Soleh Solihun Mewawancarai Penyanyi Dangdut
Saya hampir menolaknya, karena saya awam dangdut.
Tapi, sang kawan menyuruh saya membuka Youtube dan Facebook. Ternyata, dia ada di sana. Mieke Asmara namanya. Kelahiran Sukabumi, 24 April 1977. Video klipnya “Merem Melek” ternyata bisa dilihat di Youtube. Mungkin supaya lebih mempopulerkan namanya. Mieke tipikal penyanyi dangdut. Make up menor. Sedikit menggoda. Yah, kamu bisa lihat sendiri lah di foto ini.
Mieke adalah kisah klise para pencari popularitas. Seperti lagu Tince Sukarti Binti Mahmud, yang ditulis Iwan Fals. Konon, Mieke adalah seorang mantan penyanyi dangdut tingkat kelurahan di Sukabumi. Konon lagi, ia hijrah ke Jakarta dengan impian untuk menjadi seorang bintang besar. Namun impiannya hancur ketika mengikuti sebuah audisi reality show dangdut di salah satu televisi swasta. Oleh dewan juri ia disebut tak bebakat dan lebih baik memikirkan karir alternatif. Sekali lagi konon, Mieke akhirnya menemukan karir alternatif tersebut: gonta-ganti menjadi pacar gelap para lelaki berduit Jakarta.
Oktober 2008 nanti, Mieke Asmara akan tampil dalam Gara-Gara Bola!, film komedi yang diproduseri oleh Nia DiNata (Janji Joni, Quickie Express). Ini adalah debut aktingnya yang pertama. Sebelum melihat aktingnya di film itu, baca dulu wawancaranya.
Ada hubungan apa dengan Mira Asmara yang penyanyi dangdut?
Tidak ada. Mieke Asmara itu nama panggung. Nama asli saya Muhairoh Tresnasih.
Ini pertama kalinya saya wawancara dengan penyanyi dangdut. Rasanya deg-degan karena penyanyi dangdut biasanya selalu menggoda. Kalau Anda, bagaimana rasanya diwawancara saya?
Biasa saja. Apalagi muka Anda mirip teman dekat saya. Namanya Kang Jufri. Siang dia jualan bunga di Barito, malamnya dia suka nonton saya manggung di Pasar Rumput. Orangnya baik sekali, suka membelikan VCD dangdut, suka mengirimkan saya bunga. Yah, biar bunganya bekas karangan bunga duka cita, yang penting kan niatnya baik. Potongannya ya seperti Kang… Aduh, siapa nama Anda?
Soleh.
Iya, seperti Kang Soleh ini. Hitam, dekil, jaket kulit, pakai kacamata. Jadi saya seperti bicara dengan kawan lama saja. (Mieke terdiam agak lama. Mendadak matanya berkaca-kaca) Sayang Kang Jufri sudah tidak ada. Tahun lalu, bajaj yang dia tumpangi tercebur ke Kali Ciliwung karena adu balap dengan Metro Mini. Kejadian itu makin memecut semangat saya untuk rekaman. Makanya di album saya ada lagu yang saya dedikasikan untuk Kang Jufri.
Judulnya?
“Cintaku di Dasar Ciliwung”.
Tak banyak penyanyi dangdut yang punya account Facebook. Kenapa Anda punya?
Sebetulnya saya ini orangnya gaptek. Tapi beruntung, suami adik saya yang tinggal di Sukabumi punya usaha warnet. Jadilah dia membuatkan saya account di Facebook, sekaligus menambahkan isinya kalau ada berita baru. Duh, adik ipar saya ini memang suportif sekali terhadap karir saya. Saking suportifnya, dia suka mengirimi saya SMS-SMS penambah semangat. Seperti ini nih. (Mieke lalu menunjukkan sebuah SMS yang berbunyi: MIEKE SAYANG, KPN KT BS KTEMUAN? AK KANGEN. LELI LG GAK DI RUMAH LHO. KABARIN YA.) Manis ya?
Siapa yang memasukkan video klip “Merem Melek” ke Youtube?
Kalau itu kerjaan Bang Feri, produser saya.
Kalau Multiply? Punya account Multiply nggak? Ini kan wawancara buat Multiply.
Kebetulan belum. Padahal saya suka menulis buku harian lho. Tadinya saya mau minta tolong ke suami adik saya untuk membuatkan, tapi entah kenapa, sejak mengirim SMS terakhir tadi, dia jadi susah dihubungi. Pas saya hubungi adik saya, tanggapannya judes. Jadi bingung.
