Duta terbaru rock n’ roll dari Kota Kembang bicara soal Multiply, maskulinitas dan kenapa di sampul album, wajah mereka berminyak.
The Changcuters adalah seragam. The Changcuters adalah kuda. The Changcuters adalah rock n’ roll? The Changcuters digilai, sekaligus dibenci. The Changcuters adalah vokalis Tria, gitaris Qibil dan Alda [bergaya rambut sama], bassist Dipa [berwajah Batak, karena memang orang Batak], dan drummer Erick–mereka semua memakai nama belakang Changcut. The Changcuters juga pernah membuat kehebohan di pelukislangit.multiply.com.
Medio 2005, waktu saya diberi demo mereka, yang pertama terlintas adalah nama mereka jelek. Padahal, wajah mereka tak jelek-jelek amat. Bisa dijual lah. Apalagi sejak jaman masih demo, mereka sudah berseragam. Karakternya sudah mulai terbentuk. Sayang namanya jelek, begitu yang saya pikir. Ternyata, sekarang jadinya tak terlalu jelek juga terdengarnya.
Waktu mereka merilis album perdana “Mencoba Sukses” dengan produser Uki Peterpan, hasilnya buruk. Secara produksi, masih jauh dari bagus. Padahal, lagu-lagunya cukup catchy. Tema lagunya pun bervariasi. Liriknya memang masih belum terlalu bagus. Tapi, penampilan panggung mereka menghibur. Salah satu band yang sadar bahwa di panggung, mereka harus menyuguhkan pertunjukkan yang bisa memuaskan visual, tak hanya audio.
The Changcuters membuka launching album KOIL. Dalam sebuah obrolan, Otong mengatakan kalau beberapa orang memang memertanyakan keputusan mereka mengajak Changcuters. Tapi, kepada saya, Otong berkata kalau dia meminta Changcuters karena anaknya suka mereka. “Anak kecil mah, jujur kan?” kata Otong.
Tahun ini, The Changcuters merilis repackaged album, “Mencoba Sukses Kembali,” di bawah bendera Sony BMG. Ada lagu baru, macam “Racun” dan “I Love You, Bibe.” Gara-gara lagu yang kedua, Luna Maya menelepon Tria, dan mengucapkan terima kasih karena namanya disebut dalam lagu.
Di album itu, produksi mereka terdengar lebih baik dibanding yang sebelumnya. Dua lagu terbarunya, menunjukkan kalau Tria sebenarnya bisa jadi penulis lirik yang lebih baik setelah berjalannya waktu. Walaupun sebenarnya, lagu-lagu The Changcuters akan terdengar biasa saja di telinga mereka yang sudah mendengar banyak rock n’ roll albums, tetap saja, lagu-lagu mereka pada dasarnya catchy dan tipe lagu-lagu yang enak dibawakan di panggung.
Tahun ini, mereka membintangi layar lebar berjudul “The Tarix Jabrix,” film arahan murid sutradara Hanung Bramantyo, yang dirilis Star Vision. Film tentang sekelompok anak SMA, yang ditolak jadi anggota geng motor dan memutuskan memutuskan membuat geng motor juga.
Mereka juga menjadi bintang iklan Flexi. The Changcuters sepertinya bakal ada di mana-mana. Dan The Changcuters jadi band pertama yang menghiasi halaman Multiply ini. Rencananya, saya akan mulai mewawancarai beberapa orang atau band untuk halaman ini.
Minggu [23/3] malam lalu, The Changcuters bermain di Terusik Traxustik, di Score! Cilandak Town Square, Jakarta. Saya menyambangi mereka di apartemen Cilandak, tempat mereka beristirahat. Sebelumnya, saya bertemu Tria dan Erick di Senayan City. Erick mencari bretel. Punya dia rusak. Tapi, yang dicari tak ada. Maka, malam itu, hanya Erick yang tak memakai bretel.
The Changcuters adalah tipe pria-pria senang dandan. Beres mandi, semuanya memakai hair dryer. Sepertinya, mereka cukup metrosexual. Tria, ketika berjalan-jalan di Senayan City, membawa tas jinjing, yang sepertinya hanya akan dipakai pria metrosexual. Tipe tas jinjing dengan motif-motif dan warna gelap yang entah bagaimana saya mendeskripsikannya karena saya bukan pria metrosexual.
