknya itu. Mungkin juga, Galang pernah mengaransir ulang lagu itu. Soalnya, Iwan pernah berkata kalau Galang sudah mengaransir ulang lagu-lagunya. Bisa jadi, itu salah satu yang dimaksudnya.
Ah menyaksikan Iwan Fals tidak pernah membosankan. Dia memang punya kharisma. Walau tidak seliar dulu, Iwan masih memikat di panggung. Mungkin juga, dengan tenangnya Iwan Fals, massanya jadi lebih tenang. Dan saya bahagia bisa sekali lagi menyaksikan Iwan. Ditemani dua orang sahabat. Di lapangan terbuka. Tanpa hujan. Tanpa kewajiban meliput. Haha.
Yah begitulah. Saya sudah capek menuliskannya. Lagipula, ini sudah larut malam. Sialan. Seminggu memang tidak cukup ya buat liburan.
Ah, kembali ke realita. Kerja lagi. Kerja lagi.