Kenapa Anda meng-claim musik Anda sebagai dangdut hiphop pertama di Indonesia?
Ya karena memang yang pertama kan? Dulu saya sempat dengar Bang Oma hendak duet dengan Iwa K, atau Martabak Manis, atau siapa gitu bintang hiphop lokal, tapi entah kenapa tak terdengar lagi perkembangannya. Syukur juga, karena dengan begitu saya bisa mengklaim sebagai penyanyi dut-hop pertama.
Ide siapa untuk menggabungkan dangdut dan hiphop?
Itu ide saya dan Bang Feri. Yah, namanya juga persaingan industri, harus punya ciri khas kalau mau laku. Dangdut koplo, dangdut rock, dangdut house, dangdut keroncong, semua sudah ada. Pilihannya tinggal dangdut seriosa atau dangdut hip-hop. Akhirnya kami memilih dangdut hip-hop. Lebih gampang nge-rap daripada nyanyi seriosa, sumpah.
Momen apa yang membuat Anda memutuskan untuk jadi penyanyi dangdut?
Menonton Aneka Ria Safari, suatu malam di tahun 1989. Di luar hujan rintik-rintik, di layar tampil Itje Trisnawati membawakan “Duh Engkang”. Saat itu juga, saya tahu kalau sudah besar mau jadi apa.
Bagaimana Anda memandang industri dangdut di Indonesia?
Semuanya serba ketat. Ya persaingannya, ya kostum panggungnya. Untung postur tubuh saya oke, jadi memakai kostum ketat pun tidak masalah.
Anda gagal di reality show dangdut. Bagaimana rasanya?
Seperti dicambuk, lalu lukanya dikecruti jeruk nipis pakai madu. Sakit karena ditolak, tapi manis karena bisa bertemu idola saya, seorang diva dangdut yang saat itu menjadi juri.
Kenapa Anda ingin sekali jadi superstar?
Kalau hanya jadi bintang, di langit juga banyak, Kang.
Anda punya goyangan khusus?
Ada dong. Namanya goyang dongkrak. Jadi suatu hari ban mobil saya kempes, terpaksa deh saya mengganti ban sendiri. Saat mendongkrak itulah saya dapat ide untuk membuat sebuah goyangan baru. Seperti ini nih… (Mieke pun memperagakan sebuah gerakan yang super sensual, mirip orang mendongkrak, tapi dengan pantat ketimbang tangan.) Anehnya Kang, sewaktu mogok itu ada banyak lelaki yang mengerubungi, tapi tak satu pun yang mau menolong.
Rasanya semua jenis goyangan sudah diambil penyanyi dangdut. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Buat saya, ini bagian dari tuntutan zaman. Dulu, menyanyi saja sudah cukup. Sekarang perlu ditambah goyangan. Siapa tahu, beberapa tahun lagi, penyanyi dangdut sukses adalah mereka yang bisa nyanyi, goyang dan main sulap sekaligus. Dan beberapa tahun kemudian, nyanyi, goyang, main sulap dan pidato. Makanya saya sedang berpikir untuk mendaftar di sekolah sulapnya Kang Dedy Corbuzier, atau sekolah… Errr… Apa namanya? Robert Baden Powell?
John Robert Powers.
Iya. Itu.
Kenapa sih banyak penyanyi dangdut kalau bernyanyi selalu mendesah?
Yah, lebih baik mendesah daripada mengigau, Mas.
Katanya Anda gila seks. Benarkah itu? Segila apa sih?
(Tersenyum nakal) Benar nih Mas Soleh mau tahu?
(tertawa gugup). Kalau begitu, saya percaya saja deh. Bagaimana rasanya punya album rekaman?
Yang pasti, jauh lebih menyenangkan daripada punya album foto.
Apa yang menyenangkan dari bernyanyi di kafe Pasar Rumput?
Yah, selain bisa dapat uang, saya senang di sana bisa ketemu berbagai macam orang. Seperti investor yang membiayai album saya, itu ketemunya di Pasar Rumput. Dia bos karaoke dan panti pijat di Blok M, tapi suka dangdut. Orang yang menawarkan kerja sebagai manajer Bakmi Yona juga ketemunya di Pasar Rumput. Pokoknya bagus banget buat netwokring.
Apa?
Netwokring. Itu loh, yang kenal banyak orang buat bisnis.
