Anggun Tanpa C Sasmi
Ini versi yang belum diedit, untuk rubrik 20Q edisi Nopember kemarin. Wawancara dengan Anggun dilakukan di kantor
Universal Music Indonesia, Senin [10/7]. Selama 45 menit lewat sambungan
telepon internasional.
Video klip “Saviour” dilarang diputar
di
bagaimana perasaan Anda?
Anehnya
dilarang di
tetap saja dimainkan, waktu aku datang ke
kali datang ke acara tv, video itu diputar. [tertawa]. Jadi sebenarnya, itu
dilarang apa tidak? Maksudnya, officially itu dilarang. Tapi sebenarnya bisa
diputar.
Padahal, penampilan Anda di video itu
tidak vulgar.
Yang
aku sebelnya di
kalau kita menggunakan kata-kata seperti seksi, sensual. Kita
Jadi mereka kebanyakan suka salah kaprah. Aku pernah ditulis di salah satu
Koran, sebelum konser yang di JHCC kemaren. Ditulisnya, ‘Anggun berjanji akan
tampil vulgar.’ Sebenarnya arti vulgar untuk orang
wartawan
itu nggak ikut sekolah jurnalistik. Nggak ikut sekolah sastra untuk tau bahwa
setiap kata itu ada artinya. Nah kalau vulgar, arti vulgar itu apa? Sensual itu
apa? Seksi itu apa? Jadi, kalau aku dibilang vulgar, sebenarnya aku dituding
sekali. Karena apakah vulgar itu, sesuatu yang hubungannya dengan ikat pinggang
ke bawah. Atau, apakah itu kalau misalnya lihat orang pake short, celana
pendek,
renang itu vulgar? Apa telanjang itu vulgar? Masalahnya di Indonesia tuh, nggak
ada akses untuk melihat sesuatu yang bisa kita bandingkan. Jadi, karena dari
dulu dibilang ini dilarang, jadi kalau lihat perempuan yang agak terbuka
sedikit, bilangnya langsung vulgar. Itu
jorok? Masa sih, aku dibilang jorok. Maksudnya apa? Jangan sampai
wartawan-wartawan
membina kesalahpahaman ini.
Di lagu “Undress Me”, Anda minta diingatkan
kalau tidak jadi diri Anda sendiri. Dalam kehidupan nyata, seberapa sering itu
terjadi?
Setiap
aku bikin lagu, itu bukan melulu otobiografi. Undress me itu sebenarnya hanya
metamorfosis. Kalau cuma dilihat kalimat undress me, sudah jelas itu telanjangi
saya. Tapi kalau kita lihat kalimat sebelumnya. ‘when I wear my bad moods to my
mouth, you should undress me.’ Jadi, itu bukan baju yang dicopot. Jadi,
kata-kata jelekku, kejahatanku kalau aku bicara. Bad mood lah. Makanya, jangan
melulu ngambil satu kalimat, karena ini pasti salah kaprah. Dan ini pasti
membina kesalahkaprahan.
Maksudnya, dalam kehidupan nyata,
seberapa sering Anda bad mood?
Namanya
juga perempuan. Setidaknya, seminggu sekali kami boleh bad mood. [tertawa]. Kan
hormonal.
Di salah satu situs, saya baca Anda
bilang, “Love is when you wake up in the morning and have a big smile.” Kenapa Anda
bisa berkata seperti itu?
Itu
buat aku memang benar. Cuma, sekarang cinta itu tidak melulu kebahagiaan.
Kadang-kadang cinta bertepuk sebelah tangan. Jadi, kebahagiaan itu sangat
relatif. Apakah kita bisa bahagia melihat dia bahagia? Jadi buat aku, sekarang,
sebenarnya arti kata itu, kalau kita bangun dan tidur, kan ada hari yang
berjalan. Apa yang terjadi di situ.
Apa bedanya bekerja dengan musisi
indonesia dibandingkan musisi luar?
Bedanya
kalau musisi luar sangat menghargai waktu. Lebih apa ya, pokoknya kalau jam
karet itu kan, Indonesia banget. Sangat disiplin, sangat menghargai waktu.
Sangat menghargai orang. Menghargai waktu tuh, ya ampun mas, kalau di
Indonesia, menunggu itu sudah jadi sesuatu yang cultural. Makanya, kalau aku
datang ke Indonesia, setiap kali aku menunggu wartawan, atau nunggu apapun.
Kesannya tuh aku tidak dihargai. Kalau aku datang ke Indonesia, kan waktunya
sempit sekali. Ini sudah sempit, mereka telat.
Intinya, soal disiplin waktu?
