Sepuluh Hari di London Oh London
Tagihan kartu kredit baru datang, jadi ingat juga saya punya hutang menulis soal cerita jalan-jalan kemarin di London. Hehe.
Buat yang sudah baca tulisan sebelumnya, pasti tahu dong, saya jalan-jalan ke London selama bulan puasa kemarin. Sepuluh hari. Saya dan Tetta berangkat naik Garuda Indonesia, yang mendapat predikat lima bintang dari Sky Trax—organisasi independen pemberi peringkat pada maskapai penerbangan di seluruh dunia.
Selasa, 23 Juni 2015, jam sebelas malam pesawat kami lepas landas. Sepertinya kalau perjalanan ke luar negeri yang lebih dari lima jam, selalu berangkat malam. Kalau data ini salah, maafkan saya, jam terbang saya keluar negeri masih sedikit. Hehe. Tapi enaknya berangkat malam, ya begitu duduk di pesawat, tak sulit untuk bisa tertidur. Tentu saja setelah makan malam disantap. Hehe. Sayang kalau tidak dinikmati, rejeki jangan ditolak. Apalagi perut lapar.
Dan salah satu kenikmatan naik Garuda Indonesia keluar negeri adalah, kalau mau minta apa-apa ke pramugari, lebih nyaman. Beda kalau harus minta sesuatu ke pramugari di maskapai asing yang tak ada yang bisa berbahasa Indonesia. Berhubung English saya Sundanglish alias speak English with Sundanese accent dengan grammar yang sering berantakan, kalau harus berkomunikasi dengan bule, pasti butuh energi lebih. Apalagi ke bule cewek. Rasanya dua kali lebih intimidatif. Makanya, ketika bilang ke pramugari bahwa saya puasa dan nanti tolong dibangunkan kalau tiba waktunya buat sahur, jadi jatah sarapan saya diganti ke makan sahur saja, itu lebih mudah. Bahasa Inggrisnya sahur dan imsak saja, saya belum tahu. Hahaha.
Saya tak tahu bagaimana kru pesawat menghitung waktu sahur di pesawat, yang jelas pas. Sebelum kami mendarat di Amsterdam untuk transit, kami sempat sahur. Entah mengikuti waktu sahur di dunia belahan mana. Kalau memikirkan itu, masih pusing saya. Haha. Pokoknya, pas lah. Sebelum imsak, kami sudah makan sahur.
Garuda Indonesia dari Jakarta ke Gatwick, London, transit dulu di bandara Schipol, Belanda. Saya lupa, kira-kira tiga belas jam lah kami di pesawat sebelum transit. Tak lama, hanya sejam. Itu pun kami disuruh turun dari pesawat karena pesawatnya mau dibersihkan. Lumayan lah, bisa jalan-jalan sebentar melihat bandara Schipol dan beli gantungan kunci serta magnet kulkas yang ada tulisan Netherlands nya.
Rabu, 24 Juni 2015, jam sepuluh pagi waktu London, kami tiba di bandara Gatwick. Bandara ini tak sebesar bandara lainnya di London: Heathrow, tapi tetap saja lebih bagus dari bandara Soekarno – Hatta. Hehe. Menurut petunjuk Robin Malau dari Konserama yang membantu mengatur perjalanan kami selama di London, kami membeli tiket Gatwick Express di bandara. Ini adalah kereta dari bandara Gatwick ke stasiun Victoria di London. Buat yang berencana pergi ke London dan mendarat di Gatwick, kalau mau beli tiket Gatwick Express, mending langsung beli tiket yang pulang pergi. Jadi kalau Anda pulang dari London ke Gatwick, tak perlu repot mengantri lagi untuk membeli tiket. Yah siapa tahu pas Anda pulang, antrian sedang panjang dan Anda buru-buru.
Perjalanan dari Gatwick ke stasiun London Victoria, melewati pemandangan yang mengingatkan saya pada perjalanan naik kereta Bandung – Jakarta. Banyak pemandangan pohon dan bukit.
Menjelang jam dua siang, kami tiba di Clink 78 Hostel di kawasan King’s Cross. Ini hotel buat backpacker, tapi ada kamar yang isinya seranjang buat berdua. Harganya lebih mahal dibandingkan kalau kita tidur di kamar yang isinya buat banyak orang. Meskipun terhitung murah untuk ukuran London, untuk ukuran Jakarta mah, itu mahal. Menginap lima malam di sana, biayanya kalau hitungan uang kita, lebih dari 9 juta rupiah. Bisa menginap di hotel berbintang banyak tuh kalau di Jakarta. Haha.
