Sekte dari Bandung
Ini cerita dari sekitar tiga tahun lalu.
Saya lupa waktu pastinya. Bahkan, kejadian ini hampir saya lupakan kalau saja teman saya tidak mengungkit-ungkit ini ketika saya bertemu dia di Bandung liburan lebaran kemarin.
Kurun 2003 – 2004 adalah masa-masa sakit hati saya. Biasalah, anak muda. Sakit hati karena percintaan. Nah, di tengah-tengah masa itu, suatu hari saya berkunjung ke rumah mantan yang membuat saya sakit hati.
Saya kaget. Heran. Bingung. Perempuan yang dulu pernah jadi pacar saya sudah berubah. Saya hampir tidak mengenal dia. Mungkin ini perasaan standar laki-laki yang diputusin dan masih berharap si mantan kembali ke pangkuan. Hehe. Yang jelas, waktu itu saya merasa si mantan berubah.
Dia jadi serius. Bicara soal kehidupan. Soal betapa dia ingin punya kehidupan yang lebih baik. Dan ingin mengajak ayah, ibu, serta teman-teman dia untuk ikut berubah. Saya termasuk yang diajak. Waktu itu, saya cuma cengengesan.
Dia cerita soal pertemuan yang sudah didatanginya. Ada kelompok yang bertemu seminggu sekali, di Gedung Kantor Pos Pusat, Bandung, di Jalan Banda. Kalau kamu tahu Bandung, itu ada di depan FO Heritage dan Dakken Cafe. Kelompok itu memberi dia pencerahan. Hidup bisa lebih baik, katanya. Atau kurang lebih begitu yang saya tangkap waktu itu.
Saya langsung berpikir macam-macam. Wah, anak ini seperti yang kena hipnotis. Dicuci otaknya. Makanya, dia langsung bicara serius, nada bicaranya santai. Malah, nyaris seperti yang baru dapat doktrin kuat. Dan dia pun mengajak saya datang ke pertemuan rutin di Rabu malam.
Saya bilang padanya, akan datang. Begitu sampai di rumah, saya hubungi teman saya yang waktu itu bekerja di Tempo News Room.
“Bob, kayaknya ada sekte nih di Bandung. Masa’ mantan gue tiba-tiba berubah gitu setelah sering dateng ke sana. Elo pernah denger soal ini nggak? Mereka ada pertemuan tiap Rabu Malam di Kantor Pos Pusat,” kata saya pada teman saya.
Saya bilang pada teman saya, kalau ada apa-apa, sekiranya saya tercuci otak sepulangnya dari sana, tolong diselidiki lebih lanjut. Kalau bisa, diblow up di media massa. Biar tahu rasa itu sekte!
Lantas, saya hubungi teman saya. Yang kira-kira, cukup kuat fisik dan pikirannya. Tidak akan tercuci otak. Atau, kalaupun ada bentrok fisik, misalnya saja saya harus melawan anggota sekte itu, saya harus cari teman yang bisa diandalkan. Berani berkelahi.
Si teman bersedia. Berangkatlah kami, Rabu malam itu ke Kantor Pos Pusat. Lantai berapa saya lupa. Setibanya di sana, saya disambut oleh resepsionis. Dia meminta bayaran tujuh ribu per orang untuk masuk sana. Si resepsionis memberi kami sticker nama. Saya pakai nama palsu kalau tidak salah waktu itu–tapi lupa nama apa yang saya gunakan.
Ada sekitar tiga puluh hingga empat puluh orang malam itu. Ada yang terlihat tua, ada yang tampangnya masih mahasiswa. Mantan saya ada di barisan depan saya. Tidak berapa lama kami duduk, seorang laki-laki tampil di depan audiens. Bicaranya lantang, menyapa audiens. Seperti halnya pengkhotbah di program agama Kristen yang biasa ada di TV.
Dada saya berdebar. Hmmm, sekte apa ini? Apa yang akan mereka gunakan untuk mencuci otak orang-orang?
Pembicara pertama itu lantas bicara soal mengubah hidup. Soal jadi bawahan terus. Dan soal kita bisa pegang kendali dalam hidup. [setidaknya itu yang saya tangkap, mungkin juga saya salah]. Lantas, dia bicara soal program bernama Network 21!
Maka, dia menulis soal uang sedikit terus menjadi jutaan per bulan. Untuk kita! Saya kurang paham. Dia juga bilang, kalau awal sih, akan susah paham. Setelah beres dia bicara, dipanggillah orang-orang sukses yang sudah ikut program itu. Ada yang katanya mahasiswa, tapi bisa membiayai adik-adiknya yang banyak. Ada bapak-bapak pensiunan yang bisa punya uang tambahan.
Sialan! Ini sih bukan sekte!
Teman saya ngakak. Karena kesal, baru sekitar lima belas menit di sana, kami pulang. Waktu pamit, mantan saya bertanya apakah akan balik lagi ke ruangan, saya tidak menjawab.
Sepanjang perjalanan, teman saya ngakak. Menertawakan saya. Belakangan, saya dituduh gelap mata. Karena waktu itu masih berharap si mantan kembali, pikiran saya jadi macam-macam.
Apa memang laki-laki suka bertindak bodoh ya kalau sakit hati?