Oooo… Networking!
Iya, netwroking.
Bagaimana suasana kafe di Pasar Rumput?
Wah, meriah, Kang. Apalagi saat tanggal muda. Acara di Dragonfly jadi seperti pesta ulang tahun anak SD.
Penyanyi dangdut di kafe, biasanya identik dengan perempuan nakal. Bagaimana dengan Anda?
Saya lebih suka menyebut diri saya ‘berjiwa petualang’. Ke mana jalan mengalir, ke situlah saya akan berhembus. Dan masalah nakal atau tidak kan sebetulnya juga kembali ke individualnya masing-masing pribadi. Dan tergantung kacamata yang digunakan. Kalau kacamatanya belum dilap, mungkin kelihatannya begini. Kalo kacamatanya bersih, ya kelihatannya begitu. Jangan mentang-mentang musiknya kafe dan mainnya di dangdut, lalu dicap nakal. Walaupun… Saya akui, oknum itu pasti ada. Di semua profesi juga begitu, bukan?
Digodek-godek itu sebenarnya sedang diapain?
Ini kembali tergantung pada kacamata yang kita gunakan. Dari kacamata dugem, orang godek-godek jelas orang yang menikmati dugemnya. Dari kacamata polisi, orang godek-godek berarti orang yang menolak tuduhan kalau dia maling. Dari kacamata pejalan kaki, orang godek-godek berarti orang yang mau menyeberang. Dari kacamata Mieke… (tertawa nakal) Pastinya menggodek karena kenikmatan.
Apa nikmatnya digodek-godek sehingga Anda sampai harus merem melek begitu?
Beda orang tentu beda ekspresi kenikmatan. Ada yang ngiler. Ada yang memelet. Ada yang mematuk. Nah, kalau saya merem melek.
Apakah kita harus selalu sedia lap setiap saat ingin menggodek Anda?
Tergantung. Kalau godekan Anda kurang mantap, lap itu mungkin tidak diperlukan, karena saya tak mungkin becek.
Kalau kita digodek Anda, apakah akan sampai becek juga?
Mungkin saja. Tapi beceknya setelah digodek, bukan saat digodek. Kalau saat digodek sudah becek, wah, stamina Anda perlu dipertanyakan.
Kalau “Gelinjang Cinta,” itu bercerita tentang apa?
Gelinjang Cinta kisah tentang seorang gadis yang dari awal terus menuruti apa perkataan sang kekasih. Sang kekasih mau ke kiri, ia ikut ke kiri. Sang kekasih mau ke kanan, ia ikut ke kanan. Seperti tidak punya pendirian dan identitas. Akhirnya si gadis tak tahan dan memutuskan cintanya tatkala sang kekasih hendak menduakannya.
Dengan gadis lain?
Bukan, dengan lelaki lain.
Dari mana Anda mendapatkan kostum?
Yang mendesain asisten dan make-up artist saya. Namanya Memed. Dia memang punya usaha sendiri, namanya MmmmMemed Modiste & Vermak Levis. Lumayan, jadi lebih hemat.
Anda merasa seksi jika memakai pakaian apa?
Selama pakaiannya ada corak berwarna hijau spotlight atau shocking pink, selama berpayet, selama berumbai dan selama ketat menempel, saya pasti selalu merasa seksi saat mengenakannya.
Siapa idola Anda untuk urusan fashion?
Gabungan antara Marilyn Monroe, Itje Trisnawati dan Rama Aiphama. Ketiga sosok itu yang selalu saya jadikan panutan.
Bagaimana ceritanya Anda bisa bermain film?
Kebetulan casting director film itu, namanya Dimas, pacaran sama Iyut, adik Bang Feri, produser saya. Tahu-tahu Iyut hamil. Bang Feri murka, soalnya Iyut itu adik kesayangannya. Dia langsung mendatangi Dimas, lalu Dimas digebukin. Mungkin supaya Bang Feri menghentikan gebukannya, Dimas menjanjikan peran ini. Akhirnya Dimas tak jadi dibuat bonyok oleh Bang Feri. Saya lalu ikutan casting, dan ternyata perannya pas: seorang penyanyi dangdut ibukota. Sutradara suka, produser suka, jadilah saya ikutan.
Sepertinya semua terjadi begitu cepat. Punya album langsung main film. Bagaimana Anda memandang fenomena ini?
Seperti yang saya bilang tadi… Ke mana jalan mengalir, ke situlah saya akan berhembus. Dijalani saja, Kang. Yang penting kita total.
