Daripada Musik Metal Lebih Baik Musik Jazz
Sejak Java Jazz pertama kali digelar pada 2005, semua selalu sama buat saya.
TENTANG PENGURUSAN ID LIPUTAN
Selalu saja ada hambatan yang cukup mengganggu. Mungkin saya memang harus selalu tak beruntung setiap Java Jazz. Waktu Java Jazz 2004, saya masih kerja di Trax Magazine. Kami salah satu media partner. Harusnya, ID otomatis didapat kan? Dan saya pun sudah mendaftar jauh-jauh hari. Mengirim foto fsn biodata.
Tapi, ketika hari konferensi pers digelar dan ID dibagikan, ID kami tak ada. Belum tercetak. Padahal, di daftar mereka, ada nama saya dan fotografer. Berjam-jam saya harus menunggu panitia mencari ID buat saya. Menunggu. Menunggu. Dan menunggu. Hingga ID liputan beres dibagikan. Bertanya pada panitia yang katanya bertanggungjawab, tapi dioper lagi. Bertanya lagi, dioper lagi.
Hari itu, saya pulang dengan tangan kosong dan penuh amarah. Setelah beberapa kali marah-marah lewat telepon, akhirnya panitia bisa juga memberi ID liputan saya sehari atau dua hari setelahnya, saya lupa.
Java Jazz kedua, saya tak datang. Jadwalnya berbarengan dengan ospek di kampus.
Java Jazz ketiga, saya mendaftar lewat situs resmi mereka. Pendaftaran masih dibuka, ketika saya mendaftar. Dan setelah selesai mendaftar, situs itu memberi keterangan kalau saya telah berhasil mendaftar dan mengucapkan terima kasih telah mendaftar.
Di hari konferensi pers digelar, nama saya tak ada dalam daftar mereka. Lagi-lagi, orang-orang di sana, yang seharusnya bisa memberi keterangan soal ID, mengoper saya ke sana ke mari. Tanya si ini, disuruh ke si itu. Tanya si itu, suruh balik lagi ke si anu. Setelah tahu panitia mana yang benar-benar bertugas, ternyata orang itu begitu sibuk sehingga pertanyaan-pertanyaan saya dijawab dengan ketus. Padahal, kalau mereka sudah menetapkan satu orang yang bertanggungjawab untuk pengurusan ID, seharusnya orang itu diberi pekerjaan satu itu saja di hari konferensi pers.
Lagi-lagi, saya harus marah-marah. Solusinya, panitia memberi saya ID harian. Saya diminta datang ke venue, cari dia di meja media, menunjukkan ID pers, lalu diberi ID liputan.
Hari pertama Java Jazz 2007, saya datang sore hari. Mencari meja media, tak terlihat di pintu luar. Meja resepsionis penerima media, adanya di balik pintu masuk. Untuk masuk ke sana, perlu ID resmi mereka. Sedangkan untuk mendapatkan ID liputan, saya harus masuk dulu ke sana. Serba salah. Penjaga di depan tak tahu menahu soal proses itu.
Beberapa jurnalis di luar pun dijanjikan hal yang sama. Si panitia dihubungi lewat telepon tapi tak juga menjawab. Akhirnya, dia bisa datang setelah salah satu jurnalis yang kami kenal mendatangi dia di Media Room yang ternyata letaknya ada di dalam gedung. Wakwaw.
Java Jazz 2007, panitia tak hanya memberi ID, tapi juga memberi gelang kertas sebagai usaha pencegahan ID disalahgunakan. Siapapun yang kedapatan gelangnya robek atau digunting, nama dia akan dicoret. Ini pertamakalinya, saya merasakan kalau panitia Java Jazz seperti yang terlalu mencurigai mereka yang diberi ID.
Java Jazz 2008, saya yang salah. Lupa mendaftar. Pendaftaran ditutup tanggal 8 Februari, saya baru mendaftar tanggal 20 Februari. Akhir dari pembahasan.
Kali ini, mereka memakai sistem barcode. Wajah mereka yang memakai ID, akan terpampang dengan besar di layar komputer. Panitia lantas mencocokkan wajah di komputer dengan wajah si pemegang ID.
