Kenapa Saya Tidak Ingin Jadi Pegawai Negeri?
Pernah disuruh jadi pegawai negeri?
Saya beberapa kali. Sejak masih kuliah, orangtua pasti bilang “Coba kalau udah lulus, kan bisa ngelamar. BUMN ini lagi buka lowongan tuh.” Bahkan ketika saya sudah kerja pun, kalimat “Nggak pengen nyoba ngelamar ke ini?” masih saja keluar.
Dan dari dulu, saya pasti menjawabnya dengan “Nggak ah. Nggak mau kerja di kantor yang karyawannya harus pake baju rapi. Celana bahan, kemeja, sepatu pantopel [bener nggak ya nulisnya?]”. Orangtua saya biasanya hanya cengengesan mendengar jawaban saya.
Orangtua saya tidak pernah memaksa. Tapi, mereka pasti selalu memberi argumen soal jaminan hari tua. Soal fasilitas perusahaan. Soal betapa jadi pegawai negeri ada semacam jaminan. Padahal, mereka juga tau soal rejeki mah di tangan Tuhan. Tetap saja, pertanyaan soal kerja di BUMN atau jadi pegawai negeri masih suka terlontar.
Tidak tahu sejak kapan saya punya keinginan bekerja di tempat yang “santai”. Padahal, waktu kecil, saya pernah bercita-cita jadi tentara. Karena gagah. Keren. Dan tidak akan diganggu orang. Haha. Mungkin sejak saya mulai malas ada di ruang kelas [dimulai ketika kelas 2 SMP. Sebelum itu, saya giat belajar. Hehe], keinginan untuk kerja dengan suasana “santai” itu muncul.
Saya tidak suka hal yang terlalu kaku. Pake seragam. Rutinitasnya terlalu begitu-begitu saja. Walaupun sekarang ketika saya dengar cerita dari teman saya yang sekarang jadi pegawai negeri, sepertinya mereka menikmati hidupnya dengan bahagia jadi pegawai negeri.
Akhirnya, pilihan saya jatuh pada majalah. Pertama, karena kebetulan saya nyasar ke Fikom Unpad dan secara dangkal memilih jurusan Jurnalistik karena jaket jurusannya yang gagah serta fakta bahwa banyak super hero berprofesi sebagai jurnalis dan betapa saya ingin bisa nonton konser gratis. Kedua, kerja di majalah salah satu profesi yang memungkinkan saya berpakaian santai. Jins dan kaos saja no problemo.
Kalau saja saya ganteng, mungkin sudah jadi artis sinetron, punya banyak duit, naek Harley. Tapi nyatanya, tidak punya modal tampang. Karena ganteng juga tidak. Dan juga tidak cukup jelek untuk jadi pelawak. Haha. Jadi musisi, tidak bisa. Karir di band kampus sebagai MC–merangkap manajer–merangkap sedikit vokal–merangkap propagandis juga tidak membawa saya pada industri musik. 😀 Jadi penyiar tiga bulan di acara prime time sebuah radio malah terjegal oleh GM rese majalah musik tempat saya kerja dulu. Saya belum dikasih kesempatan mengukur diri sendiri, soal berbakat/tidaknya saya di dunia radio.
Mungkin orangtua saya pikir, kalau kerja jadi pegawai negeri, punya dana pensiun. Sedangkan di bidang seperti ini? Mungkin juga mereka tidak yakin kalau jadi jurnalis akan bertahan lama karirnya. Bagaimana soal jenjang karir? Apakah karya saya masih akan bisa dinikmati orang?
Kadang itu terpikir juga sih. Gila. Harus mulai berpikir dari sekarang nih. Memikirkan usaha sampingan yang pas. Buka toko CD, sudah ada yang memulai. Buka kedai kopi juga. Dan kadang, pertanyaan ini muncul di benak. Sampai kapan saya akan jadi jurnalis? Apakah karir saya akan meningkat hingga tingkat Editor in Chief? Di lain sisi, saya tau kalau Pram bisa hidup dari menulis. Goenawan Muhammad juga. Tapi, mereka memang hebat.
