Seniman Mbeling Bikin Pusing
Jum’at [10/10] kemarin, saya bertemu Remy Sylado.
Ini pertemuan kelima kami. Yang pertama, 9 Februari 2004 untuk kepentingan skripsi. Yang kedua, masih di tahun yang sama, dalam rangka pemutaran film dokumenter tentang majalah Aktuil. Yang ketiga, waktu memotret dia untuk kepentingan feature di majalah saya sebelum ini. Yang keempat, waktu meminta dia menulis untuk majalah saya yang sekarang.
Edisi Nopember ini, kami mengangkat tema Immortals. Ada 25 musisi paling berpengaruh di Indonesia yang akan diangkat di majalah. Masing-masing musisi, akan ditulis oleh satu musisi juga. Nah, di antaranya Bing Slamet, yang akan ditulis oleh Remy Sylado alias Yapi Tambayong. Dia tak hanya musisi, tapi juga penulis. Makanya, kami pikir sosok dia akan cocok untuk menulis Bing Slamet yang notabene eranya jauh di belakang.
Singkat kata, Sylado sepakat untuk menulis soal Bing Slamet. Di pertemuan keempat itu, saya sudah menjelaskan tulisannya seperti apa; hanya satu halaman, isinya cerita tentang si immortal, dan apa pengaruhnya buat si musisi yang menuliskannya. Sylado hanya tertawa ketika mendengar bagian pengaruhnya itu. Dia tak merasa Bing Slamet ada pengaruhnya langsung ke dirinya.
“Yah, pokoknya cerita tentang Bing Slamet saja deh, dan apa yang membuat dia menjadi musisi berpengaruh di Indonesia,” kata saya.
“Berapa banyak tulisannya?” tanya Sylado.
“Kalau di komputer sih, ya sekitar lima ribu karakter lah Kang.”
“Ya itu kan di komputer, saya pakai mesin tik.”
Terjawab sudah mitos soal Remy Sylado yang masih mengirimkan tulisan membuat mesin tik.
“Lihat aja di contoh majalahnya Kang, bisa dikira-kira berapa banyak tulisannya,” jawab saya.
Jum’at pagi, saya menghubungi dia lewat telepon. Menanyakan kabar soal tulisannya. Dia menjawab tulisan itu sudah siap diambil di rumahnya. “Asal, dengan satu syarat,” katanya. “Nggak boleh diedit ya. Kalau kamu mau motong-motong, lebih baik nggak usah saya kirimin. Soalnya, wartawan-wartawan suka sok tahu motong tulisan saya. Jadi menghilangkan esensi. Gimana? Saya udah bikin tujuh lembar kuarto dua spasi nih.”
“Wah, jatah kami cuma satu halaman Kang, kalau nggak dipotong nanti kebanyakan,” kata saya.
“Saya biasa bikin di Tempo, kalau lima halaman kuarto ini jadinya dua halaman di majalah lah, sudah termasuk ilustrasi dan foto.”
“Hmmm, gimana ya? Kalau bisa dipotong deh ya Kang.”
“Kamu ke sini aja dulu deh, baca dulu aja tulisannya.”
Rumah Remy Sylado ada tiga. Satu di Bandung, satu di Jakarta, dan satu di Bogor. Itu yang saya tahu. Saya pernah mendatangi rumahnya di Bandung. Warna hitam putih sangat dominan di sana. Bahkan, dia menamai rumahnya dengan Rumah Putih atau apalah saya lupa yang jelasa ada kata putih di belakangnya. Lantainya bermotif hitam putih seperti papan catur. Rumahnya yang di Bandung tak terlalu luas, bahkan terkesan agak sempit oleh banyak barang.