Clink 78 Hostel ini gedungnya cukup bersejarah. Pernah jadi court room, saya kurang tahu kalau bahasa Indonesianya apa, pengadilan mungkin ya. Di gedung itu, The Clash pernah disidang karena menembak merpati! Haha. Charles Dickens juga pernah tinggal di sana katanya selama beberapa waktu. Dan sebagian besar yang menginap di sana, anak muda usia 20 hingga 30 tahunan. Saya hanya melihat sedikit sekali orang tua yang kulitnya sudah keriput.
Clink 78 Hostel punya ruang makan di lantai paling bawah. Di sana ada meja bilyar, dapur, dan bar. Orang-orang bisa memasak masakannya sendiri, demi menghemat biaya. Di malam-malam tertentu, ada DJ yang tampil di ruang makan itu. Bukan DJ ajep-ajep yang memainkan lagu untuk dugem, yang mereka mainkan musik-musik alternatif. Lokasinya cukup strategis. Tak jauh dari stasiun King’s Cross dan St Pancras International Station. Ini adalah dua stasiun yang besar. Sepuluh menit jalan kaki dari sana, sudah sampai di hostel.
Hari 1
Setelah rebahan sebentar di kamar hostel kami yang berukuran kecil, kira-kira 2 x 3 meter dengan kamar mandi yang sempit alias hanya ada kloset duduk dan pancuran yang tak cukup buat berdua jadi tak bisa mandi bareng romantis, kami pergi ke The British Museum. Ini adalah museum di London yang katanya sih jadi lokasi syuting film Night at The Museum 3. Museum nya BESAR SEKALI, seperti juga museum lain yang kemudian kami kunjungi nanti. Maklum, beberapa museum di Indonesia yang pernah saya datangi tak sebesar ini. Melelahkan sekali mengelilingi museum yang koleksinya buanyak sekali dan tak sempat saya lihat semuanya. Artefak dari seluruh dunia, ada di sana. Tapi yang saya lihat hanya koleksi dari Yunani dan Mesir, karena itu yang paling sering saya lihat di televisi. Hehe. Yang keren sekaligus menyeramkan adalah koleksi mummy asli! Bukan replika bukan KW tapi asli. Katanya loh. Saya juga bakal tak tahu bedanya kalau itu palsu, selama mereka bilang itu asli. Dan ada mummy Cleopatra. Saya tak tahu ada berapa Cleopatra. Kalau Firaun kan, katanya ada banyak. Cleopatra yang saya lihat di museum itu, katanya umurnya baru 17 tahun saat dia meninggal. Badannya pendek. Tak lebih dari 160 cm. Kalau ini adalah Cleopatra yang sering diceritakan di film itu, berarti di usia yang masih muda itu, dia sudah menggonjang-ganjingkan dunia ya. Hebat.
Akhirnya, kaki pegal dan tutupnya museum jam 17.30 lah yang membuat saya harus ikhlas tak melihat seluruh koleksi museum.
Musim panas di London, artinya siangnya lebih lama. Waktu magrib saja, jam setengah sepuluh malam. Di satu sisi, enaknya karena buat orang yang solat dan repot mencari tempat solat, maka solat Dzuhur dan Ashar bisa dijamak dengan santai, tanpa harus kuatir waktu sudah habis. Pulang jam delapan malam saja, masih bisa solat Ashar. Di sisi lain, puasanya lebih lama. Imsyak jam setengah tiga pagi, artinya lama puasanya hampir sembilan belas jam. Saya bukan mau riya alias ingin dipuji ya, tapi ternyata puasa sembilan belas jam rasanya tak lebih berat dari puasa tiga belas jam di Jakarta. Entah karena hati senang sedang jalan-jalan keluar negeri. Entah karena cuacanya tak sepanas di Jakarta, meskipun sedang musim panas di London. Panasnya tak membuat saya berkeringat, meskipun saya berjalan kaki berjam-jam. Padahal di Jakarta, saya termasuk yang gampang berkeringat. Kalau keringat bisa dijual dan menghasilkan duit, saya sudah kaya raya. Haus sih haus, lapar sih lapar, ya namanya juga puasa. Tapi tak seperti yang saya kira, puasa sembilan belas jam akan sangat menyiksa. Tapi ya sama saja seperti puasa di Jakarta. Mungkin juga karena secara psikologis, meskipun magribnya jam setengah sepuluh malam, langitnya kan sama saja dengan magrib jam enam sore.