Ah pusing. Mungkin saya harus jadi pegawai negeri saja. 😀
Saya beberapa kali. Sejak masih kuliah, orangtua pasti bilang “Coba kalau udah lulus, kan bisa ngelamar. BUMN ini lagi buka lowongan tuh.” Bahkan ketika saya sudah kerja pun, kalimat “Nggak pengen nyoba ngelamar ke ini?” masih saja keluar.
Dan dari dulu, saya pasti menjawabnya dengan “Nggak ah. Nggak mau kerja di kantor yang karyawannya harus pake baju rapi. Celana bahan, kemeja, sepatu pantopel [bener nggak ya nulisnya?]”. Orangtua saya biasanya hanya cengengesan mendengar jawaban saya.
Orangtua saya tidak pernah memaksa. Tapi, mereka pasti selalu memberi argumen soal jaminan hari tua. Soal fasilitas perusahaan. Soal betapa jadi pegawai negeri ada semacam jaminan. Padahal, mereka juga tau soal rejeki mah di tangan Tuhan. Tetap saja, pertanyaan soal kerja di BUMN atau jadi pegawai negeri masih suka terlontar.
Tidak tahu sejak kapan saya punya keinginan bekerja di tempat yang “santai”. Padahal, waktu kecil, saya pernah bercita-cita jadi tentara. Karena gagah. Keren. Dan tidak akan diganggu orang. Haha. Mungkin sejak saya mulai malas ada di ruang kelas [dimulai ketika kelas 2 SMP. Sebelum itu, saya giat belajar. Hehe], keinginan untuk kerja dengan suasana “santai” itu muncul.
Saya tidak suka hal yang terlalu kaku. Pake seragam. Rutinitasnya terlalu begitu-begitu saja. Walaupun sekarang ketika saya dengar cerita dari teman saya yang sekarang jadi pegawai negeri, sepertinya mereka menikmati hidupnya dengan bahagia jadi pegawai negeri.
Akhirnya, pilihan saya jatuh pada majalah. Pertama, karena kebetulan saya nyasar ke Fikom Unpad dan secara dangkal memilih jurusan Jurnalistik karena jaket jurusannya yang gagah serta fakta bahwa banyak super hero berprofesi sebagai jurnalis dan betapa saya ingin bisa nonton konser gratis. Kedua, kerja di majalah salah satu profesi yang memungkinkan saya berpakaian santai. Jins dan kaos saja no problemo.
Kalau saja saya ganteng, mungkin sudah jadi artis sinetron, punya banyak duit, naek Harley. Tapi nyatanya, tidak punya modal tampang. Karena ganteng juga tidak. Dan juga tidak cukup jelek untuk jadi pelawak. Haha. Jadi musisi, tidak bisa. Karir di band kampus sebagai MC–merangkap manajer–merangkap sedikit vokal–merangkap propagandis juga tidak membawa saya pada industri musik. 😀 Jadi penyiar tiga bulan di acara prime time sebuah radio malah terjegal oleh GM rese majalah musik tempat saya kerja dulu. Saya belum dikasih kesempatan mengukur diri sendiri, soal berbakat/tidaknya saya di dunia radio.
Mungkin orangtua saya pikir, kalau kerja jadi pegawai negeri, punya dana pensiun. Sedangkan di bidang seperti ini? Mungkin juga mereka tidak yakin kalau jadi jurnalis akan bertahan lama karirnya. Bagaimana soal jenjang karir? Apakah karya saya masih akan bisa dinikmati orang?
Kadang itu terpikir juga sih. Gila. Harus mulai berpikir dari sekarang nih. Memikirkan usaha sampingan yang pas. Buka toko CD, sudah ada yang memulai. Buka kedai kopi juga. Dan kadang, pertanyaan ini muncul di benak. Sampai kapan saya akan jadi jurnalis? Apakah karir saya akan meningkat hingga tingkat Editor in Chief? Di lain sisi, saya tau kalau Pram bisa hidup dari menulis. Goenawan Muhammad juga. Tapi, mereka memang hebat.
Ah pusing. Mungkin saya harus jadi pegawai negeri saja. 😀
0 Comments