Aku
cuma bisa bilang tentang musisi aku ya. Mereka nggak punya ego. Kebanyakan
musisi di sini, kalau dipilih jadi musisi untuk artis, egonya itu ya artisnya
itu. Musisi aku, setiap aku ke panggung, mereka nanya aku, boleh nggak pakai
baju ini. Nah aku kan provide mereka dengan wardrobe. Aku inginnya mereka pakai
hitam semua. Pokoknya aku kasih dresscode. Jadi segala sesuatunya minta ijin
aku. Dulu, tahun ’90-an waktu aku kerja dengan musisi Indonesia, waktu itu
mereka ka nasal-asalan saja.
Selain musiknya, apa sebenarnya yang
membedakan Anggun sekarang dengan Anggun era ’90-an?
Ya
bedanya dari semua sisi. Penampilan, musik, semua hal. Beda tuh pasti.
Untungnya berbeda. Coba kalau sama. Itu kan justru saya malah yang khawatir.
Skala satu sampai sepuluh, berapa Anda
menilai perkembangan karir Anda sekarang?
Aku
sama sekali tidak mengukur begitu. Aku sama sekali bukan ibu guru. Nggak mau
ngasih angka. Segala sesuatunya ada logikanya, ada prosesnya. Kalau kita ngasih
angka, kesannya tuh kita nggak menghargai proses hidup, atau proses kehidupan
seseorang.
Lantas, definisi sukses menurut Anda?
Sukses
itu kalau kita bisa berhasil tanpa harus menjual diri dengan kemusikan saya.
Jadi, nggak bikin kompromi yang akan saya sesalkan.
Bagaimana Anda melihat sosok Anda
ketika memakai baret dan sepatu boots?
Ya
sekarang lucu aja. Soalnya namanya juga proses. Itu kan awal ’90. Ya
orang-orang dulu pakai bajunya seperti itu. Mungkin tidak berbaret ya, tapi
rambutnya dulu ya aku pakai permanent. Ke sekolah ya begitu semua. Jadi nggak
aneh.
Tahu tidak? Video klip “Tua Tua Keladi”
masih diputar di salah satu tempat karaoke di Jakarta.
Justru
waktu aku kemarin konser, aku bilang sama mas Jay, aku ingin daripada punya
opening act, aku ingin opening act-nya lagu-lagu lamaku. Supaya orang-orang
lihat aku tuh begini. Sekarang begini. Mereka jadi lihat proses perubahan atau
metamorfosis seorang Anggun.
Kemarin sempat tinggal di Kanada ya.
Apa bedanya tinggal di Kanada dengan Paris?
Sebenarnya
aku bisa tinggal di mana saja. Cuma di Paris lebih praktis saja. Karena
pekerjaan aku kan terpusat di sini.
Apa sih yang Anda rindukan dari Indonesia?
Aku
rindu keluargaku, temen-temenku, sama suasana hidup di sana yang serba mudah.
Memang apa bedanya dibandingkan
dengan tempat tinggal Anda sekarang?
Di
sini, segala sesuatunya serba Euro. Mahal dong. Dan serba ini, segala
sesuatunya lebih rumit orang-orangnya. Kadang-kadang harus bersilat lidah.
Supaya mendapatkan sesuatu. Jadi kesannya, kita lebih akal-akalan. Di Indonesia
kan segala sesuatunya gampang. Punya anak gampang. Kalau misalnya kerja, ada
babysitter, ada orangtua. Di sini kan nggak. Mahal. Belum tentu dapat
babysitter yang baik.
Lantas, bagaimana Anda memandang
indonesia sekarang?
Yang
aku lihat dari sini, Indonesia sedang banyak sialnya. Dari alamnya. Kemarin di
Jogja, kemarin tsunami. Cuma sayangnya yang tadinya aku pikir kan, Indonesia itu
sedang jatuh. Malah aku pikir, kita harus bangun. Eh aku malah dengar, yang
tsunami kemarin masih banyak yang korupsi. Ya ampun, itu uang untuk korban
malah dikorupsi. Aku jadi, sayangnya Negara kita tuh sebenarnya Negara yang
kaya. Cuma kita tuh nggak bisa ngelolanya. Terlalu banyak orang yang punya
mentalitas sangat feodal. Bertahun-tahun dijajah Belanda, sekarang dijajah
bangsa sendiri.
Di salah satu tv, Anda bilang tidak
mau lagi tinggal di sini. Waktu itu, karena RUU APP akan disahkan. Lantas, alasan
utamanya karena karir, atau memang Indonesia sudah tidak nyaman lagi buat Anda?
