London memanggil, dan saya menjawab. Ini kisahnya.
Oke, yang belum membaca latar belakang saya ke London ada baiknya membaca dulu di blog saya yang ini:
http://solehsolihun.multiply.com/journal/item/131/London_Saya_Datang?replies_read=25
Minggu malam, 20 Maret 2011, saya berangkat naik Emirates. Atau lebih tepatnya, lewat tengah malam, Senin 21 Maret 2011. Jakarta – Dubai memakan waktu delapan jam di udara. Meskipun terbang dengan kelas ekonomi, suasana di pesawat jauh lebih nyaman dibandingkan dengan pesawat domestik—kalaupun ada guncangan, tak terlalu membuat jantung berdebar. Lalu soal makanan dan minumannya, jangan tanya. Semuanya lezat. Apalagi pilotnya berbicara dalam bahasa Arab. Ah meskipun dia hanya menerangkan info penerbangan, rasanya seperti sedang dibacakan doa. Haha.
Menjelang pukul lima pagi waktu setempat, saya tiba di Dubai.
Bandaranya besar dan keren. Berbeda sekali dengan bandara Soekarno – Hatta. Dubai sepertinya kaya karena minyak, padahal kalau dipikir-pikir, Indonesia pun penghasil minyak yang besar, tapi tak bisa sekaya Dubai. Yang membuat saya takjub, adalah lift yang mengangkat penumpang ke ruang tunggu. Ukurannya besar, dan dengan latar belakang suara seperti di film-film futuristik: banyak bunyi mesin yang seperti suara mesin robot. Selain suasana bandara yang keren, bersih dan nyaman, keunggulan Dubai adalah toiletnya menyediakan semprotan air! Bahkan, setiap bilik toilet selalu dipastikan bersih terlebih dahulu sebelum dimasuki orang. Petugas toiletnya cukup galak untuk urusan ini: semua bilik harus dia periksa dulu sebelum bisa dimasuki orang. Kalau belum bersih, dia tak segan berteriak kepada orang yang akan masuk. Saya melihat dua orang mas-mas dari Indonesia, yang berpeci putih bercelana ngatung tipikal pemuda mesjid tiba-tiba menerobos masuk toilet, padahal si petugas toilet sudah mewanti-wanti untuk menunggu. Entah si pemuda mesjid itu tak sabar, entah tak paham maksudnya, entah memang tak ingin mematuhi. Tapi melihat kejadian itu, saya jadi ikut sebal: kenapa orang Indonesia tak sabar? Padahal, orang-orang sebelumnya juga mau menunggu.
Dubai – London, harus ditempuh kira-kira lebih dari tujuh jam.
Menjelang mendarat di Heathrow Airport di London, saya sengaja memutar lagu “London Calling” dari The Clash supaya menambah dramatis suasana psikologis. Ternyata, Emirates memasukkan album London Calling sebagai salah satu dari Essential Albums di daftar hiburan mereka. Wah, begitu melihat atap bangunan di London, jantung saya berdebar! No hoax! Akhirnya tiba juga! London, saya menjawab panggilanmu!
London sedang cerah ketika saya tiba di sana.
Matahari bersinar dengan cukup terik, berbeda sekali dengan yang saya baca di internet sebelum pergi ke sini: katanya matahari jarang muncul di London, dan cuaca bisa sangat tak terduga, harus selalu bawa payung dan jas hujan untuk jaga-jaga. Semua tulisan tentang betapa cuaca London bisa tak bersahabat, tak saya temui di saat pertama datang.
Seorang supir menunggu kami di pintu kedatangan. Dia memakai jas, seperti sopir bus Transjakarta lah kalau di Jakarta mah. Hehe.
Kamen namanya. Entah bagaimana ngeja namanya, tapi diucapkannya seperti itu, seperti orang mengucapkan kata ‘common’ dalam bahasa Inggris. Dia orang Bulgaria, dan kaget ketika saya bilang pernah mendengar nama Bulgaria. “Di film-film,” kata saya ketika dia tanya, “biasanya di film-film mata-mata, atau jadi gengster.” Sekenanya saja saya bilang. Sejujurnya, saya juga tak yakin apakah di film mata-mata pernah dibahas negara Bulgaria. Tapi Kamen mengangguk-angguk tanda sepakat bahwa di film Hollywood, seringkali orang Bulgaria digambarkan sebagai gengster atau mafia.