Rumahnya di Jakarta, ada di kawasan Cipinang Muara. Jalan raya ke sana pas-pasan untuk dua mobil. Kavling rumahnya, bahkan harus masuk ke jalan kecil yang hanya pas untuk satu mobil. Rumah itu pun ternyata bercorak hitam putih. Dua lantai, dengan pepohonan rindang di depannya. Dan garasi mobil yang hanya cukup untuk satu mobil. Tak ada ruang tamu yang besar. Begitu masuk ke area rumah, ruang tamunya hanya terdiri dari empat kursi kayu. Tak seperti ruang tamu. Atau memang itu bukan ruang tamu ya? Saya juga kurang tahu.
Ruang tempat Sylado menerima saya dekat dengan meja makan dan tempat seperti ruang kerja dengan mesin tik besar yang entah masih bisa dipakai atau hanya pajangan. Di salah satu lemari, ada gitar putih dengan model seperti Les Paul Gibson. Di lemari satu lagi, ada beberapa koleksi gitar lagi yang dicampur dengan ukulele, dan bas betot.
Lantainya juga bermotif papan catur.
Saya berkomunikasi dengan Remy Sylado lebih banyak menggunakan bahasa Sunda. Di pertemuan keempat kami, Sylado mengatakan bahwa ada dua bahasa yang harus dikuasai di Indonesia, selain bahasa Indonesia. Yaitu bahasa Sunda dan Jawa, karena dua suku itu yang paling banyak di sini. “Jakarta itu milik orang Sunda. Dulu aja, di sini namanya Pelabuhan Sunda Kelapa kan?”
Sepertinya dia juga senang dipanggil Kang. Mungkin karena merasa dianggap masih muda [padahal, dia kelahiran 12 Juli 1945]. Dan kalau melihat sejarahnya, Remy Sylado sangat membenci kaum tua. Dalam lagu “Orexas” di album Orexas, dia berorasi seperti ini:
“Heh, mari kita panjatkan doa kita, semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Biar mampus dengan segala kemunafikan mereka. Satu…dua…tiga! Semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Malapetaka penyakit gula. Malapetaka penyakit pes. Malapetaka penyakit darah tinggi. Malapetaka penyakit cacing pita. Idi Aamiiin. Hahahaha.”
Sylado memberikan saya kertas hasil ketikannya. Isinya, paparan soal Bing Slamet serta kaitannya dengan industri musik Indonesia. Cukup komprehensif memang. Tapi, itu terlalu banyak untuk jatah satu halaman.
“Kumaha?” katanya.
“Lengkap kieu nya Kang. Penutupna sae yeuh, anu soal Soekarno.”
Dia tersenyum mendengar puijan saya.
“Susah kan dipotong? Kalau dipotong, bakal hilang maknanya,” kata Sylado.
Dia lantas menunjukkan satu majalah yang mengangkat profil dia. Di sampulnya, ada judul “Remy Sylado: Penulis dengan Pendalaman Riset.”
“Saya kalau nulis selau riset. Nggak main-main. Saya nggak mau pembaca nggak dapet apa-apa,” katanya.
“Kalau gitu, saya coba hitung dulu deh di komputer ya Kang. Siapa tahu ternyata nggak terlalu banyak.”
Saya keluarkan laptop. Dia agak kaget, setelah tahu yang saya maksud dengan dihitung dulu adalah dengan mengetik dulu seluruh naskah itu.
“Mau berapa jam kamu ngetiknya? Itu banyak loh.”
Padahal, kalau hanya mengetik mah tak akan terlalu lama. Yang lama kan, memikirkan isinya. Kalau naskahnya sudah ada, pekerjaan akan lebih cepat.
Sambil menunggu saya mengetik, dia mondar-mandir ke kursi depan saya. Ke kamar, dan entah ke mana lagi. Di sela-sela mengetik, saya tanyakan soal kegiatannya. Dia bercerita bahwa sebentar lagi akan ada novel soal gerakan mahasiswa angkatan ’98. Penerbit Gramedia sudah siap menerbitkannya. Sampai hari itu, dia bilang sudah ada sekira 300 halaman. Saya tak berani bertanya apakah dia mengetiknya dengan mesin tik atau dengan komputer. Takut merusak misi saya mengedit tulisan Remy Sylado. Dia juga mengatakan kecewa dengan hasil film Ca Bau Kan.