Aku
tidak pernah bilang, tidak mau lagi tinggal di Indonesia. Aku harus lihat dulu,
bagaimana sisi ekonomisnya. Bagaimana sisi politiknya. Apakah Negara ini bisa
bertoleransi. Kalau masih ada seperti Undang-Undang yang membuat kehidupan
artis jadi lebih sempit, aku nggak mau. Kita jadi tidak bebas berkarya, bebas
berpikir. Mana mau aku tinggal di Negara seperti itu. Sama saja seperti aku
tidak ingin tinggal di Negara yang masih memberi hukuman mati ke seseorang.
Karena buat aku, bukan manusia yang berhak atas hidup dan kematian seseorang.
Makanya aku tidak bisa tinggal di Amerika. Karena masih ada hukuman mati. Di
Indonesia juga.
Prancis bisa memberikan yang Anda
harapkan?
Di
Prancis sudah tidak ada hukuman mati dari tahun ’70-an. Dan enaknya di Prancis,
seseorang berhak untuk berkarya dan membuat sesuatu yang mereka suka. Aku
sangat menghargai itu. Cuma sayangnya di Prancis, pajaknya besar sekali.
Wuuuuh. Aku bayar pajak bisa lima puluh persen. Jadi kalau tinggal di sini,
dapat uang di sini, harus bayar. Walaupun Anda warga Negara Korea atau Cina.
Seberapa penting sih kewarganegaraan
buat Anda?
Yang
aku nggak sukanya dengan pertanyaan seperti ini, kesannya banyak orang nggak
tahu. Padahal aku sudah ke kanan kiri menjelaskan kenapa aku pindah
kewarganegaraan. Aku ganti warga Negara karena aku tidak dibantu sama
pemerintah Indonesia. Kesuksesanku tidak dibantu sama sekali oleh orang
Indonesia. Malah banyak orang Indonesia mengritik aku. Terus, sekarang aku
sukses banyak orang bilang, ‘Oh dia seperti kacang lupa kulitnya. Ganti
kewarganegaraan. Padahal, sama sekali nggak ada hubungannya dengan itu. Aku tuh
kadang-kadang suka menyesal memberi informasi ini, karena banyak orang menuding
dan bicara yang nggak nggak. Tapi dari dulu memang sudah seperti ini. Dikritik
justru sama orang dari negeri sendiri. Orang lain bilang nggak ada masalah.
Tapi buat orang Indonesia ada masalah.
Ada yang mempersoalkan nasionalisme
ya?
Karena
kan buat kebanyakan orang Indonesia, dan kebanyakan yang ditulis tentang
kewarganegaraan, aku tuh dibilang meninggalkan Indonesia, kawin dengan orang
bule, terus sekarang sangat sudah tidak Indonesia lagi. Sekarang malah justru
akunya meninggalkan kewarganegaraan Indonesia. Buat mereka, aku sudah nggak
Indonesia lagi. Padahal, apakah warna buku sekecil itu, yang ukurannya lima
belas dan sepuluh centimeter mengukur kenasionalismean seseorang? Kan nggak
juga. Kalau segala sesuatu diukur karena ah yang penting dia paspornya masih
Indonesia, tapi kelakuannya tuh sangat tidak pro Indonesia, ngomongnya
ke-Barat-baratan, terus sangat melecehkan Negara sendiri. Apakah itu lebih
penting di mata Indonesia? Apakah lebih penting orang seperti aku? Yang mencoba
mengangkat nama Indonesia dari luar, tapi tidak pernah dibantu sedikit pun oleh
pemerintah. Malah dibantu Pemerintah Prancis.
Bantuan seperti apa sih yang
diharapkan?
Aku
tuh ingin dibantu seperti misalnya dipermudah soal visa. Makanya, aku minta ke
orang KBRI. Karena orang KBRI banyak fasilitas. Jadi, aku datang ke Pak Dubes,
aku tanya, Pak Dubes bisa nggak aku kasih fasilitas tertentu, supaya aku
dipermudah setiap kali aku promosi ke Negara-negara. Setiap Senin, aku bangun
setengah tujuh pagi, ke kantor-kantor kedutaan asing. Nah itu kan setiap hari.
Aku kan harus kerja. Jadi, bukan pekerjaan aku ngantri untuk visa. Malah ada di
beberapa Negara yang pasporku ditolak. Aku minta sama Pak Dubes, bisa nggak aku
minta fasilitas? Dia malah bilang, ‘Nggak ah nggak bisa. Wong anakku juga nggak
dapat kok.’ Memangnya, anaknya Pak Dubes tuh ngapain? Mereka paling sekolah di
luar. Aku kan beda.