Soal menahan lapar dan dahaga sih, biasa saja lah, tak terlalu tergoda. Tapi menahan pandangan adalah godaan yang tak bisa saya kalahkan. Musim panas di luar negeri, artinya banyak perempuan memakai pakaian minim. Hot pants dan tank top adalah pemandangan biasa. Legging di mana-mana. Di Jakarta, yang biasanya berani memakai celana gemes ke jalan raya adalah cabe-cabean yang secara visual tak menarik, tapi di London, banyak cewek kece yang memakai celana gemes sehingga bener membuat gemes melihatnya, bukan gemes ingin bilang, “Woy udah dosa, gak enak dilihat pula!”
Hari 2
Kamis, 25 Juni 2015. Salah seorang kawan saya, Eric Sasono sedang menyelesaikan kuliah S3 di London, saya lupa jurusannya apa, kritik film atau apa lah. Yang jelas, berhubungan dengan film. Eric adalah kritikus film. Maka itu menjadikan dia dua orang kritikus film yang bakal bergelar s3. Satu lagi kritikus film dari Jakarta, Ekky Sumanjaya, juga sedang menyelesaikan kuliah S3 di UK. Eric mengambil part time job di radio BBC yang terkenal itu. Dia bekerja di divisi Indonesia nya. Saya mengunjungi Eric di kantornya di daerah Great Portland Street. Ada 8 lantai, dan tiap lantainya terasa menyenangkan secara visual. Kalau di Jakarta, tampilan kantornya seperti tampilan kantor biro iklan. Tak ada kubikal, warna-warna cat ruangan yang cerah, dan desain yang modern. Tipikal yang ditujukan untuk bikin betah pekerjanya.
Eric cerita sedikit soal kehidupan di London. Kata dia, issue yang sedang hangat saat ini adalah soal orang-orang kaya yang bukan asli London yang membangun ruang bawah tanah. Di London, untuk membangun rumah atau merenovasi rumah saja, ijinnya repot. Katanya, mengganti pintu saja, harus ada ijinnya. Apalagi mengubah desain bangunan. Makanya, gedung-gedung di London relatif sama bentuknya meskipun sudah puluhan tahun. Nah, untuk menyiasati itu, banyak orang kaya yang akhirnya membangun rumahnya ke bawah. Tak terlihat oleh pemerintah. Akhirnya, ada beberapa pohon yang tiba-tiba roboh karena tanahnya digali. Orang-orang kaya itu menyogok pejabat setempat supaya bisa melakukan itu. Korupsi juga ada di London, kata Eric, tapi tak terlalu terlihat dan tak terlalu mengganggu kehidupan masyarakat banyak.
Eric juga cerita soal sepak bola. Menonton pertandingan bola di London, bukanlah sesuatu yang mudah. Menonton langsung ke stadion, itu juga butuh perjuangan. Tiket selalu habis. Menonton di tv, pertandingan bola hanya disiarkan di tv kabel, yang katanya termasuk mahal biaya berlangganannya. Makanya, banyak orang pergi ke pub untuk menonton pertandingan bola. Eric pun hanya mampu menonton bola melalui streaming via internet. Jangan bahas soal apakah itu illegal atau tidak ya. Hehe.
Kata Eric juga, bioskop di Jakarta jauh lebih bagus dibandingkan bioskop di London. Bahkan, menurut dia, bioskop di Indonesia adalah yang paling bagus di seluruh dunia. Di Amerika saja, tak sebagus di Jakarta. Tentu saja kita bicara soal bioskop jaringan 21 dan Blitz Megaplex ya. Kata Eric, bukan cuma kursi bioskop yang tak bernomor, tapi tak sedikit juga, bioskop yang masih menyalakan lampunya ketika film diputar. Kalau di Indonesia kan, lampu menyala ketika masih iklan atau trailer saja.
Sejam di BBC, kami pergi ke Kings Cross Station. Di sana ada Platform 9 ¾. Buat yang pernah nonton film Harry Potter pasti tahu, itu adalah platform tempat murid-murid Hogwarts untuk naik kereta ke sekolahnya. Platform yang tak ada pintunya, tapi dindingnya bisa ditembus. Kalau di film, platform itu terletak di antara platform 9 dan 10, tapi di dunia nyata, itu terletak di antara toko dan kantor. Haha. Dinding dari bata lalu ada tulisan Platform 9 ¾ yang jadi salah satu atraksi turis. Orang-orang mengantri untuk berfoto di sana. Ada properti berupa trolley yang sudah setengah menembus dinding, dan burung hantu di atasnya.
