Ini [seharusnya] feature pertama saya untuk Playboy. Baru kali pertama saya menulis tema di luar musik, untuk feature. Ini pun karena rekan kerja [lebih tepatnya senior editor] saya yang mengusulkan tak mau menulisnya, malah menyuruh saya yang menulis. Maka, jadilah feature ini.
Tapi, karena kemudian temanya dianggap ‘too grim,’ feature ini tak pernah dimuat. Dan sepertinya tak akan pernah dimuat. Lagipula, kondisi Tangerang yang saya ceritakan di tulisan ini, mungkin sudah jauh berbeda dengan kondisi ketika saya menulis feature ini.
TOLONG. Kalau di antara kamu ada yang membaca, dan siapa tau tertarik, simpan saja untuk diri sendiri. Tulisan ini tidak untuk dikutip, apalagi kalau untuk media massa.
Kabupaten Tangerang punya problema yang berkepanjangan. Tersebar di Kali Prancis, Dadap dan Sungai Tahang.
Rambut Yuni—sebut saja begitu—masih basah siang itu, ketika dia keluar dari kamar menyambut saya dan rekan-rekan yang datang ke salah satu café di kawasan Kali Prancis, Kabupaten Tangerang, Banten. Dikeluarkannya dua piring kacang garing dalam kemasan, beberapa botol bir, teh botol, gelas dan es batu dalam mangkok.
Sebutan café bisa jadi kurang tepat digunakan untuk tempat itu. Jangan bayangkan tempat kongkow yang nyaman, seperti biasa Anda temui di pusat perbelanjaan atau di perkotaan. Bangunan di pinggir sungai itu, berbahan dasar kayu dan bambu. Hanya lantainya yang terbuat dari semen. Itu pun, tanpa keramik. Di sepanjang dinding, terpampang poster selebritis lokal dan luar. Untuk pengunjung pun, hanya tersedia kursi plastik. Di sudut ruangan, terdapat setumpuk pengeras suara yang nyaris menyentuh langit-langit.
Cahaya matahari yang hanya bisa masuk sedikit membuat ruangan itu agak gelap. Dedaunan yang entah dari mana datangnya, mengotori lantai. Secara tampilan, kondisi di
Sayup-sayup, musik dangdut yang sudah dicampur dengan house music terdengar dari café sebelah.
Perempuan tua berdaster, merokok, menyuruh Yuni menuangkan minuman yang tadi disuguhkannya ke dalam gelas. Dipanggilnya perempuan-perempuan teman kerja Yuni yang lain. Sebagian besar dari mereka rupanya masih berusia belasan dan 20-an. Yuni, mengaku berusia
Dia datang dari Indramayu. Baru
Rekan-rekan Yuni, satu persatu meninggalkan meja saya. Mungkin karena sadar, mereka tidak dapat perhatian besar seperti yang didapat Yuni. Lantas, mereka memilih duduk di bale-bale dekat pintu masuk. Setidaknya, ada
Dan job desk mereka bukan hanya menyuguhkan minuman dan makanan. Tidak terkecuali Yuni. Dengan tarif Rp 200 ribu, Yuni siap melayani laki-laki di dalam kamar. Short time. Saya sendiri sebenarnya, agak susah percaya. Ternyata ada juga orang yang sengaja datang ke
Setelah hampir satu jam, saya tinggalkan café tempat Yuni bekerja.
Café-café di Dadap, terlihat lebih baik jika dibandingkan dengan café-café di Kali Prancis. Lokasi Dadap sedikit mengingatkan saya akan suasana
Saya mampir di salah satu café. Tidak seperti di Kali Prancis, bangunan di
Standard operation procedure-nya pun sama. Berbotol-botol minuman, es batu dalam mangkok, serta kacang garing langsung tersedia di meja. Saya bertemu Revi dan Yati—bukan nama sebenarnya—di
Memang, Dadap dan Kali Prancis bukanlah lokalisasi seperti Saritem di
Menurut Gatot Yan, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Dadap, café-café mulai bermunculan di
Sekarang, jumlah café di kawasan Dadap sudah ratusan. Dengan setiap café mempekerjakan minimal
Tidak semuanya datang ke
“Waktu itu
Dengan harga Rp 3 juta, Yati menjual kegadisannya kepada pengusaha
Perasaaan takut sekaligus sedih bercampur jadi satu. Takut karena dia harus melayani sang pengusaha
Klise memang. Ekonomi pula yang akhirnya jadi alasan Yati bekerja di
Orangtua Yati sakit-sakitan. Ayahnya punya penyakit jantung. Ibunya liver. Yati masih punya enam adik yang harus dia biayai. Sudah
***
Kabupaten Tangerang, dengan luas 1.110 km2 terletak tepat di sebelah barat Jakarta; berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Provinsi DKI Jakarta di timur, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak di selatan, serta Kabupaten Serang di timur. Pada 2003, jumlah penduduknya 3.187.000 jiwa. Dengan kepadatan 2.870 jiwa/km2.
