Album tribute lokal, adalah barang langka.
Makanya, begitu mendengar kabar soal tribute album Naif sudah rilis, saya senang. Walaupun beberapa bulan lalu, waktu Pepeng Naif bertanya soal ini pada saya, saya menjawab, “kayaknya kecepetan deh, kalau dibuatin album tribute buat naïf. Tunggu dulu, beberapa tahun deh.”
Tapi, saya tarik ucapan itu.
Setidaknya, setelah mendengar album tribute ini. Oke, secara musikalitas, saya tidak sepenuhnya terpuaskan oleh karya 14 kelompok musik di album ini. Setiap mendengar tribute album, saya selalu membandingkan dengan lagu aslinya. Dan bila lagu yang dibawakan ulang itu, tidak bisa memberikan sensasi yang sama dengan lagu aslinya atau tidak menawarkan kesegaran yang lain, saya kecewa. Untuk album ini, “Jikalau” versi The Adams dan “Dia Adalah Pusaka Sejuta Umat Manusia yang Ada di Seluruh Dunia” versi Tika feat. Wrong is the New Right, adalah favorit saya.
Tapi, ada sesuatu yang menurut saya jauh lebih berharga dan membuat kekurangpuasan secara musikalitas tadi tertutupi. Karena fakta bahwa album seperti ini barang langka, dan bahwa kelompok musik di sini, benar-benar mengagumi Naif, atau setidaknya begitu yang saya kira. Dan bahwa sekarang, adalah eranya [hampir] semua nama itu.
David Tarigan, produser album ini, mengatakan sebenarnya ada sekira 40 band yang “mendaftar”. Beberapa dari mereka, malah mengirimkan lebih dari satu lagu Naif dalam demonya. Dan akhirnya, empat belas nama yang berhasil masuk.
“Naif adalah band yang bisa menjadi jembatan antara mereka yang ada di mainstream dengan mereka yang ada di wilayah alternative,” begitu kira-kira kata David kepada saya selepas konferensi pers.
[saya tidak ingat kata-kata persisnya. Tidak direkam, karena niatnya bukan buat wawancara. Begitu juga kutipan-kutipan di bawah ini. semuanya berdasarkan ingatan saya. hehe]
“Upstairs dan band-band FFWD nggak diajak?” tanya saya.
“Mocca sama the S.I.G.I.T. sih bilang pengen ikutan, tapi mereka lagi sibuk rekaman buat album barunya. Daripada kurang bagus hasilnya, mereka milih buat nggak ikutan. Upstairs sih, persoalannya karena label mereka katanya. Padahal, Jimi bilang pengen banget ikutan,” jawab David.
Memang, ada beberapa nama yang tidak ada di sana dan saya pikir bakal menarik kalau mereka bisa ikut kompilasi itu. Tapi, yah itu hak Aksara Records sebenarnya. Makanya, ketika saya mendengar percakapan antara dua orang yang bunyinya begini;
“Band elo nggak ikutan?”
“Yah, elo liat sendiri siapa labelnya. Dan siapa aja band-band yang ikutan di sana,”
Saya tidak bisa membela siapa-siapa.
Dan sepertinya judul “Mesin Waktu: Teman-teman Menyanyikan Lagu Naif” sangat cocok. Ini adalah proyek teman-teman. “Kalau tribute kan biasanya ada jarak antara musisi yang di-tribute-kan. Kalau ini, konsepnya teman-teman yang besar sama-sama dan yang menyaksikan perjalanan naïf,” kata David Tarigan.
Ah, apapun. Saya ikut senang atas rilisnya album seperti ini. Dan ini foto dari acara peluncuran albumnya di Taman Ria Senayan, Kamis [26/4] lalu. Harusnya, acara digelar sehari sebelumnya. Tapi karena hujan lebat, acara diundur.
Saya, baru bisa datang ke sana jam setengah sebelas malam, karena sebelumnya terhambat pekerjaan. White Shoes and the Couples Company baru akan tampil ketika saya datang. Mereka memainkan dua lagu saja. Dengan tata suara yang kurang memuaskan. Berikutnya, Tika. Tidak seperti kesan yang tertanam di benak saya sebelumnya, soal kostum panggung Tika, malam itu dia berpakaian sederhana. Hanya jins, boots, dan tank top. Lebih menarik buat saya ketimbang pakaian Tika yang kadang-kadang ajaib seperti diva. Hehe.
“Tika seksi,” kata seorang penonton di depan panggung.
“Pake g string,” kata yang lainnya.
Dasar penonton. Seorang dari mereka malah coba-coba bernyanyi di lagu “Smells Like Teen Spirit”. Mungkin karena terlalu senang lagu favoritnya dinyanyikan Tika, dan merasa satu selera musik dengannya, si pengganggu berani naik panggung. Untung Tika bisa menghadapinya dengan santai. Mendorong si pengganggu seakan-akan itu bagian dari aksi panggung.
Riann Pelor menjadi MC malam itu, bersama seorang penyiar. Kurang maksimal. Pelor sepertinya lebih bagus sendirian. Atau berteman botol bir. Si partnernya mencoba mengimbangi Pelor dengan joke-joke jorok, tapi jadi terdengar aneh. Pelor mungkin bisa bagus kalau berduet dengan MC seperti Jimi Multhazam. Ini obrolan saya dengan Wenz Rawk, ketika menunggu pergantian band.
Tapi, untungnya Pelor masih bisa memberikan improvisasi ajaib. Dalam rangka berduka atas meninggalnya ayah Emil, Pelor memimpin crowd untuk mengheningkan cipta. Lengkap dengan nyanyian lagu “Mengheningkan Cipta”.
Naïf bermain tiga lagu malam itu. Berbeda dengan penampil sebelumnya, kualitas tata suara mereka jauh lebih bagus. Di tengah-tengah lagu, David meminta minuman kepada laki-laki berpakaian panitia. Diberi air mineral botol, David malah tersenyum. Rupanya dia meminta bir.
Tidak berapa lama, si panitia membawakan David gelas berisi bir yang hanya mengisi seperempat bagiannya. Saya pikir, harusnya kalau memang ini acara penghargaan buat Naif, minimal mereka dijamu dengan baik. Saya tidak suka bir. Tapi, melihat kejadian itu, saya jadi sedikit berpikir, jangan-jangan Naif kurang puas. Atau, mungkin karena proyek ini proyek teman-teman, Naif akan memaklumi kekurangannya.
Atau, jangan-jangan semangat panitia sudah terhapus hujan lebat di hari sebelumnya.