Ada mas-mas dan mbak-mbak dari toko merchandise Harry Potter yang menjaga platform itu. Menjaga maksudnya, mengatur supaya orang mengantri dan memberi bantuan turis yang mau berfoto di sana. Foto di sana gratis. Beberapa kali mas nya berkata lewat pengeras suara bahwa itu bukan atraksi perangkap turis. Mereka membantu turis yang mau berfoto dengan kamera sendiri atau telepon genggamnya, tapi juga mengambil gambar dengan kamera digital mereka yang hasilnya bisa diambil di toko. Itu pun sukarela. Tak memaksa untuk mencetak foto.
Setelah Platform 9 ¾, tujuan berikutnya adalah Camden Market. Tempat dijualnya barang-barang seni, makanan, barang bekas, hingga barang bajakan. Tujuan utama saya ke sana sebenarnya bukan mau berbelanja. Melihat-lihat suasana sih hanya bonus. Yang utama adalah mengunjungi tangga tempat The Clash difoto untuk album pertama mereka. Agak susah menemukan tempatnya. Google pun tak menjelaskan lokasi tepatnya, atau saya yang payah dalam mencarinya di Google. Sempat bertanya ke seorang penjaga toko yang berdandan seperti anak punk: rambut Mohawk, celana ketat bermotif kotak-kotak, jaket kulit, yah pokoknya seperti Tim Armstrong dari Rancid. Eeh dia tak tahu soal foto itu. Dasar poser! Hahaha.
Toko-toko yang menjual aksesoris punk di Camden ternyata hanya jualan. Mereka tak tahu musiknya. Saya pikir, karena mereka menjual aksesoris punk, minimal tahu lah, bahwa di Camden, ada lokasi pemotretan untuk album pertama The Clash. Untung lah, ada toko piringan hitam yang ternyata bukan poser. Begitu saya tunjukkan foto tangganya, bahkan tanpa foto album pertama The Clash, mas penjaga langsung bilang, “Oh The Clash ya? Lewat sana, deket pub, tangganya ada di samping.”
Agak sedikit berbeda dari foto di album, kondisi tangganya. Mungkin ada sebagian tembok bagian atasnya yang sudah dihancurkan. Saya belum meneliti lagi, tapi yang jelas, kalau di album, personel The Clash terlihat lebih pendek dari dindingnya.
Perjalanan hari itu ditutup dengan kami menaiki perahu di sungai yang ada di Camden, yang saya lupa nama sungainya. Yah bukan Italia memang, tapi lumayan lah. Pas kaki pegal, pas ada yang menawarkan naik perahu, diiringi alunan gitar mas-mas yang sepertinya wajahnya bukan dari London.
Hari 3
Jumat, 26 Juni 2015. Ini tujuan utama saya ke London: nonton The Who di British Summer Time Festival 2015. Sehari sebelumnya ada Taylor Swift, tapi saya kehabisan tiket. Selama musim panas, banyak sekali band dan musisi kelas dunia yang menggelar konser di London. Ada The Strokes, Blur, Foo Fighters dengan Iggy Pop! Pokoknya mah, kalau tinggal di sana dan ingin menonton itu semua, bisa pusing kepala Barbie memikirkan anggarannya. Pemesanan tiket saya dibantu oleh Robin Malau dari Konserama, seperti yang saya bahas di tulisan sebelum ini. Robin juga yang mengatur jadwal perjalanan saya selama di London. Silakan hubungi Konserama kalau mau jalan-jalan ke London ya.
Di London, saya dibantu Arya Rinaldo. Ketika Konserama memesan tiket The Who untuk saya, alamat Arya yang dijadikan tujuan untuk pengiriman. Arya sedang kuliah S1 di London, saya lupa nama universitasnya, jurusannya Bisnis Musik kalau tak salah. Ternyata, Arya juga pernah membantu Arian13 waktu dia memesan tiket. Arya adalah seorang Serigala Militia, alias penggemar Seringai. Waktu Arian pertama kali pergi ke London untuk nonton konser, dia menginap di kosan Arya.
“I’m officially a groupie, karena sudah tidur sama vokalis. Ha ha ha,” kata Arya.
British Summer Time Festival diadakan di Hyde Park, yang kayaknya sih taman paling besar di London. Taman legendaris yang sudah jadi saksi bisu digelarnya banyak konser band keren. Tahun 1969, beberapa saat setelah Brian Jones gitaris The Rolling Stones meninggal di kolam renang, mereka menggelar konser gratis di Hyde Park. Salah satu momen paling konyol Mick Jagger dari sisi fashion, karena dia memakai semacam baju yang mirip baju perempuan. Konsernya kemudian jadi film konser berjudul The Stones at The Park.