Tapi di panggung, mereka tak terlihat seperti pria metrosexual. Tria, adalah generasi paling baru dari para pemuja Mick Jagger—setelah Deddy Stanzah, Rico Corompies dan Eka Annash. Penggemar Mick Jagger manapun akan langsung tahu, dari mana asalnya lenggak-lenggok Tria di panggung.
Beruntungnya Tria, diberi tubuh langsing. Membuat liukan tubuhnya masih terlihat lincah dan menarik di panggung. Kalau kamu pernah melihat Rico Corompies sekarang, dia sudah tak bisa meliuk-liuk. Tubuhnya sudah tambun. Yang tersisa dari kemiripan dia dengan Mick, hanya bibirnya. Beruntung juga Changcut yang lain. Semuanya diberi tubuh langsing. Membuat pakaian ketat yang menempel di tubuh mereka, terlihat pantas. “We are the next best things!” kata mereka di account MySpace. Untuk soal itu, kita harus sama-sama tunggu.
45 menit sebelum berangkat menuju Score! saya mewawancarai mereka.
Karena ini buat Multiply, apa kesan pertama yang terlintas ketika mendengar kata Multiply?
Dipa [D]: Wah seksi, smart. Karena itu bisa jadi satu informasi yang beda.
Alda [A]: Rame. Banyak tukar informasi lah.
Qibil Q]: Multiply menurut saya agak kurang penting yah. Penting nggak penting. Jadi kalau misalnya, kayak sesuatu kalau orang di jaman sekarang kan harus online. Dan nggak mesti setiap yang online harus punya Multiply.
Tria [T]: Sebuah media baru.
Erick [E]: Positifnya, informasi bisa didapet dengan bebas. Negatifnya, jadi nggak kebendung, bisa disalahgunakan.
Merasa jadi korban Multiply?
D: Yah itu yang gue bilang bisa disalahgunakan itu ya. Pernah kan, ada kasus sama White Shoes yang albumnya bisa didownload secara gratis tanpa ijin.
T: Maksudnya, harusnya itu bisa jadi wadah untuk mengekspresikan, tapi itu disalahgunain banget kalau sampe merugikan orang lain. Padahal kan, itu wadah untuk eksistensi diri. Ya udah, tulis aja pendapat dia, jangan sampe merugikan orang lain. Apalagi kayak kasus White Shoes itu.
Kalau Changcuters gimana?
D: Wah, gue buka internet aja setahun sekali [tertawa].
Oke, langsung aja nih. Waktu itu kan sempet ada kehebohan di pelukislangit.multiply.com, gara-gara review dia
Q: Pada awalnya sih, waktu kami baca di Ripple, sempat bertanya-tanya, siapa ini Pelukis Langit? Akhirnya, kata si Manik, Pelukis Langit mah temen Multiply gue. Waktu awal sih, sempet down juga. Band baru pula.
T: Kayak misalnya gini lah, orang udah jelek, dibilang udah jelek gendut pula. Padahal dia tahu, nggak usah dibilang gitu juga.
Q: Tapi, setelah kami pikirkan secara dewasa, bijaksana, rasional dan mendengar input dari orang lain, akhirnya ya bad news itu good news. Akhirnya, sampai sekarang ini belum pernah ngebahas posting-an itu.
T: Akhirnya, sekarang kami menyadari, masalah itu bukan datang dari yang meledek, tapi lebih datang dari intern. Gue udah nggak terlalu peduli lagi, kalau ada yang bilang wah elu keren euy masuk Sony, ya terima kasih. Kalau ada yang bilang jelek juga, nggak dipikirin. Da yang lebih bikin pusing mah, persoalan intern.
A: Ya itu jadi kritik membangun lah. Itu baru komentar segelintir orang. Apalagi kalau lebih luas lagi.
Q: Pemanasan lah.
Selain itu, pernah ada yang bikin kalian down?
D: Satu orang punya 100 persen di kepalanya, tapi digabung harus jadi 100 persen juga.
Q: Justru terpaan dari luar yang bikin kami lebih solid. Kalau yang bikin down, justru karena adat si ini begini, adat si ini begini.
