Yang pertama, perempuan paling tua di antara mereka bertiga. Sekira enam puluh tahun. Masih segar. Perokok. Pernah kerja di Bir Bintang. Entah sebagai apa. Yang jelas, banyak sekali memorabilia Bir Bintang di rumahnya. Sebut saja dia, Ibu Verhoff. Sepertinya ada turunan Belanda. Kulitnya putih. Kadang berbicara dalam bahasa Belanda dengan teman yang datang.
Ibu Verhoff, punya anak perempuan. Janda. Sekira empat puluh atau tiga puluh akhir. Sebut saja dia Ibu Grace. Sesekali dia mengunjungi Ibu Verhoff. Kadang menginap di rumah sang ibu.
Ibu Grace punya anak perempuan. Beberapa waktu, dia tinggal bersama sang Oma. Tapi, kadang batang hidungnya tak terlihat. Masih duduk di bangku SMP. Kita sebut saja Cindy. Kalau bicara, volumenya keras sekali. Beberapa kali, dia berkelahi dengan kakaknya, suaranya hampir berteriak.
Mereka adalah perempuan Verhoff dari tiga generasi. Dari tiga orang itu, kita bisa tahu seperti apa gambaran hidup mereka secara fisik. Ingin melihat rupa Ibu Verhoff atau Ibu Grace sewaktu muda, lihatlah Cindy. Begitu juga sebaliknya.
Suatu hari. Ibu Verhoff dan Ibu Grace khawatir. Perempuan Verhoff paling muda, belum juga pulang ke rumah. Ibu Verhoff berinisiatif menelpon sang cucu.
“Cindy, kamu di mana? Kok belum pulang?”
“Aku lagi di PIM,” jawab sang cucu.
“Loh kok, ke PIM? Tadi kan nggak bilang ke PIM. Cepet pulang! Ngapain kamu di PIM? Nonton ya?” nada bicara sang oma makin meninggi.
“Nggak kok, Oma. Jalan-jalan doang.”
“Kamu nonton ya? Gelap-gelapan ya? Nanti dipegang-dipegang loh!” sang oma makin menunjukkan kekhawatiran. “Cepet pulang!”
Setelah telepon ditutup, Ibu Grace berkata pada Ibu Verhoff.
“Cindy kan masih muda. Dia belum ngerti. Nanti ada cowok megang-megang dikiranya suka. Dikiranya cowok itu nganggep dia cantik, karena megang-megang. Nanti tau-tau dia dikobel.”