Selain The Who, ada Johnny Marr, Paul Weller dan Kaiser Chiefs, tapi saya hanya kebagian Kaiser Chiefs, Paul Weller dan The Who, karena datang menjelang jam lima sore. Ricky Wilson, vokalis Kaiser Chiefs cukup humoris. Ketika membawakan lagu baru, dia bilang, “Manajemen menyuruh kami menyanyikan lagu baru nih.” Sepertinya dia sadar, yang datang ke sana, sebagian besar buat The Who dan kalaupun menonton Kaiser Chiefs tentu saja berharap lagu-lagu hits yang dibawakan. Paul Weller sang Modfather masih karismatik meskipun wajahnya sudah keriput.
Saya belum pernah datang ke festival musik dan melihat banyak wajah paruh baya dan usia senja begitu banyak seperti hari itu di Hyde Park. Mungkin karena headliner nya juga sudah tua. Tapi, saya tak tahu, kalau Koes Plus menggelar konser di lapangan, apakah bakal banyak kakek nenek datang ke lokasi konser?
The Who hanya menyisakan gitaris Pete Townshend dan vokalis Roger Daltrey sebagai personel asli. Drummer Keith Moon dan pemain bass John Entwistle yang sudah meninggal, digantikan oleh drummer Zack Starkey [anak dari Ringo Starr], dan pemain bass Pino Palladino. Backdrop panggung, dihiasi oleh LED monitor yang bergantian menampilkan visual yang sesuai dengan lagu. Logo mods berupa lingkaran berwarna biru putih merah tentu saja cukup dominan. “You are the mods. We were the mods,” kata Daltrey sambil terkekeh.
Di sebelah saya, sekelompok pemuda meneriakan, “We are the mods! We are the mods! We are we are we are the mods!”
Saya jadi ingat film Quadrophenia [1979], yang menceritakan tentang anak-anak Mods. Film yang dipuja anak mods di seluruh dunia, tapi menurut saya sih, sebenarnya film itu ingin bilang bahwa buat apa lah jadi mods segala, itu hanya pencarian jati diri yang tak usai. Haha. Soalnya di akhir film, sang pemeran utama, memutuskan untuk melaju ke jurang dan Vespa nya tercebur ke laut, setelah dia frustasi dan kecewa melihat Ace Face, mod idolanya yang keren dan parlente ternyata hanya seorang bell boy di hotel.
Mungkin itu juga yang dirasakan Roger Daltrey ketika dia bilang “We were the mods” dan tertawa. Yah dia anggap itu hanya fase masa remaja yang sekarang membuat dia menggelengkan kepala.
The Who tampil hampir dua jam, membawakan semua hits yang dibuka oleh “Can’t Explain” dan ditutup oleh “Won’t Get Fooled Again.” Townshend masih menunjukkan aksi mengayunkan tangan sambil memetik gitarnya yang terkenal itu. Tentu saja dia tak meloncat tinggi seperti ketika muda. Daltrey juga masih menunjukkan kualitas vokal yang meskipun tak seprima masa mudanya, tapi masih memukau ketika menyanyikan nada-nada tinggi. Intinya, saya puas sekali menyaksikan The Who hari itu, meskipun dari jarak ratusan meter dari panggung.
Kami pulang sebelum jam 11 malam. Masih ada bis menuju hotel. Tak kuatir ada abang-abang di pinggir jalan, tengah malam yang sedang nongkrong dan menimbulkan rasa takut.
Hari 4
Sabtu, 27 Juni 2015.
Jalan-jalan ke Portobello. Ini adalah pasar loak, dan banyak pedagang kaki lima. Sebenarnya tak menarik sih buat belanja di sana. Hanya menarik dari sisi pemandangan saja. Mau belanja barang-barang juga, tak ada yang menarik di sana. CD, atau piringan hitam yang dijual di sana, kata Arya, harganya dipatok lebih mahal, karena mereka tahu di akhir pekan lebih banyak turis yang datang ke sana. Yah, seperti Pasar Gede Bage, Bandung yang memasang harga lebih mahal di akhir pekan lah. Tapi buat penggemar film Notting Hill, daerah ini menarik, karena ada rumah dan toko buku tempat syuting film itu dilakukan. Selain Arya, dua teman kami ikut jalan-jalan hari itu: Ruth yang sedang kuliah di Birmingham, dan Jefta suaminya.