Tapi, sang kawan menyuruh saya membuka Youtube dan Facebook. Ternyata, dia ada di sana. Mieke Asmara namanya. Kelahiran Sukabumi, 24 April 1977. Video klipnya “Merem Melek” ternyata bisa dilihat di Youtube. Mungkin supaya lebih mempopulerkan namanya. Mieke tipikal penyanyi dangdut. Make up menor. Sedikit menggoda. Yah, kamu bisa lihat sendiri lah di foto ini.
Mieke adalah kisah klise para pencari popularitas. Seperti lagu Tince Sukarti Binti Mahmud, yang ditulis Iwan Fals. Konon, Mieke adalah seorang mantan penyanyi dangdut tingkat kelurahan di Sukabumi. Konon lagi, ia hijrah ke Jakarta dengan impian untuk menjadi seorang bintang besar. Namun impiannya hancur ketika mengikuti sebuah audisi reality show dangdut di salah satu televisi swasta. Oleh dewan juri ia disebut tak bebakat dan lebih baik memikirkan karir alternatif. Sekali lagi konon, Mieke akhirnya menemukan karir alternatif tersebut: gonta-ganti menjadi pacar gelap para lelaki berduit Jakarta.
Oktober 2008 nanti, Mieke Asmara akan tampil dalam Gara-Gara Bola!, film komedi yang diproduseri oleh Nia DiNata (Janji Joni, Quickie Express). Ini adalah debut aktingnya yang pertama. Sebelum melihat aktingnya di film itu, baca dulu wawancaranya.
Ada hubungan apa dengan Mira Asmara yang penyanyi dangdut?
Tidak ada. Mieke Asmara itu nama panggung. Nama asli saya Muhairoh Tresnasih.
Ini pertama kalinya saya wawancara dengan penyanyi dangdut. Rasanya deg-degan karena penyanyi dangdut biasanya selalu menggoda. Kalau Anda, bagaimana rasanya diwawancara saya?
Biasa saja. Apalagi muka Anda mirip teman dekat saya. Namanya Kang Jufri. Siang dia jualan bunga di Barito, malamnya dia suka nonton saya manggung di Pasar Rumput. Orangnya baik sekali, suka membelikan VCD dangdut, suka mengirimkan saya bunga. Yah, biar bunganya bekas karangan bunga duka cita, yang penting kan niatnya baik. Potongannya ya seperti Kang… Aduh, siapa nama Anda?
Soleh.
Iya, seperti Kang Soleh ini. Hitam, dekil, jaket kulit, pakai kacamata. Jadi saya seperti bicara dengan kawan lama saja. (Mieke terdiam agak lama. Mendadak matanya berkaca-kaca) Sayang Kang Jufri sudah tidak ada. Tahun lalu, bajaj yang dia tumpangi tercebur ke Kali Ciliwung karena adu balap dengan Metro Mini. Kejadian itu makin memecut semangat saya untuk rekaman. Makanya di album saya ada lagu yang saya dedikasikan untuk Kang Jufri.
Judulnya?
“Cintaku di Dasar Ciliwung”.
Tak banyak penyanyi dangdut yang punya account Facebook. Kenapa Anda punya?
Sebetulnya saya ini orangnya gaptek. Tapi beruntung, suami adik saya yang tinggal di Sukabumi punya usaha warnet. Jadilah dia membuatkan saya account di Facebook, sekaligus menambahkan isinya kalau ada berita baru. Duh, adik ipar saya ini memang suportif sekali terhadap karir saya. Saking suportifnya, dia suka mengirimi saya SMS-SMS penambah semangat. Seperti ini nih. (Mieke lalu menunjukkan sebuah SMS yang berbunyi: MIEKE SAYANG, KPN KT BS KTEMUAN? AK KANGEN. LELI LG GAK DI RUMAH LHO. KABARIN YA.) Manis ya?
Siapa yang memasukkan video klip “Merem Melek” ke Youtube?
Kalau itu kerjaan Bang Feri, produser saya.
Kalau Multiply? Punya account Multiply nggak? Ini kan wawancara buat Multiply.
Kebetulan belum. Padahal saya suka menulis buku harian lho. Tadinya saya mau minta tolong ke suami adik saya untuk membuatkan, tapi entah kenapa, sejak mengirim SMS terakhir tadi, dia jadi susah dihubungi. Pas saya hubungi adik saya, tanggapannya judes. Jadi bingung.