Tangerang merupakan wilayah perkembangan
Secara geografis, Desa Dadap ada di wilayah pantai utara Kabupaten Tangerang yang berbatasan langsung dengan wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Desa dengan luas areal 596,2 Ha dan dihuni 11.513 jiwa penduduk ini adalah pintu gerbang Propinsi Banten dari jalur utara.
Di tengah proses pembangunan Kabupaten Tangerang, kehadiran usaha prostitusi di Dadap, Kali Prancis dan Sungai Tahang jelas jadi hambatan tersendiri. Bagaikan radang yang tidak juga kunjung sembuh. Apalagi tetangga mereka, Kota Tangerang sedang giat memberantas minuman keras dan prostitusi lewat Perda No 7 & 8 Tahun 2005.
Berbeda dengan Surabaya yang mengakui Gang Dolly sebagai lokalisasi dan menarik retribusi dari tempat itu untuk masuk Kas Daerah, Kabupaten Tangerang hingga saat ini tidak mengakui Dadap, Kali Prancis dan Sungai Tahang sebagai lokalisasi. Ada yang menginginkan kawasan itu dibersihkan. Ada juga yang masih menggantungkan hidupnya di sana. Dan nyatanya, segitiga emas itu masih hidup.
“Tangerang sudah dinyatakan sebagai daerah relijius, yang sebagian penduduknya beragama Islam. Kalau Pemda mengakui daerah itu jadi lokalisasi, nanti bahaya. Menghadapi ulama. Kalau sudah bicara lokalisasi, berarti sudah ada keabsahan, legalitas. Justru kami yang tidak mau,” kata Ahmad Djabir, Kabag Humas dan Protokoler Pemda Kabupaten Tangerang.
Bukan cuma Djabir yang bisa bicara agama. Karena Yati juga sadar, apa yang dia lakukan selama ini tidak benar jika dilihat dari sudut pandang agama. Ada pergulatan di dalam batin Yati. Mana yang harus dia perhatikan. Perintah Tuhan, atau rasa sayang dia terhadap keluarganya? Di satu sisi, Yati merasa berdosa karena melanggar larangan Tuhan. Di sisi lain, dia merasa telah berbuat baik dengan menyambung hidup keluarganya. Bekerja di Dadap.
“Saya juga selalu mau tanya sama orang yang ngerti. Kalau saya kerja begini kan dosa. Tapi, kalau saya nggak kerja begini, keluarga saya nggak bisa hidup. Makanya, hukumnya apa ya buat saya?” lanjut Yati.
Yati mengaku selalu dihantui perasaan berdosa. Makanya, dia selalu berusaha menyibukkan diri jika tidak sedang bekerja. Apapun dikerjakannya, supaya tidak teringat dosa. “Daripada di kosan diem, mending saya ngobrol sama temen-temen. Apalagi kalau udah nonton sinetron-sinetron agama tuh. Suka takut,” katanya lagi.
Adalah wajar ketika akhirnya kehadiran kawasan itu tidak diinginkan. Entah sudah berapa kali kawasan itu coba ditertibkan. Bahkan, di tahun 2001, sempat diratakan dengan tanah. Toh, café-café itu akhirnya bisa muncul kembali. Suka tidak suka, banyak orang merasa diuntungkan dengan adanya kawasan itu. Banyak yang menggantungkan penghasilannya di sana. Masih banyak Yati lain di sana. Yang kisah hidupnya lebih mengharukan.
Belakangan ini, minimal satu kali dalam sebulan diadakan penertiban. Hanya saja, Yati selalu beruntung. Sejak tahun 2000, setiap ada razia, Yati selalu kebetulan sedang tidak bekerja. Sudah sering Yati mendengar kabar teman-temannya dibawa petugas trantib. Tapi, toh mereka bisa kembali bekerja juga setelah ditebus sang mamih. Selama ada uang, maka tidak akan ada masalah. Mereka yang dirazia selalu bisa kembali.