Beres dari Portobello, kami jalan-jalan ke daerah Shoreditch, yang katanya sih daerah gaul tapi artsy, dan banyak hipster kumpul. Di dekat sini ada Rough Trade East, penggemar musik alternatif pasti akrab dengan nama ini, karena Rough Trade Records adalah perusahaan rekaman yang salah satu karyanya adalah mengeluarkan album The Smiths. Rough Trade East di Brick Lane, adalah salah satu toko Rough Trade East yang ada di London dan terbesar. Di Brick Lane juga ada masjid. Bukan mau riya, tapi saya mau cerita bahwa ketika bertanya di mana pintu masuk ke mesjidnya, orangnya malah bertanya balik, saya mau apa. Mungkin karena bukan bertampang Arab, dia tak mengira saya orang Islam. Ternyata ketika di dalam, memang semua yang ada di sana, bertampang timur tengah.
Beres dari Shoreditch, kami mampir ke daerah Westminster, buat melihat London Eye dan Big Ben buat berfoto standar ala turis. Kami tak naik London Eye, bukan karena pertimbangan mahal, tapi karena saya takut ketinggian. Terakhir kami naik ke ketinggian adalah ke Menara 101 di Taipei, di mana lutut saya langsung lemas dan seakan gedung mau jatuh ketika kami sampai di lantai paling atas. Haha.
Hari 5
Minggu, 28 Juni 2015
Saatnya ke Buckingham Palace. Siapa tahu ada Ratu Elizabeth sedang nongkrong di balkon. Kami mau melihat pergantian penjaga. Jam setengah dua belas jadwalnya. Kami datang jam setengah sepuluh dan harus menunggu, bersama ratusan turis lainnya. Pergantian penjaga yang memakai seragam khas merah dengan topi panjang yang biasa terlihat di kotak biskuit itu lah. Ada marching band dan penjaga yang baris berbaris dalam formasi ketika proses pergantian itu. Sebagian naik kuda tinggi besar gagah.
Dari Buckhingam Palace, kami mampir ke Natural History Museum, melihat kerangka dinosaurus lalu mampir ke Victoria Albert Museum, museum seni modern gitu lah, saya juga tak melihat ke dalamnya pas di museum ini, hanya Tetta yang berkeliling karena kaki saya sudah pegal dan pinggang sudah sakit. Haha.
Sebelum pulang, jalan-jalan sebentar ke pusat perbelanjaan, melihat Harrods yang terkenal mahal itu, lalu ke Oxford Street, belanja di Primark, yang katanya sih kalau melihat harganya yang murah, ibarat Ramayana kalau di Indonesia mah. Hanya saja, tak ada mbak-mbak atau mas-mas yang teriak bahwa hari itu diskon, dan tak ada Pojok Busana.
Hari 6
Senin, 29 Juni 2015.
Kami pindah tempat menginap, dari Clink 78 Hostels yang di tengah ke Wisma Siswa Merdeka yang agak ke pinggir, karena ada di ujung Distrik 2. Ini adalah penginapan milik KBRI di London yang pengelolaannya diserahkan pada mahasiswa S3 yang sedang kuliah di sana. Rumah dua lantai, dengan lima kamar tidur dan tiga kamar mandi. Biasanya disewakan buat para mahasiswa yang belum mendapat kosan, atau buat tamu KBRI, atau buat mereka yang kebetulan tahu soal Wisma itu dan mengontak pengelola dan ada kamar kosong. Kami dapat kamar yang berisi dua ranjang, alias buat berdua, dengan harga sewa selama lima malam kira-kira tiga juta rupiah, alias sepertiga lebih murah dibandingkan Clink 78 Hostels.
Lantainya berderit setiap saya melangkah di lantai atas. Pengelolanya, sepasang suam istri yang sedang kuliah. Sang suami berlogat Jawa kental, penampakannya mengingatkan saya pada Noe vokalis Letto. Anak mereka baru lima tahun, tinggal di sana sejak umur dua tahun. Hasilnya, tak lancar bahasa Indonesia, pasif, alias jika orangtuanya bertanya dalam bahasa Indonesia, dijawab dengan bahasa Inggris.
Belakangan saya baru tahu, bahwa di rumah itu, salah seorang teman saya, Hasief Ardiasyah, editor Rolling Stone Indonesia pernah tinggal di sana dari lahir hingga umur tujuh tahun. Bapaknya yang kuliah, dan ibunya yang mengelola wisma. Sejak tahun 80-an, rumah itu tak berubah penampakannya.
Beres dari Wisma, kami menuju Madam Tussauds, museum patung lilin yang terkenal itu. Lumayan seru lah, meskipun mahal tiketnya, kira-kira 600 ribu rupiah. Buat yang ingin berfoto bareng artis Hollywood, di sini bisa memfasilitasi. Bukan cuma Agan Harahap yang bisa berfoto bareng artis internasional. Haha.
