Kami Datang untuk Musik
Hari Minggu [17/5], kemarin saya nonton The S.I.G.I.T. dan The Upstairs di Terusik Traxkustik.
Jika bicara soal dua nama itu, saya selalu teringat soal momen pertama kali saya menginjak kaki di ibukota sebagai jurnalis musik: tahun 2004 waktu saya diterima sebagai reporter di MTV Trax yang sekarang jadi Trax Magazine.
Salah satu album yang paling berkesan ketika mendapat tugas mengulas album adalah mini album The S.I.G.I.T. Sebelumnya, saya sudah pernah mendengar nama mereka ketika masih kuliah di Bandung. Tapi tak tahu bagaimana musiknya. Seorang teman malah pernah berkata bahwa The S.I.G.I.T. dulunya anak-anak indies. Karena trend garage sedang mewabah waktu itu, akhirnya mereka memainkan rock n’ roll. Yah karena pengaruh dia, saya tak penasaran sama albumnya.
Tapi ketika Arian13 memberikan mini album The S.I.G.I.T. saya langsung kepincut sama musiknya. Walaupun secara produksi masih jauh dari kesan maksimal, dan Rekti masih menyanyikan bahasa Inggris dengan logat yang tak terlalu enak didengar, tapi saya menyukai enerji mereka. Dan mini album yang masih berupa kaset itu, selama beberapa minggu menjadi teman perjalanan saya dalam Metro Mini dari Pancoran menuju Gedung Sarinah Thamrin [waktu itu, MTV Traz masih berkantor di Gedung Sarinah]. Rock n’ roll masih hidup dan salah satu hasil regenerasi ada di The S.I.G.I.T. Saya bersyukur sekali waktu itu, masih ada yang memainkan musik seperti itu, di tengah gempuran melodic punk. Ketika banyak remaja dan yang bukan remaja menyukai melodic punk dan senang memakai celana pendek kedodoran dengan boxer terlihat, The S.I.G.I.T. datang dengan celana cutbray, sepatu lancip dan [dua] rambut gondrong keriting.
Sekarang, selamat tinggal rambut keriting. The S.I.G.I.T. adalah dua bonding dan dua lurus alami. Tapi, selamat datang kualitas. Secara sound mereka menunjukkan perubahan yang berarti. Terutama dari segi sound. Anak-anak Kota Kembang itu kini sepertinya mulai menancapkan kuku di ibukota. Setidaknya, jika ukurannya dari banyaknya mahasiswa penggemar The S.I.G.I.T. Beberapa waktu lalu, di Rolling Stone mereka tampil. Penontonnya yang sebagian besar mahasiswa terlihat mengagumi sekali penampilan mereka. Entah peer pressure. Entah karena Rekti yang ganteng. Entah karena benar-benar suka. Apapun, yang jelas itu menandakan musik keras masih punya harapan di negeri ini. Hehe.
Lalu The Upstairs. Saya mendengar nama ini sejak 2001, waktu magang sebagai reporter di Bintang Millenia. Vitri Yuliani, fotografer BM, waktu itu masih jadi pacar Jimi Multhazam. Dia sering memakai kaos The Upstairs ke kantor. Dia mengatakan bahwa The Upstairs adalah band indie terbaik. Baru pada 2002, saya melihat video klip “Antah Berantah” di MTV Indonesia saya mulai memercayai ucapan Vitri soal The Upstairs band yang bagus.
Suatu kali, Arian13 menugaskan saya untuk meliput konser mereka—entah peluncuran album Matraman, entah konser biasa—di salah satu cafe di Blok M yang saya lupa namanya. Di situlah saya jatuh cinta pada mereka. Waktu itu, wajah dan perkataan Jimi tak sebersih sekarang ketika di panggung. Belum banyak Modern Darlings menggelinjang ketika The Upstairs tampil. Backing vokal mereka masih dua. Dan backing vocalist Dian Maryana belum semenarik sekarang, walaupun sudah ada bibitnya, tapi waktu itu dia belum membenahi penampilannya. Hehe.
Momen ketika mereka membawakan “Matraman” adalah momen yang membuat saya mantap mengatakan bahwa saya sepakat dengan orang yang berkata bahwa The Upstairs adalah band yang bagus [oya, ini kalimat tak efektif dan berlebihan]. Saya pikir, “Matraman” adalah salah satu lagu cinta terbaik sepanjang masa. Jimi membawa saya ke suasana di salah satu jalan di ibukota, yang bahkan meskipun saya tak tahu di mana dan seperti apa suasananya, saya bisa membayangkan bagaimana jalan Matraman itu. Lagu itu punya punch line yang oke, “Aku di Matraman, Kau di Kota Kembang.”
Belakangan saya baru tahu bahwa ketika peristiwa itu terjadi, teman Jimi yang jadi inspirasi lagu itu memang benar-benar menunggu kedatangan perempuan pujaannya. Tapi yang ditunggu ternyata sedang di Bandung. Album Matraman, meskipun kata Jimi dibuat dalam kondisi dana terbatas dengan fasilitas terbatas, adalah salah satu album favorit saya, dan sepertinya album terbaik The Upstairs, seperti Appetite For Destruction bagi Guns N’ Roses.
Kemarin, The Upstairs mengadakan launching album ketiganya, Magnet! Magnet! Nuansa album ini seperti perpaduan antara nuansa Matraman dan Energy. Tak terlalu kasar tapi juga tak terlalu rapi. Dian bahkan mendapat porsi bernyanyi sendiri di album ini. Perubahan paling signifikan yang ada di album ini. Dari segi lirik, Jimi memang masih menulis lirik yang brilian. Tapi, saya merindukan lirik Jimi yang naratif. Mungkin karena Jimi berperan sebagai produser juga di sini, atau karena Jimi sudah lama jadi penyiar, dia bisa mengungkapkan sesuatu dengan kalimat yang pendek dan efektif. Tapi, kali ini, lirik buatan Jimi tak terlalu menimbulkan adegan di benak. Kalau boleh mengambil contoh, mendengar lirik “Apakah Aku Ada di Mars…” saya jadi terbayang suasana pesta di sebuah klub dan terbayang bagaimana Jimi terheran-heran di sana. Agaknya saya harus membuka diri terhadap cara bercerita Jimi yang baru. Di album ini, mereka membawakan sebuah daur ulang lagu Dehuminizer, “Sing Thru Me” dan jadinya terdengar lebih menarik buat telinga saya ketimbang versi aslinya.
Ah, sudahlah. Saya sedang malas menulis. Silakan nikmati beberapa foto dari acara Terusik Traxkustik kemarin. Maaf gelap. Lighting tak oke, dan fotografernya masih amatir.
Kalau mau baca tulisan saya untuk web rollingstone.co.id, cek saja ini:
http://www.rollingstone.co.id/index.php?m=rs&s=news&a=view&id=169
0 Comments