“Pemred kamu siapa sih?”
“Untuk sementara sih, Adib Hidayat Kang. Kenal?”
Dia menggelengkan kepala.
“Tapi, di kantor kami, ada penasehat redaksi sekaligus Presiden Direktur. Andy Noya,”
“Ooh. Dia. Kenapa mesti dia?” katanya.
“Wah, itu urusan investor Kang. Saya nggak tahu. Kang Remy pernah ngobrol sama Andy Noya?”
“Belum. Buat apa? Saya mah nggak suka sama itu orang. Sama acaranya juga.”
“Kenapa Kang?”
“Ah, legeg.”
Legeg itu kurang lebih artinya belagu.
Setengah jam kemudian, tulisan itu berhasil saya ketik di komputer. Jadinya hanya tiga halaman Word, dengan satu spasi dan sekitar 10 ribu karakter lebih sedikit. Saya butuh maksimal 6500 karakter. Setelah saya bilang bahwa kita paling hanya memotong satu halaman lebih sedikit, ide mengedit tulisan itu tak jadi terlalu menakutkan buat Remy Sylado.
Akhirnya, terjadi tawar menawar antara saya dan Remy Sylado. Banyak bagian yang menurut saya terlalu melebar dari topik soal Bing Slamet. Memang, itu informasi penting. Tapi, jika kita bicara konteks Bing Slamet, mungkin akan jadi tak terlalu penting. Apalagi mengingat jatah halaman yang sangat terbatas.
“Saya membuat tulisan ada unsur historiografinya. Kalau cuma tulisan soal kesan dan opini mah, kamu minta ke orang lain aja,” katanya.
“Tapi Kang, kami pingin musisi yang tahu soal Bing Slamet dan bisa menulis dengan baik. Dan sejauh ini, kami menilai hanya Remy Sylado yang layak,” saya memuji dia sekali lagi.
Dia terdiam. Tak melanjutkan keluhannya. Lantas, dia meminta saya merapikan kata yang terlihat di monitor. Tahu kan, jika kita menulis kadang tersisa satu atau dua kata di akhir paragraf dan tak terlihat enak komposisinya. Dia menyuruh saya memindahkan dua kata tersisa itu ke baris atas supaya terlihat enak. Setelah saya bilang itu otomatis dari komputernya, dia menyerah.
“Kang, bagian soal Titiek Puspa membuat lagu tentang dia, dihapus aja ya. Ini kan nggak terlalu penting.”
“Hush. Jangan! Memang pada waktu itu, Titiek Puspa kehilangan sekali. Dan Titiek Puspa itu, penyanyi segala masa yang paling inspirasional dalam peta seni-seni populer Indonesia [dia mengutip tulisannya sendiri, sambil menunjuk ke kertas ketikan] sampai menulis lagu buat Bing. Ini penting loh!”
“Ya udah, kalau gitu, bagian masyarakat sedih waktu Bing meninggal dihapus aja ya. Ini kan kepanjangan.”
“Eh, itu juga jangan. Gimana pembaca bisa tahu betapa berpengaruhnya dia kalau tulisan itu nggak ada?”
Akhirnya, setelah tawar menawar selama sekira hampir dua jam, jumlah karakter yang bisa kami pangkas hanya sekira 3000 karakter. Menyisakan sekira 72oo karakter. Dia setuju judulnya dipangkas karena memang konsepnya seperti itu. Tak ada judul apa-apa, hanya nama si immortal. Bagian Titiek Puspa itu, akhirnya mau juga dipotong oleh Sylado. Kecuali bagian masyarakat sedih.
