Satu lagi cerita akhir pekan bersama Seringai.
Srondol adalah nama daerah di Semarang. Saya tidak sedang mengada-ada. Nama ini benar-benar ada. Saya juga baru sadar bahwa nama itu ada setelah Jumat, 31 Juli 2009 kemarin datang ke Semarang bersama Seringai. Mereka diundang main di Semarang, oleh sebuah kolektif yang terdiri dari bocah-bocah SMA serta kawan-kawan alumninya. Sebelum dibawa ke Srondol, dua orang panita menjemput kami di bandara. Ketika pukul tujuh sampai di bandara, kami diberikabar bahwa yang akan menjemput kami, seseorang bernama Upi atau Opi saya lupa. Tapi, lima belas menit setelah mendarat, Upi atau Opi tak juga berhasil dihubungi.
Dawo, Road Manager Seringai, akhirnya berhasil menghubungi seorang panitia. Singkat cerita, kami berhasil menghubungi panitia yang bertugas menjemput. “Lagi nunggu Upi atau Opi,” kata si panitia. Kira-kira pukul delapan pagi, panitia penjemput datang. Satu orang perempuan yang buru-buru meminta maaf karena terlambat, dan satu lelaki yang mengemudikan mobil. Tak seorangpun dari mereka bernama Upi atau Opi. Entah siapa yang mereka tunggu tadi ketika ditelepon.
Dua bocah penjemput tadi, tak banyak bicara di dalam mobil. Entah grogi, entah malu, entah takut, entah pendiam, entah belum mandi dan gosok gigi sehingga takut beresiko menimbulkan bau tak sedap ketika berbicara.
“Elu LO-nya Seringai?” tanya Arian pada si perempuan.
Yang ditanya, terbata-bata. Kebingungan tak tahu harus menjawab apa.
Tak berapa lama, si lelaki malah menjawab, “Errr, kayaknya gua deh, LO-nya.”
“Mau ke venue langsung atau ke hotel dulu?” tanya si lelaki.
“Enaknya kalian aja deh gimana,” jawab Arian.
“Kalau ke hotel dulu, jauh tempatnya soalnya. Bolak balik. Terus, bis anak-anak juga udah mau nyampe Semarang. Mending langsung ke hotel,” kata si lelaki.
Kru serta band hardcore dari Depok, Paper Gangster—yang entah kenapa diberi nama itu, mungkin mereka mafia kertas atau punya usaha sampingan tukang foto kopian—menempuh perjalanan darat dengan bis berukuran ¾, yang terisi penuh oleh alat-alat, satu band plus kru, satu tim kru, serta panitia penjemput yang ikut menjemput ke Jakarta, sehingga membuat kondisi bus sangat penuh sesak.
“Soundcheck jam berapa?” tanya Arian.
“Jam sepuluh,”
Jam digital di mobil, menunjukkan pukul setengah sembilan.
“Sekarang masih diberesin kabelnya,” kata si lelaki, “tapi bis kru udah mau deket, jadi nanti kita tunggu mereka di Simpang Lima, terus langsung bareng ke venue. Nunggu di sana aja.”
“Oke. Nggak apa-apa,” kata Arian.
Beberapa menit kemudian, si perempuan bicara, “Jadi gimana? Mau ke hotel aja dulu, istirahat di sana?”
Dan si lelaki pun langsung mengemudikan mobilnya menuju hotel. Tak jadi menunggu bis rombongan di Simpang Lima.
***
Hotel itu bernama Hotel Srondol Indah, letaknya ada di dataran yang lebih tinggi di Semarang. Sponsor utamanya sepertinya Indo Teh, karena terpampang di depan hotel, juga jadi minuman hadiah penyambut tamu. Dari desainnya, sepertinya hotel itu sudah tak mengalami renovasi sejak tahun ’80-an. Tapi, jika benar hotel itu dibangun sejak tahun ’80-an, maka hotel itu visioner sekali. Karena tamu hotel punya garasi sendiri—lengkap dengan rolling door. Desainnya mirip rumah petak. Ada beranda, satu kamar tidur, satu kamar mandi, dengan garasi di sebelahnya, yang punya akses langsung ke kamar. Siapapun yang tak ingin terlihat ada di sana, dengan mudah sekali menyembunyikan keberadaannya.
Nama Srondol tak seindah bunyinya. Entah siapa penemu nama itu. Entah siapa juga yang memilih nama Hotel Srondol Indah sebagai nama. Pertama, kata Srondol tak terdengar indah. Kedua, hotel itu sudah tak lagi indah.
Tapi yang paling menarik tentu kata Srondol. Karena sepertinya konotasinya negatif jika dimasukkan ke dalam kalimat seperti misalnya “Direktur itu sedang menyrondol sekretarisnya”. Apalagi dengan kondisi hotel yang mencurigakan untuk dijadikan tempat cucus seperti itu.
Dan kamu bisa berkreasi dengan segala kemungkinan kata yang berasal dari kata Srondol: srondolisasi, srondoloyo, hingga Edo Srondologit. Saya lupa yang lainnya, tapi kemarin sepertinya lebih banyak variasinya.