“Dulu sih, razia cuma sering waktu bulan puasa aja. Padahal, kalau bulan puasa saya lagi butuh duit banyak buat lebaran,” kata Yati.
Uang pula yang kemudian membuat kawasan itu tetap bertahan. Menurut Yati, minimal Rp 40 ribu dipungut dari setiap café per malam. Uang sebanyak itu, untuk oknum petugas kepolisian, pertahanan sipil dan preman. Bahkan, untuk kas pemuda lokal pun, setiap café sepakat memberi Rp 30 ribu per bulan. “Dari pada tiap malem dateng minta jatah, akhirnya mereka dikasih aja jatah per bulan,” kata Yati.
Itu baru setiap café. Masih ada pungutan diambil dari mereka yang bermalam di kamar. Besar uang yang harus disetor adalah Rp 5 ribu. Dengan kata lain, kalau Anda bermalam di sana, selain ongkos jasa dan kamar, Anda harus menyediakan uang Rp 5 ribu. “Biasanya Hansip yang kebagian jaga malem itu, ngetok pintu-pintu kamar. Yang nginep tinggal ngasih lima ribu,” tambah Yati.
Djabir hanya tertawa ketika diminta pendapatnya soal pungutan di Dadap. “Saya belum tahu. Retribusi ke mana? Pemda belum tahu sejauh itu. Karena belum ada yang mengirim informasi ke Pemda. Hanya masuk ke wartawan doang kali,” kata Djabir.
Bicara soal penghasilan, Yati bisa mendapat minimal Rp 3 juta per bulan. Uang sebanyak itu, setengahnya dia kirim ke kampung untuk biaya hidup keluarganya. Setengahnya lagi, dia pakai untuk biaya hidup sehari-hari; bayar kos, membeli peralatan kosmetik, hingga makan.
Sekarang, kerja apa bisa dapat uang segitu sebulan? Saya juga cuma lulusan SMP. Paling cuma bisa jadi buruh pabrik. Itu pun nggak akan dapet uang sebanyak itu,” kata Yati terbata-bata.
Gambaran di atas masih kasar. Berapa uang yang beredar sebenarnya tentu jauh lebih besar. Apalagi pemilik café yang mendapat penghasilan dari minuman dan sewa kamar. Sebagai gambaran saja, jika Anda memakai jasa Yati, Anda harus membayar Rp 150 ribu. Selain itu, Anda juga harus mengeluarkan uang Rp 50 ribu untuk sewa kamar.
Bisnis yang menguntungkan? Tentu saja. Apalagi bisnis ini adalah salah satu bisnis tertua dalam sejarah manusia. Sampai kapanpun, kebutuhan manusia akan seks akan terus ada. Itu sebabnya, banyak juga mereka yang teguh mempertahankan keberadaan Dadap dan sekitarnya.
“Yang jelas, masyarakat yang peduli dengan masyarakat yang punya kepentingan, lebih berani ketimbang masyarakat yang punya kepentingan. Yang punya kepentingan kan preman, dapat jatah. Akhirnya, kami tutup mata. Merem saja. Persoalannya ke perut lah,” ujar Maman, tokoh pemuda Pantura yang sudah beberapa kali bersama teman-temannya ikut serta dalam usaha penertiban kawasan Dadap dan sekitarnya. Bahkan, Maman akhirnya harus berhadapan dengan kawan sendiri ketika berusaha menertibkan kawasan itu. Ini yang kemudian jadi dilema.
Saya juga temui Barhum HS, Ketua Dewan Kehormatan DPRD Kabupaten Tangerang, Fraksi PDIP untuk bicara soal ini. Barhum sejak kecil tinggal di Tangerang. Salah satu masyarakat yang diwakilinya adalah Dadap. Usaha prostitusi di Dadap sudah ada sepanjang ingatan Barhum.
“Saya bingung, makin besar itu penertiban, besok makin besar saja. Ternyata dapat perlawanan yang keras dari masyarakat. Nggak jelas, apakah masyarakat setempat, atau pendatang, yang jelas melawan. Dari pihak kami sih, atas nama lembaga, pada prinisipnya harus ditertibkan. Karena daerah itu potensial untuk pariwisata,” kata Barhum.