Saya lupa waktu pastinya. Bahkan, kejadian ini hampir saya lupakan kalau saja teman saya tidak mengungkit-ungkit ini ketika saya bertemu dia di Bandung liburan lebaran kemarin.
Kurun 2003 – 2004 adalah masa-masa sakit hati saya. Biasalah, anak muda. Sakit hati karena percintaan. Nah, di tengah-tengah masa itu, suatu hari saya berkunjung ke rumah mantan yang membuat saya sakit hati.
Saya kaget. Heran. Bingung. Perempuan yang dulu pernah jadi pacar saya sudah berubah. Saya hampir tidak mengenal dia. Mungkin ini perasaan standar laki-laki yang diputusin dan masih berharap si mantan kembali ke pangkuan. Hehe. Yang jelas, waktu itu saya merasa si mantan berubah.
Dia jadi serius. Bicara soal kehidupan. Soal betapa dia ingin punya kehidupan yang lebih baik. Dan ingin mengajak ayah, ibu, serta teman-teman dia untuk ikut berubah. Saya termasuk yang diajak. Waktu itu, saya cuma cengengesan.
Dia cerita soal pertemuan yang sudah didatanginya. Ada kelompok yang bertemu seminggu sekali, di Gedung Kantor Pos Pusat, Bandung, di Jalan Banda. Kalau kamu tahu Bandung, itu ada di depan FO Heritage dan Dakken Cafe. Kelompok itu memberi dia pencerahan. Hidup bisa lebih baik, katanya. Atau kurang lebih begitu yang saya tangkap waktu itu.
Saya langsung berpikir macam-macam. Wah, anak ini seperti yang kena hipnotis. Dicuci otaknya. Makanya, dia langsung bicara serius, nada bicaranya santai. Malah, nyaris seperti yang baru dapat doktrin kuat. Dan dia pun mengajak saya datang ke pertemuan rutin di Rabu malam.
Saya bilang padanya, akan datang. Begitu sampai di rumah, saya hubungi teman saya yang waktu itu bekerja di Tempo News Room.
“Bob, kayaknya ada sekte nih di Bandung. Masa’ mantan gue tiba-tiba berubah gitu setelah sering dateng ke sana. Elo pernah denger soal ini nggak? Mereka ada pertemuan tiap Rabu Malam di Kantor Pos Pusat,” kata saya pada teman saya.
Saya bilang pada teman saya, kalau ada apa-apa, sekiranya saya tercuci otak sepulangnya dari sana, tolong diselidiki lebih lanjut. Kalau bisa, diblow up di media massa. Biar tahu rasa itu sekte!
Lantas, saya hubungi teman saya. Yang kira-kira, cukup kuat fisik dan pikirannya. Tidak akan tercuci otak. Atau, kalaupun ada bentrok fisik, misalnya saja saya harus melawan anggota sekte itu, saya harus cari teman yang bisa diandalkan. Berani berkelahi.
Si teman bersedia. Berangkatlah kami, Rabu malam itu ke Kantor Pos Pusat. Lantai berapa saya lupa. Setibanya di sana, saya disambut oleh resepsionis. Dia meminta bayaran tujuh ribu per orang untuk masuk sana. Si resepsionis memberi kami sticker nama. Saya pakai nama palsu kalau tidak salah waktu itu–tapi lupa nama apa yang saya gunakan.
Ada sekitar tiga puluh hingga empat puluh orang malam itu. Ada yang terlihat tua, ada yang tampangnya masih mahasiswa. Mantan saya ada di barisan depan saya. Tidak berapa lama kami duduk, seorang laki-laki tampil di depan audiens. Bicaranya lantang, menyapa audiens. Seperti halnya pengkhotbah di program agama Kristen yang biasa ada di TV.
Dada saya berdebar. Hmmm, sekte apa ini? Apa yang akan mereka gunakan untuk mencuci otak orang-orang?
Pembicara pertama itu lantas bicara soal mengubah hidup. Soal jadi bawahan terus. Dan soal kita bisa pegang kendali dalam hidup. [setidaknya itu yang saya tangkap, mungkin juga saya salah]. Lantas, dia bicara soal program bernama Network 21!
Maka, dia menulis soal uang sedikit terus menjadi jutaan per bulan. Untuk kita! Saya kurang paham. Dia juga bilang, kalau awal sih, akan susah paham. Setelah beres dia bicara, dipanggillah orang-orang sukses yang sudah ikut program itu. Ada yang katanya mahasiswa, tapi bisa membiayai adik-adiknya yang banyak. Ada bapak-bapak pensiunan yang bisa punya uang tambahan.
Sialan! Ini sih bukan sekte!
Teman saya ngakak. Karena kesal, baru sekitar lima belas menit di sana, kami pulang. Waktu pamit, mantan saya bertanya apakah akan balik lagi ke ruangan, saya tidak menjawab.
Sepanjang perjalanan, teman saya ngakak. Menertawakan saya. Belakangan, saya dituduh gelap mata. Karena waktu itu masih berharap si mantan kembali, pikiran saya jadi macam-macam.
Apa memang laki-laki suka bertindak bodoh ya kalau sakit hati?
0 Comments