Dari Madam Tussauds, kami ke museum Sherlock Holmes di 221b Baker Street. Ada tiket masuk seharga 300 ribu rupiah, yang menurut saya sih kalau bukan penggemar Sherlock Holmes pasti tak akan menganggap museum itu istimewa. Rumah lima lantai yang kecil tiap lantainya. Di setiap lantai ada pernak-pernik Sherlock Holmes, ada juga yang menampilkan patung lilin yang mengambarkan adegan dari beberapa cerita Sherlock Holmes.
Setelah dari Sherlock Holmes Museum, kami bertemu, Joe Wihl, seorang sineas dari London yang menikahi Etie, teman SMA saya. Joe adalah kawan dari Angga Nggok penyiar Indika FM, dan Omesh. Bahkan, Omesh pernah mendapat undangan untuk menonton Liverpool FC dari ruang VIP karena email dari Joe untuk humasnya Liverpool FC.
Kami bertemu di sebuah pub di kawasan Shoreditch. Salah seorang kawan Arya, Thalita ikut bergabung. Maka, jadinya pertemuan yang unik. Saya kenal Arya di London karena dibantu beli tiket, Arya kenal Thalita juga belum lama, karena teman yang sama. Joe, saya belum pernah kenal dan bertemu dengannya. Etie mengomentari Instagram saya dan menyuruh kami kopi darat. Etie nya tak ada di sana, dia tinggal di Dubai. Joe bolak balik London – Dubai.
Hari 7
Selasa, 30 Juni 2015.
Tak lengkap kalau ke London tak menyebrang di zebra cross di Abbey Road, yang jadi terkenal gara-gara The Beatles berfoto di sana untuk sampul albumnya. jam 8 pagi kami sudah ke sana. Waktu kami datang, baru ada kami. Agak malu-malu juga mau motret di sana. Maklum, pengemudi kendaraan suka kesal kalau ada turis yang berfoto di sana. Artinya mereka harus menghentikan kendaraannya. Untung, tak lama kemudian ada beberapa turis yang juga berfoto, sehingga kami tak sendirian. Haha.
Setelah dari Abbey Road, saatnya ke kota tempat lahirnya The Beatles: Liverpool. Kami naik Virgin Trains dari stasiun London Euston jam 10 pagi. Tiket pulang pergi berdua, kira-kira tiga juta rupiah. Dua jam perjalanan dari London.
Salah seorang kawan dari Jakarta, Feli bergabung dengan kami di sini. Dia sedang kuliah di New Castle. Karena waktu mepet, kami hanya bisa mengunjungi The Beatles Story Museum, dan berkeliling di Albert Dock. Mau ikut tur tak keburu, karena kereta kami jam 7 malam sudah berangkat. Museum The Beatles cukup menarik, mereka menampilkan perjalanan The Beatles, lengkap dengan replika tempat-tempat yang bersejarah bagi karir The Beatles.
Ada toko merchandise The Beatles di museum itu [ya tentu saja lah ya]. Toko yang paling lengkap yang menjual segala sesuatu yang berhubungan dengan The Beatles. Tapi entah kenapa, saya sih tak mau memakai kaos The Beatles, meskipun saya mengumpulkan album-albumnya dan menyukai semua lagu mereka. Mungkin sisi diri saya sebagai penggemar The Rolling Stones, yang punya prinsip tak mau memakai kaos The Beatles. Haha.
Hari 8
Rabu, 31 Juni 2015.
Saatnya melihat Stonehenge yang terkenal itu, lalu pergi ke Bath, melihat tempat pemandian peninggalan Romawi. Kami naik bis Premium Tours dari Victoria Couch Station jam 8 pagi. Suasana terminalnya sangat ramai, ada banyak gerbang dan banyak penumpang. Kalau tak sigap bertanya, bisa-bisa tertinggal bis. Lebih mudah ikut tur buat ke Stonehenge, karena hanya satu kali naik bis. Mahal memang, berdua kira-kira tiga juta rupiah, tapi sudah sampai ke kota Bath, lengkap dengan tiket buat Stonehenge dan pemandian Romawi di Bath.
Untuk sampai ke Stonehenge, orang harus naik shuttle bus. Nah, mereka yang tak ikut tur, harus membeli dulu tiketnya di lokasi keberangkatan shuttle bus yang terletak kira-kira dua kilometer dari Stonehenge. Jaman dulu, mobil parkir dekat Stonehenge, tapi mengingat makin banyak yang berdatangan, maka kendaraan parkir di tempat parkir yang disediakan lalu orang naik shuttle bus.
