Copet adalah Perampok Malu-malu
Tadi melihat [suspect] copet di angkot.
Waktu saya, Arian dan Koe, teman sekos kami hendak masuk angkot yang berisi empat orang plus keranjang jeruk yang memenuhi seperempat angkot, salah seorang dari mereka menyuruh kami duduk di depan.
Seperti de ja vu. Biasanya, penumpang yang selalu menyuruh orang yang akan naek kendaraan umum, mengatur lokasi mereka duduk, pasti copet. Setidaknya, itu yang sering saya temui di Metro Mini, trayek 604. Saya belum pernah bertemu copet di angkot. Tadi, kali pertama saya.
Bukannya saya berprasangka buruk, tapi dugaan saya selalu benar. Tidak pernah meleset kalau soal copet. Makanya, ketika tadi Koe menerima telepon di dalam angkot, salah seorang dari mereka, yang duduk di dekat pintu, terus memandangi HP Koe. Seorang lagi, yang duduk di sebelah saya juga begitu.
Penampilan mereka selalu sama. Rapi. Berkemeja dan celana bahan. Baju dimasukkan. Dan atribut wajib; tas punggung berukuran besar, yang terlihat jelas tak ada isinya. Tapi, mereka tidak berbuat apa-apa. Mungkin mereka tak tertarik mencopet kami, atau susah untuk bergerak, atau karena melihat Arian yang duduk di depan, atau karena kami terlihat tak punya uang—saya dari tadi hanya memegang selembar uang seribu.
Begitu turun, saya teriak “KIRIII!” di sebelah kuping si suspect copet sebelah saya. Sekadar melampiaskan kekesalan. Dia kaget. Haha. Setidaknya, cuma itu yang bisa saya lakukan.
Saya jadi ingat masa-masa naek Metro Mini 604 ketika masih kos di Pancoran dan berkantor di Thamrin. Maaf. Tanpa bermaksud menjelekkan suku Batak, tapi sebagian besar dari mereka berwajah Batak. Kotak-kotak. Menyeramkan. Hehe. [Padahal, saya juga terlihat begitu ya, buat beberapa orang]
Tapi, first encounter saya dengan copet terjadi ketika masih kelas 2 SMA, dalam bus antar
Suatu hari, saya melihat orang yang berdiri di sebelah saya, selalu menempel-nempelkan badannya ke penumpang di depan. Tangannya selalu berusaha menempel ke saku depan penumpang di depan.
Saya perhatikan terus orang bertangan jahil itu.
“Apakah ini copet?” begitu pikir saya.
“Wah, seru nih. Melihat copet beraksi di depan mata.”
“Kalau dia marah, dan bertanya pada saya, akan saya jawab, sepatunya bagus!”
Begitu kata saya dalam hati.
Ketika bus hampir sampai di Terminal Baranangsiang, si copet belum juga berhasil. Beberapa kali, dia menengok ke arah saya. Yang tentu saja, dibalas saya dengan pura-pura tak melihatnya. Langsung tengak-tengok ke luar, sambil jantung berdebar.
Masuk Terminal, si copet tiba-tiba berbalik ke arah saya.
“Apaan lo lihat-lihat?” katanya marah.
“Nggak bang,” jawab saya.
Plaaak! Tangannya meninju wajah saya. Orang di sebelah dia, entah kondektur atau komplotannya, langsung menyuruh saya turun.
Sejak saat itu, saya bisa langsung tahu, kalau ada copet di kendaraan umum.
0 Comments