Ketika wawancara itu saya posting, banyak yang bertanya apakah Mieke Asmara benar-benar ada? Apakah wawancara itu direkayasa? Beberapa teman malah menanyakan bagaimana rasanya ketika berhadapan langsung dengan Mieke Asmara si penyanyi “Merem Melek.”
Wawancara itu tak direkayasa, namun juga tak sepenuhnya nyata. Tak direkayasa karena jika kita bicara syarat syah nya wawancara, di mana ada narasumber, ada pewawancara dan ada proses tanya jawab, maka wawancara saya itu memang nyata. Mieke Asmara itu memang ada. Hanya, dia adalah salah satu karakter dalam film Gara-Gara Bola! Ini menjadikan wawancara itu tak sepenuhnya nyata. Tapi, saya tak merekayasa jawaban. Saya melemparkan pertanyaan, narasumber [yang berperan jadi Mieke Asmara] yang menjawabnya.
Nah, buat kamu yang kemarin sempat mengira saya orang yang humoris karena membaca tulisan itu lucu dan jawabannya gebleg, maka saya harus meminta maaf. Karena pertanyaan memang dari saya, tapi jawaban itu datang dari dua tandem penulis skenario/sutradara Khalid Kashogi dan Agasyah Karim atau, lebih singkatnya Karim/Kashogi.
Dan buat kamu yang bertanya-tanya suara siapa yang menyanyikan lagu “Merem Melek”, maka jawabannya adalah Kartika Jahja alias Tika, penyanyi multi bakat yang namanya sudah tak asing lagi di scene musik independen yang menurut saya bisa dibilang diva indie. Hahaha. Tapi, di film, Aida Nurmala sendiri yang menyanyikan lagu itu. Makanya, terdengar agak fals.
Film Gara-Gara Bola! bercerita tentang dua sahabat penggemar sepak bola: Heru [Herjunot Ali] dan Ahmad [Winky Wiryawan]. Heru, penggemar bola yang juga senang bermain bola dan punya pacar cantik bernama Laura [Laura Basuki]. Sedangkan Ahmad, adalah penggemar bola yang hanya menyukai olahraga itu jika ada taruhannya. Karena ulah Ahmad, mereka berhutang dua puluh juta rupiah, dan dikejar-kejar oleh dua penagih hutang: Gompar [Indra Herlambang] dan seorang lagi yang saya tak tahu namanya. Cerita film ini sepertinya agak rumit jika dituliskan dengan kata-kata. Banyak karakter yang saling bersingggungan di cerita filmnya. Itu saja intinya. Kalau saya ceritakan lagi, takut malah jadi spoiler.
Memang, jika ditulis begini tak terasa humornya. Begitupun ketika medio 2004 Agasyah Karim menceritakan sinopsisnya pada saya. Tak terbayang di mana letak humornya. Dan seperti yang rumit. Padahal, ketika kemarin saya menonton filmnya, bahasa gambarnya [dengan beberapa sentuhan animasi] ternyata tak serumit yang dibayangkan. Alur cerita bisa mengalir dengan nyaman. Dan banyaknya karakter yang saling bersinggungan ternyata tak membuat kening berkerut.
Malah, dialog-dialognya bisa membuat tertawa, walaupun bukan tipe tertawa hingga perut sakit. Tapi, ada letupan-letupan lelucon yang tak disangka-sangka datangnya. Plus, cara film itu menerangkan sistem apa saja yang biasa dipakai dalam taruhan bola, benar-benar efektif. Hanya dalam beberapa menit, saya yang awam taruhan bola, jadi bisa mengerti apa sebenarnya voor, dan apa itu lek-lekan. Yang juga mendukung cerita adalah musik yang ditata dengan baik oleh Aghi Narottama dan Bemby Gusti, di antara beberapa lagu dari Efek Rumah Kaca, Teenage Death Star, Naif, C ‘mon Lennon, Davkillz alias David Tarigan.