T: Kalau gue pribadi, yang bikin gue nge-drop sih, adalah ketika gue lagi nggak fit, gue harus tampil secara nasional. Pertanggungjawabannya itu yang lebih besar. Padahal cuma satu lagu, tapi menentukan.
A: Sekarang sih, kalau ada kritikan ya kami tampung.
D: Suka tidak suka kan, sama halnya kayak kita nggak mau makan ini atau itu, selera lah. Itu kan upaya pembentukan opini publik aja.
Kalau yang bikin kalian semangat?
Q: Banyak ya. Setelah kejadian Multiply itu, kami manggung nih di sebuah acara underground Bagus Netral. Bapak Arian menghampiri saya, kurang lebih bilang gini, “Persetan gosip lah! Maju terus!”
T: Dan itu, sangat memotivasi pisan.
Q: Secara itu Arian. Kami lebih tahu Arian, ketimbang Felix. Siapa Felix?
T: Kalau gue satu lagi kejadiannya. Waktu di konser Bjork, tiba-tiba ditowel orang. “Eh sori ya, gue cuman bisa lihat elu di TV.” Bens Leo nyalamin. Tahu Changcuters! Gimana teu lieur? Kenapa Bens Leo bisa tahu kami? Terus, Kang Micko Protonema, yang sudah terkenal di scene rock n’ roll dan blues, ternyata tahu kami. Itu yang membuat kami harus belajar banyak. Buat memertanggungjawabkan pada mereka yang mendukung kami.
Sama Felix pernah ketemu langsung?
A: Waktu di acara Indie Fest. Nggak ketemu langsung sih.
T: Gue tahu dari MC, ada Felix. Gue pengen ngebecandain dia. Kalau di Hollywood kan suka ada yang ngeritik, your rules, gue bikin rules lagi. Ternyata dia seneng, dan nulis di Multiply. Gue pengen ketawa aja. Padahal itu kan, kayak misalnya Eminem bikin lagu tentang Britney Spears, eh Britney-nya ada.
Q: Mungkin kalau di Hollywood itu udah di-setting ya. Ada ketemuan dulu.
D: Kalau ketemu sama gue mah, bahaya lah! [tertawa].
T: Tapi da nggak ada dendam juga.
D: Bagus lah, kalau nggak ada omongan dia, nggak akan dilirik media lain. Itu kan promosi juga. Yang penting kata Tria tadi, ke depannya harus bagus.
T: Tapi bukan karena si Felix, kami jadi pengen lebih bagus ya. Kami ingin memertanggungjawabkan kepercayaan yang udah dikasih sama orang-orang yang udah ngedukung kami. Kayak tiba-tiba waktu itu Kang Micko, ngajak kami kumpul sama anak-anak blues di Bumi Sangkuriang. Anjir, gimana nggak pusing? Di sana kami mau ngapain? Jadi, wah nggak boleh selamanya kami nutupin, kami harus belajar. Tapi, waktu diajak itu, kami lagi nggak bisa.
Scene Bandung gimana penerimaannya?
D: Ya sama aja. ada yang nerima, ada yang nganggap angin lalu.
T: Kami cuma nganggap Changcut Rangers aja. Kalau suatu saat kami udah nggak musim, selama Changcut Rangers masih berdiri, kami masih eksis.
E: Kalau band-band nya mah, aman-aman aja.
Kalian kan akrab sekali dengan Peterpan, pelajaran apa yang kalian dapat?
D: Ya itu tadi, mental.
Q: Waktu kami ada kasus review yang di Ripple itu, si Uki bilang, “Udah lah Bil, waktu itu kami dijelek-jelekin sama Ahmad Dhani. Dijelek-jelekin sama banyak orang.”
E: Kalau gue mah, soal kasus di Multiply itu, ya gue anggap hiburan aja. Kayak ngelihat kucing kesandung lah. [tertawa]. Jarang kan lihat kucing kesandung? Makanya lucu kan? Hanya hayalan aja. Nggak nyata lah.
Waktu Peterpan mecat dua personelnya, apa yang ada di kepala kalian?
Q: Pelajaran buat kami juga. Yang kami pernah down gara-gara kendala intern itu. Woy! Kita tuh masih baru! Lu mau kayak Peterpan?