“Ya udah. Saya nggak bisa motong lagi nih. Udah banyak banget tuh. Historiografinya udah hilang gara-gara kamu potong-potong. Tulisannya jadi nggak mengalir lagi nih. Jadi kayak undang-undang [atau pernyataan, atau deklamasi ya? saya lupa istilah yang dia gunakan].”
“Kang, sedikit lagi aja. Ini tiga paragraf kalau dipotong, tulisannya bakal pas!”
Bagian yang saya maksud, adalah soal dia bertemu istrinya, serta soal dia yang juga pencipta lagu.
“Ah nggak bisa. Kalau kamu nggak mau muat yang ini, ya udah buang aja. Nanti biar saya kasih ke majalah lain aja,” kata Sylado seraya membuka kacamata dan menjauh dari monitor.
Kesabaran saya benar-benar diuji. Sepanjang proses negosiasi itu, lagu “Orexas” terus berkumandang di kepala. Orasi-orasi Sylado soal orangtua terus terngiang. Saya tak berani bertanya soal lagu itu, dan soal posisinya sekarang yang sudah jadi orangtua. Mungkin lain kali.
Dua jam setengah saya di rumah Remy Sylado. Ketika saya pamit, orang-orang dari Penerbit Gramedia sudah datang. Mereka sepertinya lebih beruntung karena tak harus bernegosiasi soal jumlah tulisan.
Di lagu “Orexas” itu, orang-orang yang ikut berorasi bersama Remy Sylado, mengibaratkan orang tua yang cerewet, dengan bebek.
“Kalian tahu nggak? Gimana caranya ngurusin orang-orang tua kita? Gampang. Kita bikin mereka jadi pajangan. Caranya begini, kita beli air keras. Lantas kita rendem itu papi mami kita ke air keras itu,“ kata suara seorang pria.
“Atau, kalau nggak, disetum aja. Diratain aja sama jalan By Pass,” kata suara seorang perempuan.
“Semoga arwah setan dan iblis mau menyambut dengan riang itu hati orang-orang munafik yang sudah disetum. Hihihi,” kata Sylado.
Ini pertemuan kelima kami. Yang pertama, 9 Februari 2004 untuk kepentingan skripsi. Yang kedua, masih di tahun yang sama, dalam rangka pemutaran film dokumenter tentang majalah Aktuil. Yang ketiga, waktu memotret dia untuk kepentingan feature di majalah saya sebelum ini. Yang keempat, waktu meminta dia menulis untuk majalah saya yang sekarang.
Edisi Nopember ini, kami mengangkat tema Immortals. Ada 25 musisi paling berpengaruh di Indonesia yang akan diangkat di majalah. Masing-masing musisi, akan ditulis oleh satu musisi juga. Nah, di antaranya Bing Slamet, yang akan ditulis oleh Remy Sylado alias Yapi Tambayong. Dia tak hanya musisi, tapi juga penulis. Makanya, kami pikir sosok dia akan cocok untuk menulis Bing Slamet yang notabene eranya jauh di belakang.
Singkat kata, Sylado sepakat untuk menulis soal Bing Slamet. Di pertemuan keempat itu, saya sudah menjelaskan tulisannya seperti apa; hanya satu halaman, isinya cerita tentang si immortal, dan apa pengaruhnya buat si musisi yang menuliskannya. Sylado hanya tertawa ketika mendengar bagian pengaruhnya itu. Dia tak merasa Bing Slamet ada pengaruhnya langsung ke dirinya.
“Yah, pokoknya cerita tentang Bing Slamet saja deh, dan apa yang membuat dia menjadi musisi berpengaruh di Indonesia,” kata saya.
“Berapa banyak tulisannya?” tanya Sylado.
“Kalau di komputer sih, ya sekitar lima ribu karakter lah Kang.”
“Ya itu kan di komputer, saya pakai mesin tik.”
Terjawab sudah mitos soal Remy Sylado yang masih mengirimkan tulisan membuat mesin tik.