Rombongan kru datang kira-kira setengah jam kemudian. Awalnya, mereka dan Paper Gangster akan ditempatkan di hotel depan Hotel Srondol Indah. Hotel bernama Setiabudi, dengan papan nama DIJUAL di depannya. Setelah protes, barulah panitia sadar bahwa keputusan menempatkan kru dan Paper Gangster di shitty hotel bukanlah keputusan bijak.
Mungkin karena masih bocah. Mungkin juga karena dasarnya kurang pengalaman. Mungkin juga karena memang pada dasarnya belum tahu yang baik dan benar, panitia hampir tak terlihat sepanjang hari. Setelah kami dijemput, dua penjemput entah ke mana. Bahkan ketika kami pulang dari soundcheck, tak seorang pun panitia yang mengantarkan kami ke hotel. Padahal, tak seorang pun tahu jalan pulang. Untung seorang pemuda lokal kawan kami kebetulan berkunjung ke sana dan menjadi juru selamat kami dari tersesat.
Entah apa nama event organizernya. Tapi yang jelas, di papan nama panitia, terlihat tulisan “We Are Teenage Hero”. Mungkin itu namanya. Selain Seringai dan Paper Gangster, ada sekitar dua puluh band yang tampil sore itu di Taman Budaya Raden Saleh.
Yang lebih gawat lagi, menjelang manggung honor belum juga tuntas dibayarkan. Padahal, mereka sudah diberi dispensasi untuk melunasi pembayaran setelah soundcheck. Beberapa menit sebelum manggung, barulah Dawo menerima pembayaran dalam bentuk uang tunai dengan pecahan sepuluh ribu rupiah. Untung, penontonnya cukup antusias. Meskipun jumlah mereka tak terlalu banyak, jika melihat betapa lengangnya ruangan itu.
Usai manggung, pukul satu pagi, kami langsung bertolak ke Jogja untuk konser dalam rangka road show Java Rockinland. Dan saya tak punya kesempatan melewatkan satu malam di Srondol.
***
Hotel Santika Jogjakarta jadinya terlihat sangaaat mewah jika dibandingkan Hotel Srondol Indah. Handuk untuk kesetnya saja, jauh lebih tebal dan bersih jika dibandingkan handuk Hotel Srondol Indah yang sangat tipis dan kasar di kulit. Dan tentu saja, event organizer-nya jadi terasa sekali beberapa tingkat jauh di atas kelas event organizer bocah-bocah sebelumnya. Pukul empat pagi, kami disambut paket McD. Di Srondol, bahkan nasi bungkus pun tak menyambut makan siang kami.
Pukul empat pagi kami tiba di Santika. Mengherankan. Tak ada penjagaan di depan hotel. Siapapun bisa masuk hotel dengan leluasa. Bahkan kami yang membawa banyak sekali barang, bisa dengan leluasa masuk. Untung saja, hotel itu bernuansa lokal Jogja bukan bernuansa Amerika, karena kalau tidak, kemungkinan fanatik sayap kanan yang merasa akan masuk surga dengan meledakkan dirinya dan mati sebagai syuhada sudah menjadikan Hotel Santika sasaran yang mudah.
Seringai tampil bersama Gribs, The Brandals dan Netral. Gribs adalah akronim dari Gondrong Kribo Bersaudara. Dari namanya bisa ditebak seperti apa penampilan mereka. Musik yang dimainkan, glam rock. Lengkap dengan lengkingan vokal dengan nada-nada tinggi. Mengingatkan pada Seurieus hanya saja dengan format yang serius tanpa sisi humoris.
“Sudah sebulan ini kami tampil bersama drummer Ade dari Killed By Butterfly,” kata Arian ketika akhirnya Seringai tampil setelah Gribs, Sabtu 1 Agustus 2009, yang juga hari Arian menjadi tiga puluh lima tahun. “Drummer kami, Khemod tak bisa maen karena jarinya patah. Dia berkelahi dengan supir angkot.”
Penonton berteriak dengan meriah. Mendengar nada Arian yang berbicara dengan penuh rasa bangga ketika menerangkan drummer Seringai berkelahi dengan supir angkot, penonton ikut terbakar rasa bangganya. Mereka bertepuk tangan.
“Tapi kalah,” kata Arian sambil tertawa.
Penonton ikut tertawa, dan bertepuk tangan sekali lagi.
Kira-kira sepuluh ribu orang memadati Taman Parkir Abu Bakar Ali yang terletak tak jauh dari Malioboro. Mereka tak banyak bergerak. Ketika Gribs tampil malah lebih banyak yang terdiam. Ketika Seringai naik, responnya lebih baik. Tapi, ketika The Brandals tampil setelah Seringai, penonton kembali lesu. Baru ketika Netral tampil sebagai penutup, respon paling meriah diberikan. Mereka ikut menyanyikan lagu-lagu yang dibawakan Netral.
Sebelum Netral selesai, saya sudah pulang bersama rombongan ke Hotel Santika yang nyaman. Kasur empuk, AC dingin, TV kabel, dan handuk tebal nan putih menyambut saya di sana.