Mereka yang kebagian ID harian, sistemnya masih sama dengan tahun lalu. Akhirnya, cara yang sama harus ditempuh. Si jurnalis harus menitipkan ID pers dan KTP nya pada temannya, si teman mendatangi Media Room yang ada di dalam gedung, dan mengambilkan ID itu untuk temannya.
Sedangkan saya, kali ini saya mendapat tiket harian saja untuk hari Jumat, atas kebaikan Rileks.com. Hehe. Dan memang memakai tiket ternyata lebih nyaman ketimbang memakai ID. Para penjaga tak memberikan perhatian berlebihan untuk yang membeli tiket. Toh, kesempatan memotret pun sama antara pemegang ID dan pembeli tiket. Kecuali special show tentunya.
Dan inilah salah satu kelebihan Java Jazz Festival ketimbang pagelaran musik lainnya. Kamu tak perlu punya ID untuk bisa memotret dengan puas para penampil di sana. Satu-satunya yang membedakan adalah soal spesifikasi kamera dan lensa yang kamu gunakan. Selebihnya, kesempatannya sama. Banyak sekali penonton yang membawa kamera. Dan tak sedikit yang membawa lensa mahal. Haha. Kalau jurnalis, lensa mahal punya kantor. Mereka, lensa mahal punya sendiri. :p
Seorang kawan mengatakan, ada 7000 ID dicetak untuk Java Jazz kali ini.
Maka, rasanya bukan sesuatu yang berlebihan ketika saya merasa di sana seperti lebih banyak yang memakai ID ketimbang yang beli tiket. Yang beli tiket pun, mungkin tak sedikit juga yang gratisan atau membeli tiket di akhir tahun lalu, yang harganya jauh lebih murah. Tiket harian untuk tiga hari saja, dijual Rp 500 ribu.
Ini agaknya mendukung keterangan seorang kawan lain yang mengatakan kalau Java Jazz Festival sebenarnya bukan proyek menguntungkan. Coba saja hitung. Biaya menyewa JHCC salama tiga hari. Biaya menyewa kamar di Hotel Sultan selama minimal tiga hari, entah untuk berapa ratus kamar. Biaya menyewa tata cahaya dan panggung. Biaya untuk membayar kru produksi. Saya tak tahu berapa banyak tiga sponsor besar seperti BNI, Medco Energy dan Telkomsel memberi kontribusi finansialnya, tapi rasanya bukan tak mungkin juga biaya produksi belum tertutup oleh ke-tiga sponsor itu.
TENTANG PERTUNJUKKAN
Saya bukan penggemar berat jazz. Walaupun saya masih bisa menikmati musiknya. Tapi, ketika datang ke sebuah festival jazz, saya pasti dibuat bingung. Tak kenal para penampilnya. Di brosur jadwal pun, panitia tak memberi review singkat soal para penampil itu. Harusnya, ketika penonton masuk, brosur berisi jadwal dan biodata atau review singkat soal para penampil itu. Dengan begitu, mereka yang tak tahu banyak soal jazz bisa mendapat gambaran singkat. Ini akan membantu dalam memutuskan ruang mana dan penampil mana yang harus ditonton.
Bayangkan. Begitu banyak panggung, begitu banyak musisi, tampil di saat yang hampir bersamaan. Jarak dari satu ruang ke ruang lainnya menjadi terasa jauh karena begitu banyak orang di sana. Belum lagi, usaha untuk masuk ke salah satu ruangan perlu tenaga ekstra kalau ternyata penontonnya begitu membludak.
Akhirnya, selalu begitu. Saya masuk ke salah satu ruangan. Menonton 15 sampai 20 menit, lalu pergi. Mencari lagi pertunjukkan yang lain. Lihat sebentar, pergi lagi. Dan begitu seterusnya. Bagusnya, sekarang saya membawa kamera. Jadi, ada tujuan yang lebih jelas biarpun saya tak menikmati pertunjukkannya. Yah minimal untuk mengambil gambar lah.
Yang paling popular buat saya, mungkin hanya Incognito. Itu pun karena dulu, jaman kuliah, teman saya, Syauqy, selalu menyanyikan lagunya dan memuji-muji band itu. Dan sejak 2005, pemandangan si hitam gitaris Incognito, berjalan-jalan di JHCC atau Hotel Sultan selalu tampak.
