Peaches di IndoChine
Rudolf Dethu bilang, Peaches itu “Electroclashed Wendy O Williams.” Dia ada benarnya. Penyanyi bernama asli Merrill Nisker itu di panggung memang ugal-ugalan dengan pakaian yang minim. Pakaiannya, ala gymnastic [yang membiarkan pahanya terekspos dan hanya ditutupi oleh fishnet], tipikal yang akan membuat seorang perempuan terlihat seksi–biasanya kan begitu, Beyonce memakai pakaian model begitu terlihat seksi. Lady Gaga juga. Rihanna juga. Tapi, tidak dengan Peaches.
Saya kira, saya akan mendapat sensasi yang mirip seperti sensasi melihat Beyonce, atau Lady Gaga atau Rihanna. Tapi Peaches malah sedikit agak menyeramkan. Seperti mbak2 bule yang galak dan kental dengan nuansa maskulin. Rambutnya mullet, ketika dia bernyanyi selalu menyeringai. Sepertinya Peaches tipikal perempuan yang kalau dicolek mamang-mamang di pinggir jalan, akan menghardik balik mamang-mamang itu.
Jumat, 16 April 2010, atau lebih tepatnya, Sabtu 17 April 2010 pukul satu pagi, saya melihat langsung Peaches dari dekat. Kira-kira lagu kedua saya baru datang ke IndoChine [mendengar IndoChine jadi ingat bahasa gaul Cyiiin, mungkin club itu cocok buat mereka yang update pergaulan dan dibacanya Indo Cyyiiiiiin], FX Entertainment Xenter, Jakarta. Para penonton yang rata-rata perempuan sedang berteriak-teriak mengikuti nyanyian Peaches yang memakai baju bergambar tangan besar dan jari tengahnya menunjuk ke arah vagina.”Gawat sekali ini perempuan,” pikir saya.
Dan begitu melihat ekspresi wajahnya yang galak serta bulu ketiaknya yang sedikit dibiarkan tak tercukur rapi walau belum selevel Eva Arnaz di ’80-an, harapan akan melihat perempuan seksi seperti Beyonce atau Lady Gaga atau Rihanna buyar sudah. Ini mah punk rock galak.
Tapi, penonton konser itu justru terlihat sangat menarik. Banyak perempuan asing berwajah cantik dengan postur tubuh ideal. Wajah-wajah yang belum pernah saya lihat di konser musik seperti biasanya, walaupun memang ada beberapa wajah yang familiar, tapi selebihnya, ini crowd yang berbeda. Mungkin crowd segmen club mainstream, club yang katanya birnya lebih mahal dari bir The Rock Cafe yang 45 ribu itu, karena bir IndoChine seingat saya 70 ribu. Meskipun saya bukan peminum bir, saya berempati terhadap mereka yang ingin beli bir tapi mendapati bahwa harganya mahal.
Peaches bermain selama kira-kira satu jam lebih. Sepanjang itu pula, para perempuan yang ada di depan, bernyanyi gila-gilaan. Malam itu adalah perayaan Girl Power dan Peaches sebagai Ratunya.
Ini ada video ketika dia membawakan lagu yang tempo lambat, karena kalau saya merekam video di tempo cepat, para penonton akan gila-gilaan dan mengkhawatirkan kamera Nokia X6 Comes With Music saya yang baru dan saya gunakan untuk merekam video ini, takut terjatuh tersenggol mereka yang histeris malam itu. 😀
Silakan lihat versi lain tulisan saya untuk Rolling Stone Online:
0 Comments