Intimidasi Profesi
Dokter dan polisi. Buat saya, dua profesi ini paling menakutkan. Ironis, karena dua profesi pelayan public ini tugasnya memberi pertolongan. Tapi, buat saya, dua profesi ini yang—oke, bisa jadi ini hanya stereotype yang ada di kepala saya saja—yang paling arogan, dan paling ingin dihormati.
Mereka, biasanya, tak suka dipanggil dengan sebutan Mas, atau Mbak ketika bekerja. Apalagi kalau sedang memakai seragam mereka. Jubah putih, atau seragam coklat itu. Padahal, sering kali saya berhadapan dengan mereka yang umurnya terlihat sepantar atau di bawah saya. Pernah, saya harus berurusan dengan dokter, karena terlihat masih muda, setidaknya masih pertengahan 30-an, saya panggil dia dengan mbak, dia terlihat tak senang.
Coba saja, kamu datang ke bank, rasanya tak akan masalah memanggil petugasnya dengan sapaan mas atau mbak. Atau ke restoran. Atau ke pom bensin. Atau ke kantor pos. Atau ke bioskop. Pada dasarnya
Seragam. Itu punya efek intimidasi yang cukup kuat. Seakan-akan ingin membedakan mereka dengan masyarakat lainnya. Seakan-akan ingin menegaskan kalau status mereka lebih tinggi. Walaupun harus diakui, untuk mendapatkan seragam itu, perjuangan mereka sangat berat.
Tempat mereka bekerja. Datang ke rumah sakit atau ke kantor polisi untuk meminta bantuan mereka, sama-sama menegangkan buat saya. Rumah sakit, biasanya cukup intimidatif dengan baunya, peralatannya dan segala macam diagnosanya. Namanya saja sudah intimidatif. Rumah Sakit. Padahal, dalam bahasa Inggris, Hospital. Identik dengan hospitality. Terdengar lebih ramah. Kantor polisi apalagi. Desainnya kaku. Dan di situlah, salah satu tempat kamu bisa menemukan polisi dalam jumlah banyak. Wah, satu saja sudah bikin grogi, apalagi banyak. Belum lagi birokrasinya. Buat orang yang tak terbiasa berurusan dengan polisi, datang ke kantor mereka, cukup menegangkan.
Mau berobat deg-degan. Mau mengurus SIM atau STNK, juga deg-degan.
Apalagi kalau sudah berurusan dengan uang. Biasanya, semakin besar persoalan kita, uang yang dikeluarkan semakin besar pula. Semakin besar pertolongan yang harus mereka berikan, semakin besar pula biayanya.
***
Tapi, sakit gigi saya beberapa hari lalu ternyata sudah cukup menyiksa. Biasanya, saya membiarkan saja. Dikumur-kumur pake sikat gigi, atau listerin, beberapa hari langsung sembuh. Tapi, ini tak kunjung sembuh juga. Akhirnya, saya beranikan diri untuk datang ke
Karena kebetulan sedang ada di daerah Dago, saya datangi Apotek Kimia Farma, yang dekat dengan
“Tenang aja, kamu nggak bakalan disuntik kok,” Tetta berusaha menenangkan saya. “Malu atuh sama setelan. Masa’ pake jaket kulit, takut disuntik.”
Gigi makin nyut-nyutan. Dan sakitnya, sudah berpengaruh ke kepala dan leher. Membuat uring-uringan. Ya sudahlah. Mungkin ini saatnya saya mengunjungi dokter gigi, begitu pikir saya.
Maka, akhirnya, masuklah saya ke ruangan prakteknya. Dokter gigi, adalah salah satu dokter paling intimidatif. Dokter umum masih sedikit menenangkan. Ruangan dokter gigi, dihiasi banyak peralatan berwarna perak. Macam-macam bentuknya. Seperti di bengkel saja. Kecil-kecil, tapi bisa mengobrak-abrik mulut.
Dokter gigi itu menyuruh saya duduk di kursi pasien. Jadi teringat salah satu episode Mr. Bean, yang membuat dokter pingsan. Untuk satu detik, saya bisa tenang.
“Sakitnya di sebelah mana?” tanya dokter itu, nada suaranya nyaris berteriak.
“Di bawah sini dok,” kata saya, sambil menunjuk ke arah kiri gusi.
“Sebelumnya, udah pernah sakit?”
“Lupa dok. Kayaknya, biasanya sih, suka sakit, tapi saya biarin aja sembuh, nah kemaren nggak ilang-ilang,” saya menjawab dengan grogi.
