Seperti PL Fair, tapi Bukan.
Sabtu [15/12] malam kemarin, anak-anak SMU Pangudi Luhur mengadakan acara serupa pensi. Mereka memakai judul PL Art Collaboration. Bukan PL Fair seperti yang biasa mereka gunakan bertahun-tahun. Konon, alasannya karena itu acara dengan konsep baru. Mungkin juga karena ada kabar yang mengatakan anak SMU sekarang sulit mengadakan pensi karena beberapa pensi di tahun 2007, dihiasi dengan tawuran.
Saya tak tahu alasan pastinya mereka memakai nama PL Art Collaboration. Belum pernah bertanya soal ini pada panitia. Jadi, yang akan saya tulis di sini berdasarkan asumsi. Yeah, saya tahu, asumsi adalah sesuatu yang terlarang dalam dunia jurnalistik. Tapi hey, ini kan blog saya sendiri.
PL Fair atau bukan, berdasarkan pengamatan singkat dan dangkal saya, acara Sabtu lalu sama saja seperti PL Fair. Ada stand-stand sponsor. Ada panggung besar di tengah lapangan. Hanya bedanya, tak ada tema tahun ini. Otomatis, tak ada dekorasi macam-macam. Hanya backdrop berupa kain putih.
Dan entah karena faktor nama, faktor para pengisi acara, atau faktor kurang gencarnya promosi, acara itu jadi sepi pengunjung. Ketika saya datang sekira jam delapan malam—di panggung, Whisper Desire sedang tampil—penonton di lapangan terlihat lengang. Bahkan, ketika Whisper Desire berkolaborasi dengan Pure Saturday pun, tak ada perubahan yang berarti dari jumlah penonton di lapangan. Lorong-lorong kelas yang biasanya penuh dengan orang berlalu lalang, malam itu juga terlihat lengang.
Beres Whisper bermain, panitia dengan lincahnya menempatkan acara pemutaran film sebelum headliner tampil. Saya tak tahu film tentang apa. Yang jelas, itu film karya anak-anak PL. Dan durasinya tak tanggung-tanggung; 45 menit saja! Film itu bahkan memakan waktu lebih lama dibandingkan penampilan Pure Saturday atau Seringai.
45 menit saudara-saudara!
Itu, ditambah hujan yang tiba-tiba turun, membuat penonton di lapangan bubar!
Mungkin itu implementasi dari konsep art collaboration. Tapi, seharusnya tidak membuat film sepanjang itu. Atau, kalaupun mau, film pendek dengan durasi 10 sampai 15 menit saja. Yang bisa diputar di sela-sela pergantian band.
Atau, biarkan panggung menjadi tempat kelompok musik bermain!
Tapi, kalau kita mau berbicara bahwa segala sesuatu ada hikmahnya, maka pemutaran film itu punya dampak positif. Karena begitu film beres, hujan pun berhenti. Penonton bisa ke lapangan lagi. Dan mereka tak harus basah kuyup menyaksikan penampilan Seringai.
***
“Bakar mesjid!” kata Arian.
Penonton bersorak.
“…kalau arah kiblatnya salah,” lanjut Arian.
Dan penonton pun bersorak kembali. Di belakang, Khemod hanya tertawa. Entah berapa orang yang malam itu ada di sana sudah pernah mendengar joke standar bertema Islam itu.
Lapangan tak lagi terlihat lengang. Walaupun tak penuh sesak, pemandangan ini jauh lebih baik ketimbang penampilan sekira sejam lalu. Di antara kerumunan, teriakan perempuan beberapa kali terdengar. Memanggil-manggil nama Arian.
Seringai menghapus beberapa lagu dari daftar. Untuk lebih jelas, silakan lihat foto di bawah. Kata salah seorang panitia, mereka tak boleh mengadakan acara hingga larut malam. Kalau tidak, tetangga bakal mengeluh.
Jam setengah sebelas—kalau tak salah sih, acara berakhir. Permintaan encore dari penonton tak diberikan. Beberapa orang remaja menyerbu panggung. Meminta tanda tangan. Salah seorang remaja perempuan menghampiri Arian.
“Arian, gue penggemar elu. Gue juga vokalis,” kata dia.
“Oya? Bawain apa?” Arian menjawab.
“Progressive metal. Eh, umurlu berapa sih Yan?”
“Menurutlu?”
…
“28?” si perempuan menjawab dengan ragu.
…
“Berapa doong?”
“33,” kata Arian.
“Waaah? Serius?” si perempuan tertawa.
“Emang elu berapa?” Arian bertanya.
“16,” jawab si perempuan.
“Gue juga kayak elu waktu umur segitu,” kata Arian.
“Masa?” si perempuan bingung.
“Iya, gue juga dulunya perempuan.”
0 Comments