Saya dijemput dengan sedan mewah bermerk Mercedes Benz.
Ini kali pertama saya naik Mercy berbentuk sedan, biasanya kalau naik Mercy pasti rodanya banyak dan badannya besar sekali alias bus kota. Kamen lantas bicara soal betapa kerasnya hidup di London: biaya hidup tinggi, persaingan begitu ketat. Meski begitu, banyak orang yang datang ke London demi kesempatan yang lebih baik. Kamen datang ke London, demi pendidikan yang baik untuk anaknya. Saya lupa bertanya berapa anaknya.
Setelah kira-kira satu jam perjalanan dari bandara, saya tiba di hotel.
Copthorne Tara Hotel ada di High Street Kensington. Lokasi yang cukup strategis, karena hanya berjalan kaki kurang dari lima menit, saya sudah tiba di kawasan pertokoan dan stasiun High Street. Segala macam toko ada di sana, kecuali toko CD. Sayang sekali, padahal saya ingin menengok koleksi toko CD di sana.
Kamar hotel saya, 481. Ada di lantai 4, di ujung lorong. Kamarnya nyaman, hanya sayang, pilihan saluran TV-nya tak terlalu oke. Kalau mau menonton film yang bagus, hotel menyediakan biaya tambahan. Mereka bahkan menyediakan saluran film dewasa alias XXX alias bokep! Tapi saya tak mengeluh, toh ke London jauh-jauh bukan untuk santai di kamar dan nonton TV. Dibayari Coca Cola ke London saja sudah syukur alhamdulillah. Oya, pemandangan di luar kamar, adalah rel kereta api serta sebuah gedung entah gedung apa. Dan yang saya kuatirkan ternyata terjadi saudara-saudara: toiletnya tak menyediakan semprotan air. Akibatnya, setelah diusap pakai tissue dan memastikan tak ada lagi warna kuning di tissue, saya bergerak ke bath tub dan membilasnya dengan pancuran air. Hehe.
London mengingatkan saya pada Melbourne. Bangunannya, khususnya orang-orangnya: cara mereka berpakaian mirip, dan banyak perempuan cantik berdandan keren.
Hari 1, Senin 24 Maret 2011: Makan malam dan bertemu beberapa bloggers luar negeri.
Sebelum sesi makan malam, kami diajak ke sebuah bar bernama Hoxton Square Bar & Kitchen di mana One Night Only tampil. Mereka adalah band yang juga dikontrak kerjasama dengan Coca Cola. Memainkan musik alternatif yang ternyata membuat puluhan perempuan menjerit. Para perempuan yang datang menonton konser malam itu, sebagian besar terlihat cantik dan berdandan dengan menarik. Konser dibuka oleh MC seorang bapak-bapak memakai jas, tanpa basa-basi tanpa ada sesi bagi-bagi merchandise atau kuis dari sponsor. Lantas, setelah setengah jam, One Night Only selesai manggung. Kami pun menuju ke restoran. Menu makan malamnya, tak terlalu menarik buat lidah saya yang Indonesia banget. Hehe. Untung masih ada nasi dan ayam kari yang mau tak mau harus dilahap daripada masuk angin dan kepala keleyeng-keleyeng karena pusing.
Hari 2, Selasa 23 Maret 2011: Melihat Maroon 5 di London Studio.
Oke sekali lagi saya terangkan soal event ini. Coca Cola meminta Maroon 5 membuatkan lagu untuk mereka dalam waktu 24 jam. Bloggers serta jurnalis diundang dari seluruh dunia untuk menyaksikan event ini. Ada juga live streaming via www.coca-cola.com. Plus, interaksi antara penggemar lewat twitter. Nah, saya diundang ke sana atas nama pribadi, bukan sebagai jurnalis, melainkan sebagai blogger [cieee ka marana atuh blogger?]. Di sesi pembuka, perwakilan Coca Cola menerangkan visi misi mereka. Menurut mbak-mbak yang menerangkan, faktor utama Coca Cola bisa bertahan lebih dari 125 tahun dan dekat dengan anak muda adalah karena mereka mengerti anak muda. Nah, salah satu passion anak muda adalah musik, karena itulah Coca Cola menggelar 24 Hour Session Maroon 5 ini.