T: Dulu mereka juga pernah ngasih nasihat. Mereka tuh kan sebenernya jenuh. Kurang komunikasinya juga. Mereka bilang, “Sok nanti kalau elu udah tur mah, pasti jenuh juga.” Terus gue bilang, ah nggak mungkin kami mah maennya bareng da. Makanya akhirnya, banyak petuah Peterpan itu, kami jadiin bahan buat kami, mengingat kami band masih baru. Itu kami jadikan buat hati-hati.
Memang, problem internalnya apa sih?
D: Ya ego lah. Kalau ego udah muncul, itu yang paling berat.
Yang paling terlihat sering memaksakan egonya siapa?
D: Gue. [tertawa]. Karena gue kan dari luar kota. Sering home sick euy Leh!
T: Kalau gue lihat, setiap orang di sini punya sisi negatifnya. Ketika sisi negatifnya keluar, itu egonya berjalan. Gue pundungan. Emo lah! Kibil tempramen. Alda don’t care.
A: Ya say amah dari dulu suka males lah. Pengen santai.
D: Kalau gue sangat perhatian. Walaupun omongan gue keras, itu karena cuaca di Medan panas. Jadi gue perhatian.
Q: Nah ketika dia perhatian, nggak ada yang peduli, keluar deh egonya.
E: Kalau gue pemalu. Ke band juga, jadi susah juga mau ngapa-ngapain.
Proses kreatifnya gimana?
Q: Nge-jam
T: Kadang genjrengannya dari Qibil misalnya, tetep aransemennya dikembangin rame-rame.
Pake nama siapa di kredit buat pencipta lagunya?
T: The Changcuters.
Padahal kan, katanya itu jelek. Kalau suatu saat ada yang keluar, bagi-bagi royaltinya susah.
T: Kami komitmennya kalau salah satu keluar, bubar! Jeleknya itu kan kalau ada yang keluar masuk dari band-nya. Kami mah, kalau ada yang satu keluar, bukan Changcuters lagi. Susah nemuin yang kayak gini lagi [menunjuk Erick dan Alda].
Emang, nemuin mereka di mana?
Q: Si Erick waktu SMP ke SMA, nge-band sama gue. Si Alda nge-band waktu kuliah.
D: Jadi, ini the band si Qibil. Gue ketemu Tria, gara-gara dia. Ketemu Erick dan Alda, gara-gara dia juga.
E: Waktu itu, si Qibil lagi nyari drummer handal, makanya dia nelepon gue.
Q: Sebenernya karena elu yang gue kenal [tertawa].
T: Mungkin kalau ketemunya sama Eno Netral, dia yang jadi drummer kami [tertawa].
Kenapa memakai kata “Mencoba Sukses” buat judul album?
Q: Itu dari jaman masih demo. Tadinya mau “Menuju Sukses,” kenapa akhirnya jadi “Mencoba Sukses?” itu karena artinya ikhtiar ya.
T: Ada juga yang mengartikan coba-coba sukses. Sukses kok coba-coba bikin album sih? Sebenernya nggak ada salahnya juga, ya iya lah masa orang nggak mencoba. Nanti nggak tahu hasilnya. Tapi, hasil juga bukan yang kami tuju. Ini prosesnya, ini ikhtiar-nya. Pengen tahu gimana hasilnya. Tadinya juga, nggak mau bikin album, kami mau nyebar-nyebarin aja. Eh ada yang suka juga. Ya udah, lumayan juga kalau kami orderin [tertawa]. Eh si Uki ternyata mau jadi produser. Ya udah lah, serba kebetulan aja.
A: Mencobanya tuh usaha, bukan mencoba-coba.
Q: Kami punya barang, ini kualitasnya, coba deh.
T: Kayak bikin ramuan. Asalnya buat kami doing. Eh ternyata banyak yang suka. Ya udah bikin banyak aja.
D: Kalau dari silsilah katanya, ‘Mencoba’ tuh enak aja. Kalau misalnya, ‘Mencoba’ pasangannya ‘Sukses,’ enak kan? Kalau ‘Menuju Sukses,’ nggak enak.