“Lihat aja di contoh majalahnya Kang, bisa dikira-kira berapa banyak tulisannya,” jawab saya.
Jum’at pagi, saya menghubungi dia lewat telepon. Menanyakan kabar soal tulisannya. Dia menjawab tulisan itu sudah siap diambil di rumahnya. “Asal, dengan satu syarat,” katanya. “Nggak boleh diedit ya. Kalau kamu mau motong-motong, lebih baik nggak usah saya kirimin. Soalnya, wartawan-wartawan suka sok tahu motong tulisan saya. Jadi menghilangkan esensi. Gimana? Saya udah bikin tujuh lembar kuarto dua spasi nih.”
“Wah, jatah kami cuma satu halaman Kang, kalau nggak dipotong nanti kebanyakan,” kata saya.
“Saya biasa bikin di Tempo, kalau lima halaman kuarto ini jadinya dua halaman di majalah lah, sudah termasuk ilustrasi dan foto.”
“Hmmm, gimana ya? Kalau bisa dipotong deh ya Kang.”
“Kamu ke sini aja dulu deh, baca dulu aja tulisannya.”
Rumah Remy Sylado ada tiga. Satu di Bandung, satu di Jakarta, dan satu di Bogor. Itu yang saya tahu. Saya pernah mendatangi rumahnya di Bandung. Warna hitam putih sangat dominan di sana. Bahkan, dia menamai rumahnya dengan Rumah Putih atau apalah saya lupa yang jelasa ada kata putih di belakangnya. Lantainya bermotif hitam putih seperti papan catur. Rumahnya yang di Bandung tak terlalu luas, bahkan terkesan agak sempit oleh banyak barang.
Rumahnya di Jakarta, ada di kawasan Cipinang Muara. Jalan raya ke sana pas-pasan untuk dua mobil. Kavling rumahnya, bahkan harus masuk ke jalan kecil yang hanya pas untuk satu mobil. Rumah itu pun ternyata bercorak hitam putih. Dua lantai, dengan pepohonan rindang di depannya. Dan garasi mobil yang hanya cukup untuk satu mobil. Tak ada ruang tamu yang besar. Begitu masuk ke area rumah, ruang tamunya hanya terdiri dari empat kursi kayu. Tak seperti ruang tamu. Atau memang itu bukan ruang tamu ya? Saya juga kurang tahu.
Ruang tempat Sylado menerima saya dekat dengan meja makan dan tempat seperti ruang kerja dengan mesin tik besar yang entah masih bisa dipakai atau hanya pajangan. Di salah satu lemari, ada gitar putih dengan model seperti Les Paul Gibson. Di lemari satu lagi, ada beberapa koleksi gitar lagi yang dicampur dengan ukulele, dan bas betot.
Lantainya juga bermotif papan catur.
Saya berkomunikasi dengan Remy Sylado lebih banyak menggunakan bahasa Sunda. Di pertemuan keempat kami, Sylado mengatakan bahwa ada dua bahasa yang harus dikuasai di Indonesia, selain bahasa Indonesia. Yaitu bahasa Sunda dan Jawa, karena dua suku itu yang paling banyak di sini. “Jakarta itu milik orang Sunda. Dulu aja, di sini namanya Pelabuhan Sunda Kelapa kan?”
Sepertinya dia juga senang dipanggil Kang. Mungkin karena merasa dianggap masih muda [padahal, dia kelahiran 12 Juli 1945]. Dan kalau melihat sejarahnya, Remy Sylado sangat membenci kaum tua. Dalam lagu “Orexas” di album Orexas, dia berorasi seperti ini:
“Heh, mari kita panjatkan doa kita, semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Biar mampus dengan segala kemunafikan mereka. Satu…dua…tiga! Semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Malapetaka penyakit gula. Malapetaka penyakit pes. Malapetaka penyakit darah tinggi. Malapetaka penyakit cacing pita. Idi Aamiiin. Hahahaha.”