Sedangkan Maman mengaku kalau wacana soal menjadikan kawasan itu sebagai lokalisasi sebenarnya sudah ada. Tinggal formula atau formatnya yang bagaimana itu yang belum ditemukan. “Kalau bicara tata ruang, memang harus di tempat yang peruntukkannya untuk itu. Cuma, di mana di Tangerang ini tempat begitu? Kecuali di pulau, mungkin. Sedangkan kalau pulau, masuknya di Jakarta. Sudah bukan lagi Propinsi Banten,” lanjut Maman.
Persoalan lokasi memang kemudian yang akhirnya timbul. Menurut Gatot Yan, Koordinator Jaringan Pengawal Kebijakan Publik [JAKAP] Tangerang, tidak akan ada yang rela kecamatannya dijadikan lokalisasi. “Sekarang ketiga daerah itu kan ada di Kecamatan Kosambi. Terus terang saja, sebagai warga Kosambi saya ingin itu dipindahkan. Tapi, warga kecamatan lain juga pasti akan keberatan. Kalau begini kan pusing,” kata Gatot sambil tertawa.
Barhum senada dengan Maman soal menjadikan Dadap, Kali Prancis dan Sungai Tahang sebagai lokalisasi resmi. “Kalau menurut saya, sah-sah saja kalau mau dijadikan lokalisasi, tapi tergantung kesepakatan elemen yang ada. Dari pada liar dan tidak jelas kontribusinya. Kalau memang sudah ada kesepakatan, dan retribusinya jelas masuk ke kas daerah, kenapa tidak?” kata Barhum.
Drs. Ahmad Buety Nasir, mantan Ketua [2003-2004] yang sekarang jadi anggota Komisi E, DPRD Banten tidak sependapat dengan Barhum dan Maman. Bagi Buety, apapun alasannya, prostitusi tidak bisa ditolerir. “Bagaimanapun kejahatan adalah kejahatan. Dihapuskan saja! Soal kemudian, bagaimana memberikan jalan keluarnya, itu kewajiban pemerintah. Walaupun dilokalisir, tidak ada jaminan tidak akan menjalar ke pemukiman masyarakat. Ini yang terancam itu kan masyarakat Pantura. Masalah sosialnya, penyakit masyarakat, HIV/AIDS,” kata Buety tegas.
Buety mengakui, ketika kawasan itu dihapus, memang harusnya ada solusi. Tapi, sampai saat ini, perhatian pemerintah di bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, masih sangat minim. Komisi E DPRD Prop. Banten, menurut Buety terus berjuang dalam bidang pendidikan. Hanya, sampai saat ini Buety dan kawan-kawan masih merasa jadi kaum marjinal.
“Sejak tahun 2004, kami menganggarkan dana pendidikan jauh lebih besar dari propinsi-propinsi lain. Termasuk masalah rehabilitasi, pelatihan sumber daya manusia. PSK itu harus diberi itu ketika tempat itu dihapuskan. Ada solusi, ada jaminan di mana mereka diarahkan jadi tenaga kerja yang baik,” kata Buety.
Pendidikan, agaknya salah satu solusi menghadapi persoalan Dadap dan sekitarnya. Karena Yati dan Revi mengaku tidak punya keahlian apa-apa. Dan bekerja sebagai pelayan plus, relatif tidak membutuhkan keahlian yang tinggi. Hanya bermodal kesabaran dan kemauan. Yati agaknya tahu benar soal kesabaran ini. Tidak sedikit klien dia yang berlaku kasar. Fisik maupun perkataan. Butuh kesabaran untuk menghadapi itu.
“Kehidupan di sini keras. Saya nggak mau ada adik saya yang ngikutin jejak saya,” ujar Yati.
Makanya, Yati punya rencana untuk membuka usaha kecil-kecilan di kampungnya di Jawa Tengah. Usaha es goreng yang bisa dikelola ayah atau adiknya. “Kata bapak, di kampung, banyak orang yang suka sama es goreng. Kalau jualan itu kayaknya bisa laku,” lanjut Yati. Modalnya, akan dia ambil dari hasil arisan. Mungkin bagi sebagian orang, jumlahnya tidak terlalu besar; Rp 2 juta. Tapi jumlah itu dirasa cukup buat Yati. Harapannya, jika kelak suatu saat Yati tidak lagi bekerja di Dadap, dia bisa meneruskan usaha itu bersama keluarganya.