T: Tadinya sempet kepikiran, “Berusaha Sukses,” cuma nggak enak. Kesannya kami ambisius banget.
Memang, nggak mau dicap sebagai band ambisius?
T: Ambisi boleh, ambisius jangan. Karena kalau ambisius, lebih mentingin hasil.
E: Kami lebih ke optimis, ketimbang ambisius.
Kualitas album perdana kalian, jelek menurut gue mah
D: Kami juga nggak puas. Yang puas yang sekarang. Dengan skill kami yang segitu, ternyata frekuensinya bagus juga.
Kalau sudah sadar jelek, kenapa dikeluarin juga?
Q: Pada saat masternya jadi, sangat kepepet. Mental fisik segala macem, udah lelah. Wah ini udah enak kok.
T: Jadi intinya gini, waktu rekaman album perdana itu, kami udah semaksimal mungkin. Yang penting, kami udah dapet banyak ilmu. Gue jadi tahu, recording tuh nggak gampang. Itu yang berharganya mah. Hasilnya jelek atau nggak mah, itu niat ke sananya aja yang kami butuhkan.
A: Mungkin manusiawi ya, nggak pernah puas. Cuma, waktu itu kami ngerasa wah udah deh udah cukup. Udah bagus lah. Ternyata pas udah dapet pelajaran lebih, pas kami dengerin lagi, kok gini banget ya?
Berapa lama rekamannya waktu sama si Uki?
D: Rekamannya sebentar, dua sampe tiga bulan. Cuma si operatornya waktu itu sibuk banget.
T: Kebayang, selain vokal, drum sama bass, itu nge-track sendiri di rumah si Uki, pake computer, belum di studio.
K: Stressfull lah.
Q: Ilmu buat nge-track aja belum seberapa.
D: Dan inti daripada intinya sih, duit. Buktinya nge-track gitar di rumah. Begitu sama Sony, mau berapa jam, sook.
Boleh tahu, budget waktu rekaman sama Uki?
Semua: Waaah, jangan lah. Nggak enak sama si Uki.
Dan repackaged album ini, diberi judul “Mencoba Sukses Kembali.” Seakan-akan kalian sebelumnya mencoba sukses, tapi gagal, sekarang nyoba lagi.
T: Bukan begitu. Maksudnya, ini usaha yang kedua.
Q: Second coming lah. Kalau film mah, Empire Strikes Back lah!
D: Yang pertama mah, Jawa Barat kan. Nah, sekarang nasional.
Tapi, kenapa foto kalian nggak di-retouch? Itu berminyak sekali
Semua: [tertawa]
T: Iya bener. Tapi, itu jadinya bagian dari konsep.
Q: Wah, ini sampai berpeluh keringat begini, biar kelihatan, wah usahanya pasti keras nih.
T: Itu melambangkan sebuah usaha untuk sukses [tertawa]. Ah, tapi nggak apa-apa kok. Dengan keadaan buruk kayak gitu aja, banyak yang beli. Apalagi kalau keadaan kami ganteng abis.
Q: Itu sebenernya efek berminyak. Pernah lihat album The Racounters atau siapa ya…yang dipukulin. Itu kan kayak yang dipukulin. Kalau kami, kayak yang berminyak.
Gue tahu, kalian terinspirasi dari cover The Rolling Stones, tapi perasaan, Mick Jagger mah da nggak berminyak kayak begitu [tertawa]
T: Yah udahlah [tertawa]. Nanti juga, pasti ada yang lebih lucu lagi pas di film. Awalnya masih putih, tapi lama-lama kulitnya jadi item. Kami mah emang nggak ditakdirkan untuk jadi artis yang putih beraura.
Dari awal, memang ingin berseragam?
T: Oh iya. Lebih dulu ada konsep seragamnya, daripada mikirin konsep musiknya seperti apa [tertawa]. Awalnya sih, karena emang band udah pada meninggalkan konsep seragam.
D: Pengen gaya. Terus satu lagi, biar nggak ada kesenjangan sosial di panggung. Kalau beda-beda, si Qibil pasti yang lebih keren, karena dia yang lebih gaya. Nanti lebih banyak yang suka dia [tertawa].
T: Si Alda masih mending, mukanya masih banyak yang suka. Kalau gue? [tertawa].