Sylado memberikan saya kertas hasil ketikannya. Isinya, paparan soal Bing Slamet serta kaitannya dengan industri musik Indonesia. Cukup komprehensif memang. Tapi, itu terlalu banyak untuk jatah satu halaman.
“Kumaha?” katanya.
“Lengkap kieu nya Kang. Penutupna sae yeuh, anu soal Soekarno.”
Dia tersenyum mendengar puijan saya.
“Susah kan dipotong? Kalau dipotong, bakal hilang maknanya,” kata Sylado.
Dia lantas menunjukkan satu majalah yang mengangkat profil dia. Di sampulnya, ada judul “Remy Sylado: Penulis dengan Pendalaman Riset.”
“Saya kalau nulis selau riset. Nggak main-main. Saya nggak mau pembaca nggak dapet apa-apa,” katanya.
“Kalau gitu, saya coba hitung dulu deh di komputer ya Kang. Siapa tahu ternyata nggak terlalu banyak.”
Saya keluarkan laptop. Dia agak kaget, setelah tahu yang saya maksud dengan dihitung dulu adalah dengan mengetik dulu seluruh naskah itu.
“Mau berapa jam kamu ngetiknya? Itu banyak loh.”
Padahal, kalau hanya mengetik mah tak akan terlalu lama. Yang lama kan, memikirkan isinya. Kalau naskahnya sudah ada, pekerjaan akan lebih cepat.
Sambil menunggu saya mengetik, dia mondar-mandir ke kursi depan saya. Ke kamar, dan entah ke mana lagi. Di sela-sela mengetik, saya tanyakan soal kegiatannya. Dia bercerita bahwa sebentar lagi akan ada novel soal gerakan mahasiswa angkatan ’98. Penerbit Gramedia sudah siap menerbitkannya. Sampai hari itu, dia bilang sudah ada sekira 300 halaman. Saya tak berani bertanya apakah dia mengetiknya dengan mesin tik atau dengan komputer. Takut merusak misi saya mengedit tulisan Remy Sylado. Dia juga mengatakan kecewa dengan hasil film Ca Bau Kan.
“Pemred kamu siapa sih?”
“Untuk sementara sih, Adib Hidayat Kang. Kenal?”
Dia menggelengkan kepala.
“Tapi, di kantor kami, ada penasehat redaksi sekaligus Presiden Direktur. Andy Noya,”
“Ooh. Dia. Kenapa mesti dia?” katanya.
“Wah, itu urusan investor Kang. Saya nggak tahu. Kang Remy pernah ngobrol sama Andy Noya?”
“Belum. Buat apa? Saya mah nggak suka sama itu orang. Sama acaranya juga.”
“Kenapa Kang?”
“Ah, legeg.”
Legeg itu kurang lebih artinya belagu.
Setengah jam kemudian, tulisan itu berhasil saya ketik di komputer. Jadinya hanya tiga halaman Word, dengan satu spasi dan sekitar 10 ribu karakter lebih sedikit. Saya butuh maksimal 6500 karakter. Setelah saya bilang bahwa kita paling hanya memotong satu halaman lebih sedikit, ide mengedit tulisan itu tak jadi terlalu menakutkan buat Remy Sylado.
Akhirnya, terjadi tawar menawar antara saya dan Remy Sylado. Banyak bagian yang menurut saya terlalu melebar dari topik soal Bing Slamet. Memang, itu informasi penting. Tapi, jika kita bicara konteks Bing Slamet, mungkin akan jadi tak terlalu penting. Apalagi mengingat jatah halaman yang sangat terbatas.
“Saya membuat tulisan ada unsur historiografinya. Kalau cuma tulisan soal kesan dan opini mah, kamu minta ke orang lain aja,” katanya.
“Tapi Kang, kami pingin musisi yang tahu soal Bing Slamet dan bisa menulis dengan baik. Dan sejauh ini, kami menilai hanya Remy Sylado yang layak,” saya memuji dia sekali lagi.
