Halo Blogspot, saya punya kabar terbaru.
Entah ini kabar baik atau kabar buruk. Tergantung dari sisi mana kita memandang. Hari ini adalah hari terakhir saya bekerja di Rolling Stone Indonesia, setelah lebih dari tiga tahun bekerja di sana [sejak Mei 2008 tepatnya].
Hmm, dari mana mulainya ya.
Sudah beberapa bulan atau hampir setahun terakhir ini, saya sibuk dengan pekerjaan sampingan sebagai penyiar dan MC. Sejak Agustus tahun terakhir malah sibuk menjadi stand up comedian. Nah, akhirnya tiba juga saya pada momen harus memilih antara tetap di kantor atau sibuk di luar kantor. Sebenarnya tak memilih juga sih, karena memang saya tak diberi pilihan, melainkan langsung dihadapkan pada situasi untuk meninggalkan kantor.
Menjadi jurnalis di Rolling Stone [ingat ya, Rolling Stone, tanpa S, bukan Rolling Stones karena itu adalah nama band Mick Jagger dkk. Maaf mengoreksi, orang sering salah menulis soalnya.] adalah salah satu pekerjaan impian saya. Bahkan sebelum majalah ini terbit di Indonesia, saya sudah memimpikannya. Saat itu sih, saya tak pernah berpikir bahwa mimpi ini akan jadi kenyataan suatu hari nanti. Salah satu faktornya ya, waktu itu saya tak mengira bakal ada orang yang mau mengeluarkan uang begitu banyak untuk membayar lisensi majalah ini. Apalagi majalah musik punya catatan buruk, karena sebagian besar majalah musik tak mencapai umur sepuluh tahun, rata-rata malah berumur hanya lima tahun.
Tapi ternyata mimpi itu terwujud. Mungkin benar pepatah atau apalah itu yang bilang, jika kamu bisa memimpikannya, maka kamu bisa mewujudkannya. Meskipun sampai sekarang saya bermimpi ingin bisa terbang seperti Superman tapi belum terwujud juga. Haha.
Terlalu banyak kenangan manis yang bisa ditulis di sini. Singkatnya begini deh: bekerja di Rolling Stone itu adalah saya rasa mimpi sebagian besar pecinta musik yang juga ingin jadi jurnalis. Saya dibayar untuk melakukan pekerjaan yang saya suka di institusi bergengsi. Dibayar untuk mendengarkan musik, menonton konser, ngobrol dengan musisi, dan menuliskan itu semua. Selain jadi musisi yang laris manis, tentu saja itu menempati urutan kedua dalam konteks pecinta musik. Hehe.
Oke, sekarang mari kita bicara mimpi saya berikutnya.
Saya selalu ingin menerbitkan buku. Memang, saya sudah punya dua buku. Yang satu adalah biografi tentang Michael Jackson berjudul The King Is Dead. Ini sebenarnya hanya terjemahan dari kumpulan tulisan tentang Jacko dari berbagai sumber dan dua buku. Saya menerima job ini murni karena uang. Apalagi waktu itu sedang dalam proses butuh uang muka buat menyicil rumah. Akhirnya, buku ini dikerjakan dalam waktu dua minggu! Heran juga dengan hasilnya. Mungkin juga karena waktu itu belum punya akun twitter, jadi lebih bisa fokus ya. Haha.
Buku kedua adalah novel adaptasi dari film Generasi Biru karya Garin Nugroho. Ini film dengan bintang utama Slank. Filmnya tak disukai banyak orang, karena aneh. Tapi saya suka, karena di film ini, Garin membuat Slank menari sesuai koreografi. Dan ekspektasi saya terhadap film Garin memang sudah pasti pusing, jadi ya sudahlah, saya siap dengan kenyataan bahwa film itu membuat kening berkerut.
Saya tak puas dengan dua buku itu, karena bukan murni karya saya. Makanya, sekarang saya sedang menyusun dua buku. Satu novel yang berdasarkan kehidupan saya sebagai jurnalis selama tujuh tahun. Satu lagi biografi band hardcore legendaris dari Bandung.
Selain jadi penulis buku, saya juga ingin punya acara bincang bincang di televisi. Saya rasa dengan kemampuan saya mewawancara dan sedikit cita rasa humor, saya bisa jadi pembawa acara yang baik. Yah mudah-mudahan ada petinggi televisi yang membaca ini.
Ya sudahlah, segitu saja dulu.
10.50 WIB
Jakarta, Jumat, 13 Januari 2011.
Dari meja kerja saya di lantai 3, kantor Rolling Stone Indonesia.