D: Kalau begini kan, jelas. Kalau ada yang suka, pasti karena lihat muka dan attitude-nya. Dan lebih enak dipandang.
Jadi, si pria idaman wanita teh sebenarnya cuma dua di Changcuters? Alda dan Kibil?
A: Sebenernya, tiap lelaki adalah idaman wanita.
T: Justru karakter-karakter kayak kami gini, jadinya ada pasarnya masing-masing. Kibil yang rada-rada bule.
D: Alda, ABG labil. Kalau Erick, dangdut [tertawa].
T: Kalau gue, biasanya ibunya [tertawa]. Soalnya, sering ada yang bilang, ‘Tria, ada salam dari ibu gue.’
D: Mereka udah bingung kan, kalau lihat dari pakaian, udah seragam.
Q: Jadi, kalau misalnya ada yang nanya, ‘Who’s your favorite Changcute?’ Udah ada jawabannya sendiri-sendiri, ‘Ini! Ini! Ini!’ [menunjuk ke arah teman-temannya]
Jadi, lagu “Pria Idaman Wanita” bukan karena pengalaman pribadi kalian yang ternyata digilai perempuan?
Q: Memang pada saat kami bikin lagu itu, pas banyak yang suka. Milihnya susah.
D: Akhirnya, nggak ada yang dapet [tertawa].
T: Inti lagu itu mah sebenernya pengen ngasih tahu ke cowok. Kan waktu itu, lagu banyak yang soal ditinggal cewek, nangis. Udah mulai nggak cowok banget. Mau kenalan, ceweknya dulu yang kenalan. ‘Tolong ajari aku. Tolong dekati aku.’ Nggak cowok banget itu mah.
Jadi, lagu “Pria Idaman Wanita” itu sebenernya kental dengan nuansa maskulinitas?
Semua: Naaaah! Bener! Cowok banget lah!
Kenapa video klipnya jelek banget?
Semua: [tertawa].
T: Ini mah gara-gara gue! Itu sebenernya tugas kampus. Gue tuh dulu bikin band, sebenernya untuk latihan desain gue. Bikin video klip, logo, company profile, semua tuh tentang band gue. Kalau misalnya hasil visualnya butut, handycam yang dipakenya pun, kelas teri.
Q: Kalau konsepnya sih sebenernya bagus, bisa jadi film. Coba digarap sama Hollywood. Ya itu karena keterbatasan sumber daya.
T: Kalau diperhatikan seksama, itu ada bloopers-nya. Saya harus jadi sutradara, jadi pemaen pula, sampai tas pinggang saya lupa dilepas.
D: Video klip itu kami buat sebelum kami bikin album.
Kalau logo kuda?
D: Lihat aja muka si Tria dari samping.
T: Sebenernya kan, tadinya pengen kayak Rolling Stones. Logonya inspirasinya dari bibir Mick Jagger. Nah Changcuters dari muka gue. Awalnya, kan konsep itu ada karena gue anggap Changcuters tuh cowok banget lah! Gagah. Jantan. Tadinya sih mau titit, tapi nggak enak kalau nanti ditanya-tanya [tertawa]. Soalnya Changcuters tuh kebanyakan cewek. Kalau digambar kan, ada pelernya. Akhirnya, karena nggak enak, ya udahlah kuda aja. Kenapa rambutnya berjambul? Biar lebih stylish lah. Kacamatanya nggak pake kacamata kuda, supaya dia melihat lebih luas, jadi pake kacamata BL.
Road Manager memberi tahu kalau waktu kami hampir habis.
Oke, lagu “Pria Idaman Wanita” mirip dengan “Not Fade Away”-nya Rolling Stones. Ada penjelasannya?
T: Itu sebenernya nggak sengaja. Gue baru denger lagu “Not Fade Away” setelah lagu “Pria Idaman Wanita” jadi. Sebenernya kalau dipikir-pikir itu grip dasar sih. “Desire” kayak gitu, terus di KISS juga ada kayak gitu.
Tapi, kocokan gitarnya sama banget
T: Sebenernya kalau mau jujur-jujuran, gue waktu itu sih terlintasnya, lagu Time Bomb Blues yang “Maung Bandung.” Ada part ‘Kajeun!’