Dia terdiam. Tak melanjutkan keluhannya. Lantas, dia meminta saya merapikan kata yang terlihat di monitor. Tahu kan, jika kita menulis kadang tersisa satu atau dua kata di akhir paragraf dan tak terlihat enak komposisinya. Dia menyuruh saya memindahkan dua kata tersisa itu ke baris atas supaya terlihat enak. Setelah saya bilang itu otomatis dari komputernya, dia menyerah.
“Kang, bagian soal Titiek Puspa membuat lagu tentang dia, dihapus aja ya. Ini kan nggak terlalu penting.”
“Hush. Jangan! Memang pada waktu itu, Titiek Puspa kehilangan sekali. Dan Titiek Puspa itu, penyanyi segala masa yang paling inspirasional dalam peta seni-seni populer Indonesia [dia mengutip tulisannya sendiri, sambil menunjuk ke kertas ketikan] sampai menulis lagu buat Bing. Ini penting loh!”
“Ya udah, kalau gitu, bagian masyarakat sedih waktu Bing meninggal dihapus aja ya. Ini kan kepanjangan.”
“Eh, itu juga jangan. Gimana pembaca bisa tahu betapa berpengaruhnya dia kalau tulisan itu nggak ada?”
Akhirnya, setelah tawar menawar selama sekira hampir dua jam, jumlah karakter yang bisa kami pangkas hanya sekira 3000 karakter. Menyisakan sekira 72oo karakter. Dia setuju judulnya dipangkas karena memang konsepnya seperti itu. Tak ada judul apa-apa, hanya nama si immortal. Bagian Titiek Puspa itu, akhirnya mau juga dipotong oleh Sylado. Kecuali bagian masyarakat sedih.
“Ya udah. Saya nggak bisa motong lagi nih. Udah banyak banget tuh. Historiografinya udah hilang gara-gara kamu potong-potong. Tulisannya jadi nggak mengalir lagi nih. Jadi kayak undang-undang [atau pernyataan, atau deklamasi ya? saya lupa istilah yang dia gunakan].”
“Kang, sedikit lagi aja. Ini tiga paragraf kalau dipotong, tulisannya bakal pas!”
Bagian yang saya maksud, adalah soal dia bertemu istrinya, serta soal dia yang juga pencipta lagu.
“Ah nggak bisa. Kalau kamu nggak mau muat yang ini, ya udah buang aja. Nanti biar saya kasih ke majalah lain aja,” kata Sylado seraya membuka kacamata dan menjauh dari monitor.
Kesabaran saya benar-benar diuji. Sepanjang proses negosiasi itu, lagu “Orexas” terus berkumandang di kepala. Orasi-orasi Sylado soal orangtua terus terngiang. Saya tak berani bertanya soal lagu itu, dan soal posisinya sekarang yang sudah jadi orangtua. Mungkin lain kali.
Dua jam setengah saya di rumah Remy Sylado. Ketika saya pamit, orang-orang dari Penerbit Gramedia sudah datang. Mereka sepertinya lebih beruntung karena tak harus bernegosiasi soal jumlah tulisan.
Di lagu “Orexas” itu, orang-orang yang ikut berorasi bersama Remy Sylado, mengibaratkan orang tua yang cerewet, dengan bebek.
“Kalian tahu nggak? Gimana caranya ngurusin orang-orang tua kita? Gampang. Kita bikin mereka jadi pajangan. Caranya begini, kita beli air keras. Lantas kita rendem itu papi mami kita ke air keras itu,“ kata suara seorang pria.
“Atau, kalau nggak, disetum aja. Diratain aja sama jalan By Pass,” kata suara seorang perempuan.
“Semoga arwah setan dan iblis mau menyambut dengan riang itu hati orang-orang munafik yang sudah disetum. Hihihi,” kata Sylado.
0 Comments