Sekarang sih [saya tak tahu sejak kapan], ada pembatas di sekitar Stonehenge, jadi orang tak bisa masuk ke area bebatuan itu, karena katanya kuatir tanah lapangannya amblas. Eh iya, di area Stonehenge, yang khas adalah aroma tai domba, mungkin karena di situ lapangan rumput luas dan banyak domba. Haha.
Cukup keren sih, melihat tumpukan batu paling terkenal di dunia. Tak perlu pusing memikirkan soal sejarah dan segala macam teori di balik itu, menikmati pemandangan di sana saja sudah memberikan kepuasan tersendiri.
Setelah dari Stonehenge, kami pergi ke Bath, kota yang berjarak satu setengah jam dari Stonehenge. Di sana ada kolam pemandian yang merupakan peninggalan jaman Romawi. Kalau menyaksikan film-film Hollywood yang bertema Romawi, biasanya ada adegan mandi di kolam pemandian, lalu ada tokoh perempuan keluar dari kolam hanya terlihat punggung dan nyaris pantatnya. Haha.
Silakan Googling The Roman Bath untuk tahu lebih banyak soal ini. Saya sudah capek menulis. Hehehe.
Hari 9
Kamis, 1 Juli 2015
Belanja ke Bicester Village Market. Ini adalah semacam komplek factory outlet barang-barang bermerk. Bedanya, semua yang dijual adalah barang asli. Komplek belanjanya menyenangkan. Seperti komplek perumahan, hanya bedanya bukan rumah tinggal, tapi toko yang ada di sana. Kami naik kereta dari stasiun Marylebone yang berjarak 1 jam perjalanan ke Bicester. Tiket berdua pulang pergi kira-kira 1,3 juta rupiah.
Dari jam 11 siang, hingga menjelang jam lima sore kami di sana. Tak terlalu banyak yang kami beli jika dibandingkan mereka yang datang ke sana membawa koper. Sebagian besar wajah Asia, baik itu oriental maupun timur tengah yang terlihat kalap berbelanja di sana.
Di salah satu toko, ada pelayan tokonya yang ternyata dari Medan. Baru lima tahun di London, tapi dia sudah tak bisa bicara bahasa Indonesia dengan aktif, karena katanya sehari-hari bicara bahasa Inggris, bahkan ketika berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia pun mereka memilih bicara bahasa Inggris. Gaya bicaranya memang seperti orang bule yang terbata-bata bahasa Indonesianya.
Tapi ketika ke kamar kecil kami bertemu dengan dua petugas kebersihan yang ternyata bisa bahasa Indonesia. Mereka rupanya dari Timor Leste, sudah sepuluh tahun bekerja di sana, dan malah lebih fasih bicara bahasa Indonesia dibandingkan mbak pelayan toko dari Medan.
Pulang dari Bicester Village, karena langit masih terang, kami jalan-jalan ke Trafalgar Square, buat ngabuburit. Sore itu banyak orang berkumpul juga di sana. Ada yang latihan joged macam ABG beberapa tahun kemarin shuffle di Seven Eleven. Ada tunawisma yang nyari recehan dengan menggambar di lantai. Macam-macam lah, tapi suasananya menyenangkan.
Hari 10
Jumat, 2 Juli 2015
Pulang. Pesawat kami jam sebelas siang. Jam delapan pagi kami sudah jalan dari Wisma. Satu koper yang besar, terasa sangat berat ketika diseret. Rupanya pas ditimbang, beratnya 34 kilogram. Itu melebihi batas maksimal satu koper yang katanya 32 kilogram.
“You’re in deep trouble,” kata mas-mas penjaga loket.
Saya menawarkan untuk mengeluarkan barang-barang dari koper, memindahkannya sebagian ke tas ransel saya, supaya beratnya masih bisa memenuhi syarat. Saya pikir, dengan jatah seorang 30 kilo, maka total berat maksimal adalah 60 kilogram.
Si mas mengetik sesuatu di komputer, lalu meminta temannya memanggilkan seorang petugas. Sepertinya dia mau bertanya soal koper ini. Tapi petugas yang dipanggil tak kunjung datang, hingga akhirnya si mas menggerutu sebentar lalu membiarkan koper saya masuk.
“Lain kali, jangan begini lagi ya,” kata dia. Begitu kurang lebih kalau diterjemahkan.
Cerita selanjutnya, ya menikmati perjalanan pulang ke Jakarta naik Garuda Indonesia.
Melelahkan, namun menyenangkan.
2 Comments