“Lagu Upstairs yang baru, niru Chinese Rock!” kata MC Riann Pelor, ketika saya baru masuk Colours Cafe, Jakarta Pusat, sekira jam setengah sepuluh malam, Rabu (27/8) kemarin.
Jimi Multhazam, yang duduk di belakang drum set, langsung ke depan, mengambil mik.
“Elo menuduh gue meniru lagu Johnny Thunders?” katanya. “Vid, mainkan Chinese Rock!” Dia meminta David Tarigan memainkan intronya.
Yang dimaksud Pelor adalah lagu terbaru The Upstairs, “Ku Nobatkan Jadi Fantasi,” yang intro gitarnya mengambil nada lagu tradisional Jepang. Yang memang sudah dipakai di banyak lagu. Kamu mungkin tahu lagu “Turn Into Japanese” dalam film Charlie’s Angels. Ketika adegan tiga perempuan cantik itu menyamar jadi pemijat, lagu itu diputar. Nah, intro itu yang dimaksud Pelor meniru lagu “Chinese Rock.”
Artinya, “Ku Nobatkan Jadi Fantasi” bukan mirip lagu “Chinese Rock.”
“Lagu Upstairs yang baru, nggak bisa bikin orang berdansa!” kata Pelor lagi. “Ternyata, Upstairs kayak Ahmad Dhani. Cuma karena Upstairs band kecil, dia nggak ketahuan.”
“Ini adalah sebuah band yang sudah cukup lama tidak kita dengarkan bersama-sama. Kita sambut Henry Foundation!” kata Ale White Shoes yang juga jadi MC malam itu.
Band dengan formasi yang termasuk ajaib. Tak mengherankan band itu lebih cocok sebagai proyek iseng-iseng saja. Jika semua nama itu disatukan dalam waktu yang lama, sepertinya akan agak sulit dalam proses kreatifnya. Henry Foundation alias Batman sebagai vokalis, Bondi Goodboy sebagai gitaris, Bin Harlan Boer memegang instrumen bass, David Tarigan menjadi gitaris dan Jimi Multhazam kembali menjadi drummer. Sebelum malam itu, penampilan mereka satu-satunya adalah ketika era BB’s Cafe, Menteng masih berjaya.
Para penggemar Goodnight Electric dan The Upstairs yang belum tahu latar belakang idola mereka sepertinya akan sedikit kaget melihat band ini. Rock n’ roll dengan sound kasar dan mentah, bising, yang kita bisa merasakan pengaruh band macam Velvet Underground dan The Stooges di antaranya.
Belakangan, setelah manggung, Batman bertanya soal harga efek gitar murah kepada Ale. Dia sepertinya menikmati penampilan malam itu. Merasakan nikmatnya bermain gitar.
Band ini, baru latihan satu kali untuk penampilan malam itu. Seperti juga Teenage Death Star. Hanya bedanya, musik Henry Foundation masih bisa terdengar cukup jelas. Berbeda dengan penampilan sang bintang malam itu.
Ketika lagu pertama dimainkan, crowd sepertinya cukup syok mendengar suara yang keluar. Mungkin mereka sudah biasa dimanjakan oleh musik Teenage yang didengar dari CD. Begitu mendengar musik yang dihasilkan para noise makers itu ternyata benar-benar dominan noise ketimbang nada. Entah faktor sound system yang tak memadai. Entah karena memang ketika rekaman, mereka memakai segala macam efek yang ada di studio Iyub Santamonica.
Tapi, itulah Teenage Death Star. Gitaris Alvin selalu berkata untuk jangan mengharapkan mereka bermain rapi. Baru memasuki lagu kedua, sepertinya crowd sadar akan hal itu. Dan mereka mulai bisa menikmati penampilan Teenage tanpa harus mengharapkan akan keluar musik seperti yang mereka dengar dari CD. Tapi, yang paling menonjol penampilan malam itu adalah drummer Firman. Salah satu anggota Short Drummer Association itu benar-benar mampu menjaga tempo. Meskipun sedikit tipsy, Firman masih mampu memberikan pukulan-pukulan yang keras (yang paling terdengar adalah suara drum sebenarnya, gitar dan bass kadang agak samar-samar terdengar) dan cukup stabil.
Kerusuhan dimulai ketika lagu kedua dimainkan. Panggung yang tadinya sedikit lengang, mulai menyempit. Bassis Iyo bahkan harus beberapa kali berdiri di atas amplifier karena di panggung semakin banyak orang. Orang-orang yang tadinya masih menghargai perbedaan antara player yang memang tempatnya di panggung dan penonton yang tempatnya di luar panggung, sudah mulai melanggar batas. Invasi penonton dimulai. Hak istimewa pemain untuk memegang mik pun mulai diabaikan.
Colours yang tak terlalu luas itu semakin panas. Semua orang berkeringat. Panggung penuh dengan penonton. Sedikit mengingatkan pada suasana konser The Stooges. Hanya saja, Sir Dandy, sang vokalis bukan rock n’ roller bertubuh kekar six pack. Melainkan seorang lelaki tambun bermata sipit yang lebih mirip tukang hand phone.
Ini adalah konser rock n’ roll terliar di bulan ini! Superbad (oya, nama acara ini Superbad, reguler digelar di Colours) sebelumnya, di mana 70’s Orgasm Club dan Wonderbra tampil, tak sepadat ini. Nama Teenage Death Star sepertinya cukup dinanti banyak orang.
Setlist yang ditulis sebelumnya sepertinya tak dipatuhi. Urutannya acak. Lagu “I Got Johnny In My Head” dibawakan dua kali. Jika diperhatikan, sepertinya sebagian besar orang yang datang, merasakan kesenangan malam itu.
Saya tak tahu perasaan pemainnya. Gitaris Helvi sih, waktu saya bilang pemain juga pasti senang bermain di suasana seperti itu, mengatakan tidak. Karena mungkin tak banyak ruang buat dia bergerak. Neck gitar-nya pun, ada di antara dua tubuh penonton yang menginvasi panggung.
Apapun, kita tak bisa tahu, kapan akan ada lagi konser rock n’ roll seliar, ugal-ugalan dan semenyenangkan seperti malam itu.