Perlakuan Pemerintah Prancis berbeda?
Justru
aku malah dapat penghargaan. Karena aku mengangkat kultur Prancis di luar. Kebalik
banget. Aku setiap kali wawancara dengan wartawan luar, mengangkat nama
Indonesia. Aku bela-belain kalau ada masalah. Waktu Playboy kantornya
dihancurkan, mereka nanya ke aku. Langsung aku bela-belain sampai
berdarah-darah. Nah yang begitu, orang-orang nggak pernah lihat. ‘Kok, kamu
ganti warga Negara sih? Nah, masalahnya yang Negara Indonesia kasih ke aku apa?
Kenapa selalu akunya dituntut. Aku minta bantuan sekali saja.
Anda sakit hati karena itu?
Nggak.
Cuma kaget saja. Kalau aku disinggung masalah ini dengan cara kesannya tuh
dilecehkan. Dulu waktu aku pertama kali datang ke Indonesia dengan album
pertama, “Snow on the Sahara”. Ada wartawan yang ngomong ke aku pakai bahasa
Inggris. Karena mereka pikir aku sudah lupa bahasa Indonesia. Aku merasa
tersinggung, sakit hati. Mungkin banyak artis Indonesia yang ngomongnya tuh
setiap kali wawancara pakai bahasa Inggris. Setiap dua kata pakai bahasa
Inggris, atau mengakhiri kalimatnya dengan kata-kata bahasa Inggris. Aku nggak!
Di negeri sendiri, Anda diperlakukan
seperti itu ya?
Dan
aku dituding. Karena sudah tidak tinggal di Indonesia lagi. Dan karena aku
sudah tidak punya paspor Indonesia. Padahal, itu sama sekali bukan kemauan aku.
Jadi, ironisnya tuh begitu. Tapi nggak apa-apa sih. Karena aku sekarang tidak
peduli. Aku Cuma peduli sama pendapat keluargaku, teman-temanku, orang-orang
yang aku kenal. Selain itu, yang mereka nggak kenal aku, terus ngritik, aku
nggak mau dengar. Buat aku, itu bukan sesuatu yang normal. Setiap kali lihat di
situs-situs, yang mengritik selalu orang Indonesia. Orang Italia memuji. Orang
Amerika memuji. Orang Indonesia, ya ampun, ‘Videonya jelek. Fotonya jelek.
Liriknya kok begitu?’ Jadi, aku selalu dikritik sama orang Indonesia. Kan aneh.
Menurut Anda kenapa?
Nggak
ngerti. Makanya, aku tuh kesannya nggak mau membikin usaha untuk mereka. Jadi
salah kaprah. Kalau aku nggak ngomong, dituding juga. Kalau ngomong, dituding
lagi. Jadi, sekarang aku masa bodoh. Ini karirku. Ini hidupku. Pasporku. Aku
nggak minta ijin dari siapapun. Sekarang satu-satunya orang yang bisa menolong
aku, ya diri aku. Aku nggak mau mendengar kritik-kritik yang nggak membangun. Itu
aku masa bodohin. Ya kita balik lagi ke titik awal. Menghargai usaha. Mungkin
karena di Indonesia, banyak yang system apresiasinya berbeda. Aku pernah lihat
konser orang Indonesia. Banyak yang VIP-nya, sudah pulang. Aku nonton konser
salah satu diva. Pak pejabat datangnya telat satu jam. Datang dengan dua belas
orang. Itu kan mengganggu orang lain. Dan kita tidak tahu cara mengapresiasi
sesuatu. Usaha orang. Waktu orang. Bakat orang. Di Indonesia banyak orang
pintar, tapi sayangnya kita tidak pernah diajari apresiasi.
Di luar lebih bagus ya soal
apresiasi?
Jangan
salah ya. Nggak semua yang di luar itu lebih bagus. Cuma, karena kita bicara
soal apresiasi. Jangan disamaratakan dengan hal lain. Di luar tuh, ada debat.
Misalnya, Playboy dibilang jahanam. Mereka terlalu sering dibilang seperti ini.
Jadi salah kaprah. Jadi percaya. Padahal yang lebih parah dari Playboy lebih
banyak. Sayangnya, tidak ada tempat untuk berdebat. Kalau di sini, kalau ada
satu topic yang akan mengganggu. Orang-orang tukar pikiran. Debat.
Masing-masing memberi opini. Jadi semua tahu. Di Indonesia kan nggak. Ini
menjatuhkan perempuan lah. Ya nggak dong. Sayang aja.
Bagaimana pendapat Anda soal banyak
musisi indonesia yang bilang ingin go international?