Untuk info soal hari 1, silakan baca di blog saya sebelum ini:
http://solehsolihun.multiply.com/journal/item/132
Seharusnya, saya dan Endah serta blogger dari Mesir, mendapat jatah wawancara alias meet and greet dengan Maroon 5, jam satu pagi. Tapi karena lelah, jadwal wawancara dibatalkan. Oya, di hari kedua ini, saya dan Endah menyempatkan pergi ke Hyde Park yang legendaris, tempat The Rolling Stones menggelar konser gratis setelah kematian mantan pemain gitar mereka Brian Jones. Hyde Park berjarak kurang lebih setengah jam dari hotel, dan bisa ditempuh dengan mudah lewat kereta api atau bis kota. Oyster, alias kartu untuk naik bis dan kereta, bisa dibeli di stasiun dan petugasnya pasti akan menerangkan kepada kita berapa banyak yang harus kita beli untuk perjalanan yang kita inginkan.
Jalur kereta apinya tak rumit. Saya yang baru pertama kali datang ke London, bisa dengan mudah mempelajarinya. Jadi, bertanya pada orang ditambah peta jalur kereta, maka mudahlah perjalanan Anda. Soal jadwal, dengan jelas Anda bisa melihat kapan kereta datang sehingga lagu Iwan Fals yang “Kereta Tiba Pukul Berapa” akan sangat tak cocok untuk kondisi di sana.
Di kereta, penampakannya adalah orang-orang berangkat kerja, lengkap dengan jas dan baju kerjanya, membaca koran atau buku. Ternyata di pintu stasiun, dibagikan koran gratis sehingga orang-orang mendapat berita baru setiap pagi tanpa harus mampir ke newsstand yang ada.
Hari 3, Rabu 24 Maret 2011.
Setengah tujuh pagi saya dan Endah sudah berangkat dari hotel untuk menuju Abbey Road yang legendaris itu. Rasanya belum lengkap, ke London tanpa mengunjungi Abbey Road yang ternyata kurang dari setengah jam sudah bisa ditempuh dari hotel kami dengan kereta. Zebra cross di Abbey Road yang dipakai oleh The Beatles untuk sampul album dan ditiru banyak orang, ternyata zebra cross biasa, yang dilewati orang-orang setiap hari. Konon, sudah banyak orang yang tertabrak gara-gara berfoto di sana. Maklum, zebra cross itu ada di ujung persimpangan jalan di mana kendaraan melintas dengan kencang. Bagusnya, ketika saya tiba di sana, belum jam delapan pagi sehingga lalu lintas belum terlalu ramai. Tapi ironisnya, ketika kami bercerita soal betapa girangnya kami ke Abbey Road, ada salah seorang dari para undangan itu yang tak tahu apa itu Abbey Road, padahal dia penyanyi di negeri asalnya.
Di London Studio, siang harinya beberapa bloggers diajak untuk terlibat dalam sesi rekaman. Bukan untuk bernyanyi atau bermain musik, tapi untuk bertepuk tangan. Kelompok pertama: orang Indonesia, Jepang, Singapura, dan Thailand. Entah disengaja atau tidak, tapi kelompok itu terdiri dari orang-orang Asia. Kami merekam tepuk tangan dipandu semua personel Maroon 5 kecuali Adam Levine yang entah ada di mana siang itu. Beres sesi rekaman, kami diberi kesempatan wawancara dengan pemain bass Mickey Madden dan pemain gitar James Valentine. Silakan lihat videonya di sini:
Sesi ditutup dengan quick meet and greet alias foto bareng dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Saking singkatnya bahkan kami tak diijinkan memakai kamera sendiri, melainkan memakai kamera fotografer resmi mereka yang katanya akan dikirim tapi belum dikirim juga. Oya, sebelumnya Maroon 5 memainkan lagu “Sunday Morning” di dalam studio dan disiarkan langsung lewat situs Coca Cola dan disaksikan kami lewat layar kaca yang tersedia di Coca Cola Cafe alias tempat bloggers berkumpul.
Hari 4, Kamis 25 Maret 2011.