“Udah berapa lama?”
“Tiga hari lah.”
“Sebelumnya, pernah sakit gigi kayak begitu?”
….
Saya berpikir sebentar.
“Waduh, lupa dok.”
“Iya, sebelum yang ini, pernah sakit nggak giginya?” dia terdengar memaksa.
“Nah itu, saya beneran lupa dok,” saya semakin grogi.
Dan dia menyuruh saya membuka mulut. Lalu memasukkan dua alat kecil berwarna perak itu, ke mulut saya. Lampu sorot diarahkan ke mulut saya. Menyilaukan. Saya terlentang tak berdaya. Dengan mulut menganga dan alat-alat kecil itu mengorek-ngorek mulut saya.
“Waduh Pak, ini giginya kok goyang begini ya?” kata dokter itu, sambil mengorek-ngorek gigi saya. “Kayaknya ada yang retak nih, harus difoto nanti ya.”
Waks. Retak. Dada saya makin berdebar. Situasi makin menegangkan. Lampu sorot masih menyinari wajah saya. Lantas, saya pegang erat-erat dudukan tangan di kursi pasien itu. Sekonyong-konyong, Bu Dokter memasukkan dua alat lagi. Resepsionis yang tadi menerima saya dan selalu ikut di dalam ruangan, ikut memasukkan alat.
Total ada tiga alat di mulut saya. Yang satu, terdengar seperti menghancurkan sesuatu di rongga mulut saya. Suaranya seperti suara alat pemasang mur. Ngiiiiiing. Ngiiiiing. Ngiiiing. Ah, saya tak tahu bagaimana menuliskan bunyi itu di tulisan. Alat yang kedua, mengorek-ngorek, memberi jalan buat si penghancur. Alat ketiga, yang dipegang si asisten, bertugas menyedot.
“Pak Soleh, rileks Pak. Saya mau menolong Bapak. Kalau Bapak nggak rileks, saya nggak bisa nolong Bapak,” kata Dokter itu.
Dari tadi, tangan saya mencengkeram erat pegangan kursi itu. Bagaimana bisa rileks, kamu terlentang tak berdaya, disorot lampu, mulut menganga dan dua orang asing mengorek-ngorek mulutmu dengan tiga alat yang kadang menyakitkan?
“Silakan keluarin Pak, terus kumur-kumur,” kata Bu Dokter.
Saya meludah ke alat di sebelah saya. Di alat penampung ludah itu, saya melihat serupa kerikil-kerikil sangat kecil berwarna hitam dan putih keluar dari mulut. Ditemani darah yang mengalir.
“Tuh Pak, ini karangnya banyak banget,” kata Bu Dokter lagi.
Saya disuruh terlentang lagi. Menganga lagi. dikorek-korek lagi. Dan kali ini, setelah sedikit agak terbiasa dengan adegan itu, saya memberanikan diri melihat alat penyedot yang dipegang si asisten. Saya melihat darah saya mengalir ke
“Lihat Pak. Ini karangnya nih. Banyak
Seakan-akan menunjukkan kalau saya tak sia-sia datang ke
“Gimana? Perasaannya, udah nggak pusing lagi? Kalau sebelumnya, skalanya sepuluh, sakitnya udah berapa sekarang?” tanya Bu Dokter ketika akhirnya kami bisa duduk dengan sejajar.
Saya masih syok. Sensasi menusuk-nusuk gusi masih terasa. Eh, diberi pertanyaan begitu. Harus menghitung pula. Membuat skala. Mungkin di kalangan dokter yang pintar-pintar itu, pertanyaan matematis setelah seseorang mengalami syok, adalah pertanyaan biasa.
“Yah, kayaknya sih udah
“Wah, sudah
Beberapa detik setelah Bu Dokter berkata itu, tiba-tiba mulut saya sedikit sakit. Nyut-nyutannya masih ada.
“Tapi, ini sih masih ada sedikit nyut-nyutan. Nggak tahu karena pusing tadi abis keujanan atau karena gigi,” kata saya.
“Ah, itu mah karena keujanan. Bukan dari giginya.”
“Gigi saya nggak bolong
“Nggak. Tapi, kalau kamu pengen ngecek lagi, nanti dateng lagi aja. Difoto dulu ya giginya, ini
Lalu dia memberikan
“Biayanya seratus ribu ya Pak.”
Setelah moral, giliran intimidasi material.
0 Comments