Lah
wong akunya dulu juga begitu. Yang jelas, sekarang jangan ngomong aja.
Bertindak.
Apa kritik Anda untuk industri musik
di Indonesia?
Aku
sama sekali nggak punya kritik-kritik yang apa-apa. Aku bukan pakar musik. Yang
aku lihat cuma, ya ada tempat ada market untuk semua jenis musik. Yang aku
sayangkan, jangan sampai pemerintah Indonesia menghalangi musikalitas seorang
artis dan juga kehidupan artis. Pokoknya, dari cara dia mengekspresikan diri.
Apakah dia dalam musik, dalam kata-kata, cara dia bergaya. Soalnya sebagai
seorang musisi, artis kan kesannya bebas. Seperti pelukis, seperti pemahat.
Pokoknya kalau dalam bidang seni, harus dilihat dan dinilai dari mata seni.
Apakah Anda mendokumentasikan
karya-karya Anda dengan baik?
Nggak
juga. Sebenarnya itu sama sekali bukan pekerjaannya seorang artis. Itu bukan
tugas aku.Aku sama sekali nggak begitu koleksi. Justru banyak fansku yang
koleksi. Mereka kasih lihat aku, ya ampun kamu dapat ini dari mana?
Sepayah itukah pria Indonesia
sehingga anda memilih pria asing?
Nggak
juga. Soalnya kan kalau kita jatuh cinta, itu tidak diatur. Dulu waktu masih
SMP suka ditanya, ingin pacar yang gimana? Inginnya yang tinggi, yang lucu,
segala macam. Itu kan kita tidak tahu kalau kita jatuh cinta. Apakah kita bisa
mendisiplinkan hati? Nggak juga kan? Dan kebetulan karena nggak ada orang
Indonesia yang naksir aku.
Apa bedanya pria asing dengan pria Indonesia?
Nggak
tahu. Wong dulu pacaran dengan orang Indonesia waktu SMP dan SMA. Mungkin kalau
pria Indonesia itu, suka sok kuasa. Segala sesuatunya harus minta ijin ke saya.
Makanya, banyak sekali pertanyaan ke aku dari wartawan Indonesia, ‘Mbak suami
mendukung nggak sih kegiatan mbak?’ Ya ampuun. Kalau suamiku nggak mendukung,
ya suamiku aku pecat. Dianya kerja untuk aku. Jadi, di kultur Indonesia itu,
segala sesuatu harus lewat suami dulu. Dibina supaya lelaki kuasanya lebih
besar daripada perempuan. Perempuan harus cantik, supaya suaminya setia. Nah,
kalau suaminya gemuk, nggak merawat diri. Istrinya bisa lari dong. Makanya, di
generasi aku, kami menuntut yang sama dari laki-laki. Kami juga ingin laki-laki
yang sosialitasnya bagus, yang bisa masak, yang bisa jaga anak, dan juga jagoan
di tempat tidur. Masa kami diminta yang sama, laki-lakinya leha-leha begitu.
Sikap seperti ini sudah ada dari
dulu, atau setelah tinggal di luar?
Ini
kan setelah jadi dewasa. Segala sesuatu kan proses hidup. Dari pengalaman
hidup, dari contoh-contoh yang dilihat dari kiri kanan, apakah keluarga, atau
teman-teman. Aku kan sempat asosial sekali. Aku sangat hidup di sekelilingku,
yang kawin cerai kawin cerai, mereka seperti apa hidupnya. Nah, dengan begitu
aku sangat menekankan bahwa aku menuntut yang sama dari laki-laki. Dan buat
aku, adil. Masa sih, kita jangan sampai lelaki menuntut keperawanan perempuan,
sementara kita tidak bisa menuntut keperawanan laki-laki. Pokoknya, jangan
sampai hak kemunafikan itu tidak boleh hanya di lelaki saja. Perempuan juga
boleh.
Ada kelompok musik/penyanyi indonesia
yang menarik minat Anda sekarang?
Aku
suka Peterpan. Aku suka melodinya dia. Aku suka suaranya Agnes Monica. Aku suka
Candil. Ooh. Dia kan Mariah Carey-nya Indonesia. Aku nge-fans banget sama
Seurieus. Mereka musikalitasnya oke. Tapi menghibur. Lucu, tapi serius. Pokoknya
waktu mereka bilang, aliran musiknya Happy Metal. Emang bener sih. [tertawa].
Itu konsep musik yang oke. Aku punya album mereka semua.
Album paling berkesan buat Anda?
And
Justice for All dari Metallica. Itu masa remajaku banget. Dan sampai sekarang,
kalau aku mau bernostalgia, pasti dengernya itu.
0 Comments