Yati memang mengaku belum punya jaminan kalau rencana usaha es goreng itu akan berjalan dengan baik. Tapi, setidaknya dia merasa telah berbuat sesuatu untuk menghadapi masa depannya. Jika suatu saat Dadap tidak lagi ada. Atau, jika suatu saat Yati tidak bisa lagi bekerja di sana.
Sedangkan soal masa depan Dadap, sebenarnya pernah ada usaha untuk menjadikan kawasan itu sebagai kawasan pariwisata. Seperti yang disebutkan Barhum sebelumnya. Dia lantas mengatakan soal rencana reklamasi pantai di tahun 2001. “Sudah ada Koperasi Pasir Putih. Kemarin kan sempat mencuat masalah SK Pasir Putih, karena belum ada perijinan, amdal dan lain-lain. Sempat ada reklamasi, tapi terhenti,” kata Barhum.
Gatot Yan menulis soal kegiatan reklamasi pantai ini. Dalam suarapublik.org dia mengungkapkan ketika tahun 2001 Bupati Tangerang mengeluarkan SK kepada 3 pengembang untuk melakukan pengembangan Kawasan Wisata Pantai, sejak itu pantai Dadap makin memburuk. Puluhan hektar bibir pantai yang direklamasi serta diubah jadi hamparan tanah merah membuat sekitar 10 hektar kawasan pantai raib dan mengalami penyempitan cukup parah.
Akibatnya, terjadi sedimentasi yang signifikan akibat gerusan ombak sehingga menimbulkan penyempitan dan pendangkalan yang hebat di sekitar muara Dadap. Ini membuat perahu nelayan sering kandas sehingga menyulitkan lalu lintas mereka. Pendangkalan Teluk Dadap juga membuat banjir. Jika hujan, air dari hulu tertahan timbunan lumpur di muara dan tumpah ke pemukiman penduduk. Dalam sebulan, warga bisa 3 kali dikirimi luapan air laut.
Agaknya bisa dipahami kalau menghadapi persoalan di Dadap dan sekitarnya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para narasumber yang saya temui mengaku belum punya solusi yang jitu guna menghadapi persoalan ini.
Lantas, wacana membuat Perda seperti di Kota Tangerang pun sempat mencuat. Walaupun sampai saat ini semua itu masih sebatas wacana. Djabir malah mengatakan belum adanya Perda sebagai salah satu kendala dalam menertibkan kawasan itu. “Untuk menindaknya, harus ada payung hukumnya. Larangan yang jelas. Seperti di kota Tangerang. Makanya, kalau sudah ada perda, lebih enak,” kata Djabir.
Tapi, bagi Barhum, dari konteks investasi, wacana Perda ini akan berlawanan. Seandainya Kabupaten Tangerang berencana melakukan perkembangan ekonomi dari pariwisata. “Ada rencana pembangunan mega proyek di sepanjang 45 km perbatasan pinggir pantai di Kabupaten Tangerang. Perlu pengkajian yang matang. Secara kultur, sosial. Artinya, pengembangan atau daya beli investor untuk menanamkan modal. Dilema untuk kabupaten. Kota yang tidak punya aset pantai juga masih bergejolak,” lanjut Barhum.
Sebetulnya Gatot Yan pernah mengusulkan agar di atas lahan itu dibuat jalur hijau begitu beres ditertibkan. “Kalau langsung dibangun jalur hijau di sana, pasti bangunan-bangunan itu tidak akan tumbuh lagi,” kata Gatot.
Ketika ditanya soal ini kepada Djabir, dia menyebut dana sebagai alasan kenapa tidak dibangun jalur hijau waktu kawasan itu diratakan. Untuk sementara, menurut Djabir masih banyak hal lain yang mendesak untuk masyarakat di Kabupaten Tangerang. Dia malah mengatakan harusnya pihak PT Angkasa Pura 2 sebagai pemilik tanah ikut bertanggungjawab soal ini.
“Tanah, tanah dia. Kalau mau, kerjasama. Patungan! Mungkin belum ada dananya, atau mentingin yang lain dulu. Sama aja kabupaten juga. Banyak yang perlu dibiayai,” kata Djabir.
Saya tanya Yati apa jadinya kalau Dadap benar-benar ditertibkan untuk selamanya. Dia sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab pertanyaan saya. Sambil menghela nafas, dia mengaku akan menerima kenyataan seandainya Dadap dan sekitarnya dibersihkan.
“Kerja seperti ini