Tak ada satu bintang pun yang dominan di sini. Meskipun jangkar cerita ini adalah Heru dan Ahmad, sebagian besar pemain bisa mencuri perhatian. Kadang, kita melihat film yang sebenarnya hanya bagus karena satu atau dua tokoh saja. Tapi, di sini, semua bisa memainkan perannya dengan maksimal. Indra Herlambang yang kemayu, di sini bisa menjadi jantan. Tarzan bisa menjadi serius, walaupun mukanya masih menggemaskan. Winky yang biasa terlihat serius di beberapa filmnya, bisa terlihat goblok. Dan Junot ternyata lebih terlihat bagus chemistry-nya dibandingkan ketika dia berpartner dengan Vino Bastian. Aida Nurmala yang tipikal sosialita bisa menjadi penyanyi dangdut kampungan dengan logat bicara yang sangat mendukung. Serta tentu saja para pemain banci di film ini. Biar mendapat dialog sedikit, mereka bisa memanfaatkan dengan baik momen yang singkat itu. Film ini berakhir bahagia, sesuai dengan nama production house mereka, Happy Ending Pictures.
“Film ini bukan untuk ditelaah, tapi untuk dinikmati,” kata Agasyah Karim.
Karim dan Kashogi hanya tersenyum ketika mendengar pertanyaan dari wartawan kepada Junot soal pesan moral film ini, di Blitz Grand Indonesia, Kamis [16/10] kemarin.
“Pesan moralnya, berjudi itu jangan pake emosi,” kata Khalid Kashogi sambil tertawa.
Ide awal film ini sebenarnya adalah film drama dengan cerita yang gelap. Soal anak yang dikecewakan ayahnya, lantas ingin merampok perusahaan si ayah. Tapi, belakangan mereka malah mengubah ide ceritanya karena tak ingin membuat film yang membuat kening berkerut. Akhirnya, tema komedi dipilih.
Entah sudah berapa production house yang menolak naskah komedi mereka. Dari produser India hingga produser lokal, semua menolak. Menurut Aga, mungkin karena mereka tak bisa menyampaikannya dengan baik. Seperti juga saya yang tak menangkap unsur humornya waktu Aga menceritakannya.
“Di mana letak humornya?” kata satu produser.
“Wah, kayaknya nanti dulu deh. Kami belum sanggup bikinnya,” kata produser lain.
Hingga kira-kira setahun setelah naskah itu rampung dan ditawarkan ke banyak produser, Nia Dinata mengatakan tertarik kepada naskah itu.
Khalid Kashogi alias Ogi, adalah adik kandung Nia Dinata. Tapi, sejak awal dia tak ingin naskahnya diproduksi oleh production house kakaknya. Tak ingin ini terlihat seperti karya yang bisa diproduksi karena ada unsur kekeluargaan, mungkin begitu pikirnya. Ogi tak pernah sekalipun menyodorkan naskah ini kepada Nia untuk dibacanya. Nia membaca naskah itu tanpa sengaja ketika salah satu copy-an nya tertinggal di rumahnya.
“Gue produksi ya, tapi dengan satu syarat. Harus direvisi,” katanya.
Dan naskah itu direvisi hingga 14 kali. Waktu awal bercerita soal film itu, Aga mengatakan sebenarnya sosok Ahmad akan diperankan oleh Ronaldisko [mungkin karena Sunda]. Tapi, belakangan pihak production house punya pertimbangan lain. Dan sepertinya tak salah juga keputusan produser, karena Winky bisa memainkan perannya dengan baik. Keputusan yang tak salah juga adalah ketika memilih Laura Basuki sebagai pemain. Dan Nia juga akhirnya meminta mereka menyutradari naskah mereka, karena dianggap paling tahu soal cerita itu.
“Teteh punya feeling yang bagus soal pemain. Laura Basuki itu Teteh yang nyuruh supaya kami masang dia. Awalnya gue pengen pemain yang memang terlihat bitchy, menggoda. Tapi, setelah dipikir-pikir, sosok yang kayak gitu yang cocok. Kelihatannya polos, tapi bisa menggoda juga,” kata Aga.
Dan ya, kamu harus melihat langsung Laura Basuki. Bukan tipikal bom seks dengan bagian tubuh yang menonjol di mana-mana. Tapi, dia bisa terlihat sangat menggoda. Hehe. Nasib seperti Sandra Dewi yang tiba-tiba melesat karena film Quickie Express kemungkinan besar bisa juga menimpa Laura Basuki.
***
Saya mengenal Agasyah Karim sejak tahun 1997. Kami sama-sama kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Aga adalah lulusan SMA Pangudi Luhur. Sejak dulu, saya selalu mengenal Aga sebagai sosok gilafilm. Jauh sebelum saya kenal seorang Salman Aristo yang mengaku gilafilm, sosok gilafilm di benak saya adalah Agasyah Karim.