D: Waktu itu, kami coba dengerin lagi, dan nggak mirip ah sama lagunya Time Bomb Blues.
T: Walaupun sebenernya kan, grip blues tuh cuma tiga. [Tria menirukan suara kocokan gitar]. Bulak balik. Kalau kami, ada empat. Beda sebetulnya, Cuma kocokannya aja sama. Wajar lah. Ahmad Dhani aja ada yang sama.
D: Nggak niru plek plek sebenernya. Elemen-elemennya aja ada yang dimasukin.
Tapi, kalau “I Love You, Bibe” memang terinspirasi dari “Honky Tonk Woman?”
D: Tah, kalau itu awalnya gini, kami pengen bikin lagu yang memasyarakat. Apa ya? Cinta we cinta. Tapi, gue maunya yang universal. Kalau elo udah sayang sama sesuatu, meskipun dibilang jelek sama orang, kalau udah suka mah, ya suka. Udah titik! Terus, aransemennya gimana ya? A stone A! Ya udah, Honky Tonk we! [tertawa]. Makanya, genjrengannya juga. Terus, ada cowbell.
D: Tapi, pas didengerin bareng, jauuh ah.
T: Jauh, da Honky Tonk mah rhtym and blues pisan!
Q: Kalau misalnya nyekill, Stones banget lah, pasti jadinya mirip. Karena nggak semuanya Stones Lover, jadinya ya gitu banget.
Intinya mah, di lagu ini, dengan penuh kesadaran kalian memang patokannya lagu Honky Tonk Woman?
Semua: Iya!
Q: Udah, di-Honky Tonk-in we lah!
Lagu “Racun,” kalian bilang wanita racun dunia. Kenapa?
T: Itu sebenernya misunderstood. Padahal, artinya ketika lelaki ketemu wanita tuh pasti ngalah. Ini gue ambil filosofisnya, dari Cupi [kakak ipar Tria], sepreman-premannya cowok, sama cewek mah, nangis! [tertawa]. Intinya mah, ketika lelaki ketemu cewek, otak sama hati nggak bisa sinkron.
Oke, waktu kita hampir habis, sekarang saatnya trivia. Gue akan menyebutkan dua nama, kalian pilih serta alasannya. Tria, Mick Jagger atau Keith Richards?
T: Keith Richards. Soalnya gue lebih suka karakternya Keith Richards. Tapi, karena nggak bisa maen gitar, jadi gue niru Mick Jagger!
Sekarang, buat dua gitaris, Brian Jones atau Johnny Ramone?
Q: Kalau gue, Brian Jones. Attitude-nya lebih asik, lebih keren. Secara tampilan segala macem, keren pisan euy si Brian Jones teh!
A: Johnny Ramone. Karena dulu, saya cuma tahu punk.
Erick, Charlie Watts atau Ringgo Starr?
E: Dave Grohl! Eh, salah. Ringgo Starr aja deh. Bapaknya indies dia! Dan gue ke arah sana juga, simple tapi digandrungi popularitasnya.
Dipa, Sid Vicious atau Dee Dee Ramone?
D: Cliff Burton nggak boleh ya? Sid Vicious lah. Soalnya dia nggak bisa maen bass, tapi gayanya keren. Gue juga gitu, biasa-biasa aja maen bass-nya.
Semuanya, The S.I.G.I.T. atau The Brandals?
E: The S.I.G.I.T. deh, karena musiknya keren. Berbobot.
Q: Waduh, susah nih. Pertanyaannya buah simalakama…The Brandals deh, dia termasuk pelopor garage di Indonesia lah.
D: The Brandals. Video klipnya keren.
A: The S.I.G.I.T. Keren musiknya, saya lebih suka sound mereka.
T: Speaker 1st nggak boleh ya? [tertawa]…The Brandals! Soalnya gara-gara ngelihat The Brandals, gue jadi pengen bikin band, yang attitude-nya berbeda sama mereka. Waktu itu kan mereka, masih suka ngomong, ‘Ngentot! Ngentot!” di panggung. Nah, gue pengen bikin rock n’ roll band, yang attitude-nya, ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar semuanya? Baik-baik saja?’