Teenage Death Star: 2002 – 2008
“Supaya orang tahu, wah gila, lama ya bikin albumnya, enam tahun,” kata Acong sambil menempeli dinding dengan lakban hingga bertuliskan 2002 – 2008.
Dia terkekeh.
“Tapi, malah tulisan itu bikin kesan hidup Teenage Death Star cuma sampe tahun 2008,” kata saya sambil tertawa.
“Ah, biarin aja. Tulisan ini emang sengaja biar orang punya pikiran macem-macem,” kata Acong.
Acong alias Sir Dandy Harrington adalah vokalis Teenage Death Star. Untuk selanjutnya, kita sebut saja Teenage. Seharusnya, disingkat TDS, tapi sejak Uga juga menyingkat The Dying Sirens dengan TDS, saya memilih untuk menggunakan kata Teenage ketimbang TDS.
Teenage selama ini bagaikan hidup segan mati tak mau. Dibilang tak pernah manggung, tidak juga. Dibilang tak membuat karya, tidak juga. Lagu-lagu mereka muncul beberapa kali di album kompilasi seperti JKT:SKRG dan OST. Janji Joni. Tapi, untuk ukuran band dengan para personel yang tak bisa dibilang minim pengalaman, cukup lama hingga akhirnya mereka merilis album perdana.
Dan Sabtu [22/12] siang itu, di Jalan Dago 498, mereka mengadakan syuting untuk video klip Absolute Beginner Terror dari album perdana Longway to Nowhere yang akan dirilis FFCUTS tahun 2008. Lagu klasik dari Teenage. Lagu yang di beberapa kali saya lihat penampilan mereka selalu membuat crowd menggila. Lagu yang entah bercerita tentang apa. Lagu yang konon, lirik penuhnya dibuat Acong sepuluh menit sebelum masuk studio. Lagu yang bagian terdengar jelas di kuping saya hanya bagian “I wanna see your daddy, I wanna see your mommy.” Lagu yang teriakan gitaris Alvin terdengar keras sekali.
“I’m a teenage!” Acong bernyanyi.
“Liar!” jerit Alvin.
Seperti dua orang tua yang kekanak-kanakan sedang berargumen. Yang satu memaksakan pendapatnya. Yang satu, walaupun sudah jelas tahu kawannya berbohong, masih saja menghabiskan enerjinya untuk berteriak menyanggah pendapat kawannya. Hehe.
Absolute versi baru ini terdengar lebih sophisticated setelah di-mix oleh Iyub Santamonica. Kalau versi lama, rock n’roll yang sangat kasar, mentah, liar, bernuansa jalanan, versi baru terdengar modern, megah, walaupun masih menyisakan liarnya, tapi tak terdengar terlalu kasar. Sepertinya nuansa album perdana mereka akan seperti itu. Saya baru mendengar beberapa lagu saja, jadi belum bisa menyimpulkan. Tapi, sejauh ini, saya bisa bilang kalau saya menyukai hasilnya.
Konon, ketika rekaman di studio milik Iyub, mereka memakai segala macam efek yang ada di sana, hingga membuat sound mereka berbeda dengan lagu-lagu sebelum era studio Iyub.
Soal lirik, Acong pernah berkata pada saya kalau dia—sebagai pembuat lirik—tak ingin memberi lirik yang membuat pendengarnya berpikir. “Kasihan nanti mereka. Udah pusing denger musiknya, eh juga harus mikirin liriknya,” dia terkekeh.
Dan jangankan orang luar, para personelnya sendiri—entah bercanda entah serius—mengatakan kalau bahkan mereka pun tak mengerti apa yang dibicarakan Acong dalam liriknya. Jadi, hanya si vokalis yang tahu apa yang dinyanyikannya.
* * *
Jam dua belas siang, ketika set sudah disiapkan, bassist Iyo belum juga datang. Padahal, dia sudah ditelepon dari jam sepuluh pagi. Dia bilang, ingin mengambil dulu amplifier, dan cymbal. Entah apa yang membuatnya begitu lama. Entah karena hari itu Bandung macet berat karena long weekend sialan membuat para pendatang berdatangan memenuhi Bandung [termasuk saya tentunya].
“Si Teenage mah kayak Spice Girls,” kata Alvin menirukan pendapat temannya, “susah banget dikumpulin.”
Wajar sebenarnya. Dengan komposisi para personel seperti mereka, agak susah untuk berkumpul. Tak hanya jarak, tapi juga kesibukan. Si vokalis, seniman dan desainer yang banyak beredar di Jakarta. Si bassist, vokalis band indie pop ternama. Si gitaris, vokalis rock n’ roll band yang entah sekarang statusnya masih hidup atau tidak, dan kini menjadi penulis karena katanya terpaksa untuk menyambung hidup karena Teenage tak bisa menghasilkan uang. Helvi, gitaris satu lagi, bos label. Dan drummer Firman, selain jadi bagian dari keluarga besar Seurieus, dia belakangan jadi anggota keluarga besar Black Morse Records.
Tapi, terlepas dari semua itu, pada dasarnya mereka sendiri sepertinya kurang memerhatikan dengan serius bandnya. Bahkan, menurut saya, mereka seperti yang kurang sadar kalau Teenage punya potensi untuk berkembang. Itu saya simpulkan setelah beberapa kali mendengar mereka mengatakan suka heran melihat banyak orang yang suka pada Teenage.
Selepas jam satu siang, akhirnya personel lengkap juga. Tapi, persoalan tak berhenti sampai di situ. Beberapa kali ketika mencoba menyalakan lampu, listrik di rumah itu mati. Padahal, biasanya tak begitu. Rumah kosong itu, juga dijadikan kantor majalah Fabric. Dan beberapa kali mereka mengadakan pemotretan menggunakan lampu, tak pernah terjadi begitu.
Hingga akhirnya, mas penjaga rumah mengajak berdoa bersama sebelum syuting dimulai. Setelah berdoa, dua buah lampu sorot akhirnya bisa dinyalakan tanpa membuat aliran listrik di rumah itu mati.
Anggun Priambodo, sang sutradara, hanya mengambil gambar dari satu sudut dan di satu tempat. Para personel Teenage diminta bermain musik mengikuti beat lagu yang sudah diturunkan. Badan boleh bergerak seperti biasa, tapi kocokan gitar, atau gebukan drum mengikuti beat yang lebih lambat dari versi aslinya itu. Ketika part mereka tak muncul di lagu, mereka disuruh diam mematung hingga datang lagi part mereka di lagu.
“Nu gelo! Nu gelo!” teriak Iyo sambil bergerak liar dan absurd.
Kecuali ketika datang gilirannya untuk mematung, yang lain juga bergerak tak jelas. Menaiki meja. Melompat lagi. Memainkan instrumennya. Memukul boneka Mickey Mouse yang tergantung. Merebahkan diri di lantai. Melakukan semua itu hingga lagu berakhir. Entah berapa kali pengambilan gambar dilakukan, saya lupa. Yang jelas, walaupun hanya berjalan sekira dua jam, itu sudah menguras tenaga mereka.
“Wah, gimana kalau manggung ya?” kata Acong ngos-ngosan.
0 Comments