Kenapa Anda meng-claim musik Anda sebagai dangdut hiphop pertama di Indonesia?
Ya karena memang yang pertama kan? Dulu saya sempat dengar Bang Oma hendak duet dengan Iwa K, atau Martabak Manis, atau siapa gitu bintang hiphop lokal, tapi entah kenapa tak terdengar lagi perkembangannya. Syukur juga, karena dengan begitu saya bisa mengklaim sebagai penyanyi dut-hop pertama.
Ide siapa untuk menggabungkan dangdut dan hiphop?
Itu ide saya dan Bang Feri. Yah, namanya juga persaingan industri, harus punya ciri khas kalau mau laku. Dangdut koplo, dangdut rock, dangdut house, dangdut keroncong, semua sudah ada. Pilihannya tinggal dangdut seriosa atau dangdut hip-hop. Akhirnya kami memilih dangdut hip-hop. Lebih gampang nge-rap daripada nyanyi seriosa, sumpah.
Momen apa yang membuat Anda memutuskan untuk jadi penyanyi dangdut?
Menonton Aneka Ria Safari, suatu malam di tahun 1989. Di luar hujan rintik-rintik, di layar tampil Itje Trisnawati membawakan “Duh Engkang”. Saat itu juga, saya tahu kalau sudah besar mau jadi apa.
Bagaimana Anda memandang industri dangdut di Indonesia?
Semuanya serba ketat. Ya persaingannya, ya kostum panggungnya. Untung postur tubuh saya oke, jadi memakai kostum ketat pun tidak masalah.
Anda gagal di reality show dangdut. Bagaimana rasanya?
Seperti dicambuk, lalu lukanya dikecruti jeruk nipis pakai madu. Sakit karena ditolak, tapi manis karena bisa bertemu idola saya, seorang diva dangdut yang saat itu menjadi juri.
Kenapa Anda ingin sekali jadi superstar?
Kalau hanya jadi bintang, di langit juga banyak, Kang.
Anda punya goyangan khusus?
Ada dong. Namanya goyang dongkrak. Jadi suatu hari ban mobil saya kempes, terpaksa deh saya mengganti ban sendiri. Saat mendongkrak itulah saya dapat ide untuk membuat sebuah goyangan baru. Seperti ini nih… (Mieke pun memperagakan sebuah gerakan yang super sensual, mirip orang mendongkrak, tapi dengan pantat ketimbang tangan.) Anehnya Kang, sewaktu mogok itu ada banyak lelaki yang mengerubungi, tapi tak satu pun yang mau menolong.
Rasanya semua jenis goyangan sudah diambil penyanyi dangdut. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Buat saya, ini bagian dari tuntutan zaman. Dulu, menyanyi saja sudah cukup. Sekarang perlu ditambah goyangan. Siapa tahu, beberapa tahun lagi, penyanyi dangdut sukses adalah mereka yang bisa nyanyi, goyang dan main sulap sekaligus. Dan beberapa tahun kemudian, nyanyi, goyang, main sulap dan pidato. Makanya saya sedang berpikir untuk mendaftar di sekolah sulapnya Kang Dedy Corbuzier, atau sekolah… Errr… Apa namanya? Robert Baden Powell?
John Robert Powers.
Iya. Itu.
Kenapa sih banyak penyanyi dangdut kalau bernyanyi selalu mendesah?
Yah, lebih baik mendesah daripada mengigau, Mas.
Katanya Anda gila seks. Benarkah itu? Segila apa sih?
(Tersenyum nakal) Benar nih Mas Soleh mau tahu?
(tertawa gugup). Kalau begitu, saya percaya saja deh. Bagaimana rasanya punya album rekaman?
Yang pasti, jauh lebih menyenangkan daripada punya album foto.
Apa yang menyenangkan dari bernyanyi di kafe Pasar Rumput?
Yah, selain bisa dapat uang, saya senang di sana bisa ketemu berbagai macam orang. Seperti investor yang membiayai album saya, itu ketemunya di Pasar Rumput. Dia bos karaoke dan panti pijat di Blok M, tapi suka dangdut. Orang yang menawarkan kerja sebagai manajer Bakmi Yona juga ketemunya di Pasar Rumput. Pokoknya bagus banget buat netwokring.
Apa?
Netwokring. Itu loh, yang kenal banyak orang buat bisnis.
Oooo… Networking!
Iya, netwroking.