Ternyata, mbahnya band Top 40 dan band café itu, jadi salah satu duta Java Jazz. Mereka yang akan mengajak lagi musisi-musisi Jazz untuk mau tampil di Indonesia. Atau, dengan kata lain, Incognito adalah home band Java Jazz. Mungkin, lama-lama, si hitam gitaris Incognito akan tinggal di Indonesia, masuk infotainment, mengawini artis lokal, nongkrong di Tanah Abang bersama komunitas kulit hitam dan nge-kos di Haji Nawi.
“Tadinya, Santana mau datang ke Indonesia. Tapi, karena di sini masih banyak pohon ditebang di hutan-hutan, dia menolak untuk datang,” kata Peter Gontha, pendiri Java Jazz Festival waktu konferensi pers digelar, Rabu [5/3] lalu.
Makanya, kali ini Java Jazz diselipkan dengan pesan-pesan lingkungan hidup—seperti halnya trend yang berkembang sekarang. Go Green! Begitu kata pesannya. Di pintu masuk, ada tenda kampanye Go Green itu. Beberapa kali saya lihat sih, di hari pertama, Jumat [7/3] lalu, tenda itu sepi pengunjung. Yah, mungkin mereka datang ke JHCC untuk melihat pertunjukkan musik, bukan mau mencari tahu bagaimana caranya mendaur ulang sebuah produk.
Peter berharap, dengan adanya pesan Go Green ini, tahun depan Santana mau datang setelah melihat ada juga orang Indonesia yang peduli terhadap lingkungan.
Dan soal pertunjukkan, Java Jazz 2004 yang paling meninggalkan kesan buat saya. the God Father of Soul datang! Yeah! James Brown! James Brown! Pertunjukkan yang megah dengan belasan musisi di satu panggung dan dikemas dengan baik. Sebelum James Brown masuk, MC menyemangati penonton membuat panas suasana. Sedikit mirip dengan konsep Orkes Melayu sih kalau versi lokalnya. Tapi, rasanya kemegahan pertunjukkan James Brown baru bisa disaingi oleh pertunjukkan Beyonce beberapa bulan lalu di Mangga Dua.
Tahun lalu, masih ada Jaque Mates yang secara musik lebih dekat ke hati saya. Trio blues bersaudara, yang katanya Java Jazz tahun lalu pertunjukkan terakhir mereka. Tapi, tahun ini saya melihat Tika membawakan lagu “Birokrasi Kompleks”-nya Slank dengan baik. Ah, coba saja dia tidak malu waktu dua tahun lalu diminta tampil oleh Bimbim di konser ulang tahun Slank. “Birokrasi Kompleks” versi Tika benar-benar memberikan nuansa baru, tanpa menghilangkan daya tarik yang sudah ada dari lagu aslinya. Kalau ada tribute album buat Slank, saya merekomendasikan Tika untuk ikut berpartisipasi.
Di jadwal, saya melihat tertulis Sol Project featuring Kaka dan Abdee Slank di lobby stage 3. Ditunggu beberapa menit, tak kunjung datang juga. Padahal, saya dan Jaymz sudah saling berdiskusi soal yang mana stage 3. Ternyata, Sol Project sudah bermain di depan mata kami. Belakangan saya tahu kalau Kaka dan Abdee tak jadi tampil bersama mereka.
Oya, Renee Olstead juga cukup memukau. Panggung dia yang paling menarik secara artistik. Artwork Java Jazz Festival di panggungnya, berbeda dengan artwork Java Jazz di panggung lainnya. Dengan Ron King Big Band, Renee Olstead memang sangat menghibur. Saya kira, Olstead sudah cukup berumur, yah seumuran ibu-ibu atau minimal mbak-mbak lah. Ternyata dia baru mau 19 tahun. Mungkin membawakan musik tua membuat Olstead terlihat lebih tua dari umurnya.
Tapi, dari tahun ke tahun, yang paling menarik buat saya soal Java Jazz, mungkin hanya keramaiannya saja. Ramai tapi tidak panas. Sebagai sebuah festival memang nyaman. Ruangan dingin. Bersih. Tata cahaya dan tata suara yang bagus. Keamanan terjamin. Bebas memotret. Kalau saja ada Java Rock Festival, di tempat yang sama, sepertinya saya akan lebih menikmati.
Hampir tengah malam saya pulang. Betis panas. Pinggang sakit. Selalu begitu setiap Java Jazz.
0 Comments