Hari terakhir saya gunakan untuk datang ke Camden Street, tempat yang katanya populer untuk belanja. Sayang sekali, waktu saya hanya lima belas menit di sana. Karena saya tiba di sana hampir jam dua belas, sedangkan jam satu siang saya harus sudah check out dari hotel. Dengan bis, jarak dari hotel ke Camden Street, kira-kira 45 menit. Jalanan London tak terlalu besar, tapi tak banyak kendaraan di jalan sehingga kalaupun macet, itu karena antrian yang biasa bukan karena antrian gila-gilaan kendaraan. Orang-orang banyak yang menggunakan kendaraan umum atau sepeda [banyak sepeda di sana tapi sepertinya semua memakai rem alias tak ada yang fixie. ;p]. Camden berisi banyak pertokoan, dan yang lebih menariknya adalah pasar yang jika diibaratkan di Bandung seperti Pasar Gede Bage alias barang bekas tapi berkualitas, hanya saja yang menjualnya di Camden adalah bule, atau bule yang tak cebok pakai air lebih tepatnya. Kalau berkunjung lagi ke London, saya pasti akan menghabiskan waktu lebih lama di sana.
Perjalanan pulang ke bandara, saya juga diantar oleh Mercy dengan supir yang memakai jas. Endah pulang lebih dulu karena harus manggung hari Jumat, daripada was-was tak terkejar waktunya jika pesawat telat berangkat. George nama supirnya. Orang London asli, tapi keturunan Yunani. Dia cerita soal supir taksi di London yang penghasilannya bisa 1000 poundsterling seminggu—maklum, taksi di London sangat mahal, perjalanan setengah jam saja bisa menghabiskan uang 65 poundsterling alias hampir 900 ribu rupiah. Dia punya teman yang supir taksi. Kerjanya hanya dua minggu di London, lalu berlibur ke Spanyol dan menghabiskan uang lalu balik lagi. Tapi sebelum menjadi supir taksi, orang harus menghapalkan 333 jalur dari kira-kira 1000 jalur di London. “That’s why our drivers are the best in the world!” kata George soal supir taksi di London. George bukan supir taksi, dia hanya melayani pesanan dari perusahaan.
George cerita soal 2,5 juta penganggur di London yang diberi uang oleh pemerintah. “Sistem kami buruk,” katanya dengan nada kecewa, “di satu sisi beberapa dari kami kerja keras, tapi ada juga yang bermalas-malasan dan mendapat uang dari pemerintah. Tapi kami sedang mencoba memerbaiki sistem itu.” Kata George, banyak juga perempuan di Inggris yang memilih jadi single parent alias hamil dan punya anak tapi tanpa ayah, demi mendapat tunjangan dari pemerintah. Baik George maupun Kamen, semuanya punya pendapat sama: hidup di London itu keras.
Tapi meskipun keras, saya ingin balik lagi ke London suatu hari nanti. Belum sempat mengikuti tur yang ada di sana. Ada tur seharga 8 poundsterling yang menyediakan paket tur The Beatles, hingga paket tur Rock n’ Roll alias berkunjung ke tempat-tempat penting dalam sejarah musik di Inggris! Pastikan Anda ikut tur itu, silakan google saja.
Oya, tips, buat yang ingin berlibur ke London dan masih bisa update di Twitter atau mengirim SMS ke Indonesia. Datang saja ke toko SIM Card dan beli di sana. Mudah dan lebih murah jika dibandingkan Anda harus membayar biaya roaming provider Anda.
Maka kembalilah saya ke Jakarta dengan Emirates. Di Dubai, isi penumpangnya sebagian besar orang Indonesia: campuran antara TKI dan mereka yang sepertinya pulang umrah. Di pesawat, bapak-bapak tiba-tiba menduduki kursi saya yang letaknya sudah enak bagi saya: di lorong. Si bapak, tanpa permisi tiba-tiba duduk.
“Saya punya penyakit suka sering kencing,” kata si bapak, tanpa bilang maaf atau minta ijin terlebih dahulu mengambil tempat duduk orang. Istrinya mendukung ucapan si bapak. Selama perjalanan, saya hitung cuma dua kali dia pergi ke toilet. Akhirnya, sebagai balasan karena kesal kursi saya diambil begitu saja, ketika mereka terlelap, saya bangunkan dan minta ijin untuk ke toilet. Haha.
NB: London adalah salah satu kota yang ingin saya kunjungi, selain Mekkah untuk naik haji, New York karena banyak band punk besar di sana, dan Yunani karena pacara saya ingin sekali ke sana. Ini berarti, satu impian telah terwujud. Terima kasih Tuhan. Terima kasih Coca Cola.
Sampai jumpa lagi London.