Bagaimana suasana kafe di Pasar Rumput?
Wah, meriah, Kang. Apalagi saat tanggal muda. Acara di Dragonfly jadi seperti pesta ulang tahun anak SD.
Penyanyi dangdut di kafe, biasanya identik dengan perempuan nakal. Bagaimana dengan Anda?
Saya lebih suka menyebut diri saya ‘berjiwa petualang’. Ke mana jalan mengalir, ke situlah saya akan berhembus. Dan masalah nakal atau tidak kan sebetulnya juga kembali ke individualnya masing-masing pribadi. Dan tergantung kacamata yang digunakan. Kalau kacamatanya belum dilap, mungkin kelihatannya begini. Kalo kacamatanya bersih, ya kelihatannya begitu. Jangan mentang-mentang musiknya kafe dan mainnya di dangdut, lalu dicap nakal. Walaupun… Saya akui, oknum itu pasti ada. Di semua profesi juga begitu, bukan?
Digodek-godek itu sebenarnya sedang diapain?
Ini kembali tergantung pada kacamata yang kita gunakan. Dari kacamata dugem, orang godek-godek jelas orang yang menikmati dugemnya. Dari kacamata polisi, orang godek-godek berarti orang yang menolak tuduhan kalau dia maling. Dari kacamata pejalan kaki, orang godek-godek berarti orang yang mau menyeberang. Dari kacamata Mieke… (tertawa nakal) Pastinya menggodek karena kenikmatan.
Apa nikmatnya digodek-godek sehingga Anda sampai harus merem melek begitu?
Beda orang tentu beda ekspresi kenikmatan. Ada yang ngiler. Ada yang memelet. Ada yang mematuk. Nah, kalau saya merem melek.
Apakah kita harus selalu sedia lap setiap saat ingin menggodek Anda?
Tergantung. Kalau godekan Anda kurang mantap, lap itu mungkin tidak diperlukan, karena saya tak mungkin becek.
Kalau kita digodek Anda, apakah akan sampai becek juga?
Mungkin saja. Tapi beceknya setelah digodek, bukan saat digodek. Kalau saat digodek sudah becek, wah, stamina Anda perlu dipertanyakan.
Kalau “Gelinjang Cinta,” itu bercerita tentang apa?
Gelinjang Cinta kisah tentang seorang gadis yang dari awal terus menuruti apa perkataan sang kekasih. Sang kekasih mau ke kiri, ia ikut ke kiri. Sang kekasih mau ke kanan, ia ikut ke kanan. Seperti tidak punya pendirian dan identitas. Akhirnya si gadis tak tahan dan memutuskan cintanya tatkala sang kekasih hendak menduakannya.
Dengan gadis lain?
Bukan, dengan lelaki lain.
Dari mana Anda mendapatkan kostum?
Yang mendesain asisten dan make-up artist saya. Namanya Memed. Dia memang punya usaha sendiri, namanya MmmmMemed Modiste & Vermak Levis. Lumayan, jadi lebih hemat.
Anda merasa seksi jika memakai pakaian apa?
Selama pakaiannya ada corak berwarna hijau spotlight atau shocking pink, selama berpayet, selama berumbai dan selama ketat menempel, saya pasti selalu merasa seksi saat mengenakannya.
Siapa idola Anda untuk urusan fashion?
Gabungan antara Marilyn Monroe, Itje Trisnawati dan Rama Aiphama. Ketiga sosok itu yang selalu saya jadikan panutan.
Bagaimana ceritanya Anda bisa bermain film?
Kebetulan casting director film itu, namanya Dimas, pacaran sama Iyut, adik Bang Feri, produser saya. Tahu-tahu Iyut hamil. Bang Feri murka, soalnya Iyut itu adik kesayangannya. Dia langsung mendatangi Dimas, lalu Dimas digebukin. Mungkin supaya Bang Feri menghentikan gebukannya, Dimas menjanjikan peran ini. Akhirnya Dimas tak jadi dibuat bonyok oleh Bang Feri. Saya lalu ikutan casting, dan ternyata perannya pas: seorang penyanyi dangdut ibukota. Sutradara suka, produser suka, jadilah saya ikutan.
Sepertinya semua terjadi begitu cepat. Punya album langsung main film. Bagaimana Anda memandang fenomena ini?
Seperti yang saya bilang tadi… Ke mana jalan mengalir, ke situlah saya akan berhembus. Dijalani saja, Kang. Yang penting kita total.
0 Comments