Di semester pertama, saya kaget melihat buku catatan Aga yang space kosong di atasnya selalu ditulisi judul-judul film. Lengkap dengan credit title-nya. Sutradaranya siapa, penulis skenarionya siapa, bintangnya siapa, penata musiknya siapa, dan detil-detil lain yang akan membuat sosok Aga terlihat sedikit gila di mata saya. Saya tak tahu bagaimana dia bisa mengingat credit title itu dengan baik. Entah karena dia memang punya ingatan yang kuat. Dan sampai sekarang, saya belum tahu dari mana asalnya detil-detil itu bisa tertulis dengan lengkap.
Dari dulu, keinginan Aga untuk membuat film sering dilontarkan dalam pembicaraan. Bahkan, saya pernah melihat skenario yang dibuatnya ketika liburan. Saya tak tertarik untuk membacanya, karena kertasnya saja terlihat tebal. Dari dulu saya malas membaca. Hehe.
Saya menyaksikan pengalaman pertama Agasyah Karim sebagai penulis skenario/sutradara adalah ketika menggarap talk show untuk praktikum pertelevisian di kampus, medio ‘98. Talk show yang diberi judul “Zol Zho-lech Show” itu, dibawakan oleh saya. Talk show soal kehidupan mahasiswa Jomblo. Topik yang menarik untuk sebagian mahasiswa [makanya, saya tak heran ketika Aditya Mulya menulis novel Jomblo dengan latar belakang kehidupan kampus].
Di era ini pula, saya mengenal Aga sebagai sosok pecinta bola yang senang memainkan Championship Manager tapi tak suka dan tak bisa bermain bola. Pernah, satu kali kami ada di tim sepakbola plastik yang sama. Dan dia memang tak pantas ada di lapangan bermain bola. Percayalah.
Di benak saya, Aga identik juga dengan Brit Pop. Jaman terjadinya British Invasion, lagu-lagu Brit Pop salah satu playlist yang sering diputar. Makanya, tak mengherankan ketika melihat Ahmad memakai kaos Oasis. Aga adalah salah satu orang dengan selera musik baik dan pengetahuan musik yang luas. Untuk tahu lebih banyak soal kualitas tulisan Agasyah Karim, kamu bisa kunjungi di manusiakardus.multiply.com.
Aga juga punya banyak pengalaman yang sangat membekas yang berkaitan dengan suku Batak. Mulai dari nama-nama yang aneh [Gompar Naibaho, hingga Tobok] dan persentuhannya dengan Lapo [“Tapi jangan diceritain semuanya Leh,” kata Aga]. Makanya, di film, debt collectornya digambarkan sebagai orang Batak. Padahal, sepertinya debt collector identik dengan orang Ambon. Saya rasa, ini sebagai tribute dia kepada suku Batak yang telah mengisi hari-harinya. Haha.
Ogi, adalah sepupu Aga. Saya mengenal Ogi medio 2004 ketika bermain ke rumah Aga. Sekilas, secara fisik mereka punya kemiripan. Walaupun badan Ogi lebih besar dibandingkan badan Aga. Dua orang ini sepakat untuk selalu sepaket.
“Kayak ganja dan papir ya Ga,” kata saya.
“Hahaha. Nggak lah, kalau nggak ada papir kan masih bisa pake bong,” kata Aga.
“Kalau gitu, kayak Mick dan Keith aja lah. Kalau kayak John dan Paul, kan pada akhirnya mereka pisah.”
“Hahaha. Bener juga. Mick tanpa Keith karyanya nggak terlalu bagus ya.”
Gara-gara film Gara-Gara Bola! Aga – Ogi masuk industri film. Gara-gara film Gara-Gara Bola! multiply saya mencapai hit terbanyak sejauh ini [dengan 190 komentar dan 500 orang pembaca tercatat untuk satu posting]. Gara-gara film Gara-Gara Bola! Aga yang sekarang berprofesi sebagai copy writer [salah satu karyanya adalah iklan Holcim] berpikir ingin serius di film atau menjadi jurnalis dengan sampingan penulis skenario.
Dan gara-gara film Gara-Gara Bola! tulisan ini dibuat.