Sempat digosipkan batal manggung, Megadeth akhirnya datang juga.
Hujan turun dengan deras ketika saya datang ke Tennis Outdoor, Kamis [25/10] jam setengah tiga sore. Yah beginilah, nasib mereka yang ingin mendapat gratisan dan mendapat ijin memotret. Jauh sebelum penonton lain datang, saya harus ke sana. Belakangan ini saya sering mengalami hal ini.
Datang ke Senayan. Susah payah mencari ID. Lalu pergi ke Plaza Senayan untuk mengisi waktu. Kembali lagi ke venue. Jalan kaki! Acara belum dimulai, betis sudah pegal-pegal. Pinggang sudah panas. Gawat.
Di Plaza Senayan, tanda-tanda penonton Megadeth sudah berdatangan, juga terlihat. Pria-pria 30 something dengan kaos band kebanggaannya, lalu lalang. Ada juga yang berkumpul di meja food court. Entah perasaan saya saja, atau memang demikian adanya. Ketika di antara mereka saling memandang, mereka tahu kalau yang dilihatnya itu akan pergi ke konser Megadeth. Dan biasanya, ketika bertemu sesama pemakai kaos band, yang tak akan luput dari pandangan adalah kaos yang dipakainya. Memang sih, kadang agak curi-curi pandang.
Begitu saya sampai venue, lebih banyak lagi pria 20 dan 30 something dengan kaos band kebanggaannya. Jam enam sore mereka sudah berdatangan. Tentu saja dengan kaos yang dianggap bisa mewakili selera musiknya.
Tak ada keterangan jam berapa konser akan dimulai. Baik di tiket, maupun di poster. Entah lupa. Entah panitia menganggap penonton sudah bisa mengira kalau konser biasanya dimulai jam delapan malam.
Perbedaan antara konser malam kemarin dengan dua konser yang saya datangi sebelumnya, cukup signifikan. Tak banyak datang girl yang got her body from her mama. Tak ada goyang perempuan dengan liuk-liukan tubuh mengundang selera. Tak ada jeritan perempuan memanggil-manggil idola.
Bahkan ketika yang dinanti tak kunjung tiba, jeritan memanggil nama Megadeth ataupun Dave Mustaine hanya terdengar beberapa kali saja. Semakin memertegas kecurigaan saya, kalau yang berteriak memanggil idola di konser sebagian besar adalah ABG. Di sana, yang ada malah teriakan-teriakan khas ujung gang,
“Woy jablay! Lama banget sih!”
“Beruuuk!”
Yang diteriaki begitu, hanya tersenyum. Beberapa kali si teknisi bolak-balik. Nyaris setengah jam dia mondar-mandir di panggung. Baru sekira jam setengah sembilan pertunjukkan dimulai.
Tiga lagu pertama, saya berjibaku bersama puluhan fotografer lain. Kepala mendongak. Mencoba mencari sudut yang bagus. Saya baru memahami kenapa banyak fotografer tak bisa bekerja sekaligus. Memotret sekaligus menuliskan laporannya.
Jika saya datang sebagai wartawan tulis, saya biasanya menonton sambil memikirkan kata-kata atau sudut pandang cerita. Tapi, dengan kamera di tangan, rasanya sulit untuk maksimal di situ. Yang ada di kepala, hanyalah bagaimana caranya tiga lagu bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Belum lagi, bahu dan leher pegal-pegal. Betis panas. Pinggang juga. Ah, berat juga ya tugas para fotografer itu.
Ini penampilan perdana kamera 30D saya. Tapi, lensa 17 – 40 nya masih meminjam punya kantor. Setelah berpindah-pindah dari Olympus e 500, Canon 20D, atau 5 D, akhirnya saya punya kamera sendiri, 30 D hasil THR. Hehe.
Mudah-mudahan bisa menghasilkan uang! Amiiin. 😀
Sialan. Melantur.
Beres tiga lagu, saya ke area festival. Mengambil gambar diam-diam. Ternyata, di sana beberapa fotografer dengan lensa panjang sudah siap. Dengan santainya memotret. Sebagian besar penonton hanya berdiri. Terpana. Beberapa di antara mereka, saya lihat wajahnya seperti terharu. Tersenyum. Memandang terus ke depan.
Kru [atau manajer ya?] Jeruji, yang bernama asli Bambang tapi ingin dipanggil dengan Megadeth saya lihat di antara mereka. Setengah mabuk. Tersenyum sendiri. Memandang idolanya dari kejauhan. Kacamatanya melorot. Matanya tidak terbuka dengan lebar. Kepalanya diangguk-anggukan. Badannya sedikit bergoyang. Di sebelahnya, seorang pria melakukan air guitar, mengikuti solo gitarnya Dave Mustaine.
Peace sells!
Peace
Peace sells,
Peace sells…but who’s buying?
Peace sells…but who’s buying?
Peace sells…but who’s buying?
Megadeth Bambang bernyanyi diiringi air guitar pria di sebelahnya.
Sialan. Kenapa pemandangannya tidak indah begini ya? Hahaha. Di depan saya, beberapa penonton mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk tanda damai. Seperti di konser Slank saja. Sedangkan di benak saya, malah terbayang chatting Arian dengan pacarnya sehari sebelumnya. Arian sedang bersenda gurau lewat YM dengan pacarnya. Dan topiknya konser Megadeth. Dia mengetik ini untuk syarin:
Peace sells, but apa?
But who’s buying?
Peace sells, but apa?
But who’s buying?
Melantur lagi. Kembali ke konser. Rasanya hanya bernyanyi dan menggerakkan sedikit badan yang bisa dilakukan mereka yang tak mau memaksakan fisiknya, tapi berusaha menikmati konser. Sebagian tentu saja ada yang slamdance, bernyanyi sekuat tenaga hingga konser berakhir.
Dan baru sadar kalau fisiknya sudah tak compatible lagi dengan rock show, ketika konser berakhir.
Ungkapan ‘If it’s too loud then you’re too old’ nampaknya tidak berlaku malam itu. Musiknya memang tidak too loud buat kuping mereka yang datang malam kemarin. No sir, it’s not their ears who have issues. But their other organs. Haha.
Ah sudahlah. Biarlah laporan lebih mendetil soal konser ini ditulis oleh mereka yang lebih mencintai Megadeth dibandingkan saya.