Selasa (30/8) siang tadi, saya makan-makan di Istana Negara.
Undangannya mendadak. Sehari sebelumnya, Olga Lidya menghungi saya. Dia bilang, Pak Presiden mengundang makan siang. Ada 30-an orang yang diundang. Saya salah satunya. Sebagai orang yang punya prinsip jangan menolak undangan makan gratis, tentu saja tawaran ini begitu menggiurkan. Tidak setiap hari rakyat jelata seperti saya bisa makan siang di Istana Negara, Jakarta. Waktu komunitas stand up comedy yang diundang ke sana, saya sedang tak bisa datang. Makanya, mumpung ada tawaran lagi, saya pikir ini kesempatan kedua yang tak boleh dilewatkan.
Memang, waktu Olga bilang bahwa ini komunitas film, ada dua kebanggaan. Selain kebanggaan karena undangan makan, juga karena dianggap sebagai bagian dari komunitas film. Haha. Padahal saya belum banyak main film, dan akting saya masih jelek.
Selasa jam 11.30 WIB saya tiba di Istana Negara. Memakai batik lengan panjang (atas instruksi dari protokoler presiden). Terakhir memakai batik, waktu melamar istri saya. Berarti, sejauh ini cuma Presiden dan Tetta, yang bisa membuat saya memakai batik. Hehe.
Mobil yang mau ke Istana, ternyata masuknya dari gerbang Sekretariat Negara, di Jalan Majapahit. Di sana, saya bertemu Gading Marten yang datang bersama bapaknya: Roy Marten. Tak berapa lama, Sheila Timothy, produser film yang juga kakaknya Marsha Timothy (Duh, kakak beradik itu sama cantiknya) turun dari mobilnya. Selang berapa menit, Dewi Lestari datang. Lalu, Ernest Prakasa dan Ananda Omesh. Ernest film pertamanya sebagai sutradara dan penulis naskah jadi film box office. Omesh siapa yang tak kenal dia?
Menuju area Istana, kami menukar kartu identitas dengan kartu tamu. Kami diminta menunggu di ruangan yang ternyata di sana sudah ada Triawan Munaf, mantan personel Giant Step band rock jaman ’70-an, yang juga bapaknya Sherina. Tapi tentu saja Triawan hadir di sana sebagai Kepala Badan Ekonomi Kreatif. Bukan sebagai rocker atau bapaknya artis.
Jam 12 siang lebih sedikit, kami diajak masuk ke ruang Istana. Telepon genggam tak boleh dibawa, jadi tak bisa selfie di dalam atau curi-curi selfie dengan latar Jokowi. Saya lupa namanya ruang apa itu, yang jelas bukan ruang ouval karena itu mah ruang Presiden Amerika Serikat. Pokoknya itu ruang resepsi lah. Ruang makan tamu negara.
Para tamu, selain yang saya sebutkan sebelumnya, ada juga Slamet Rahardjo, Mira Lesmana, Riri Riza, sutradara Nia Dinata, scoring maker Aghi Narrotama, Hanung Bramantyo, produser Manoj Punjabi, Desta, sutradara Monty Tiwa, Angga Dwimas Sasongko, animator pembuat film Adit Sopo Jarwo, sutradara Lance, Hengky Solaiman, Wregas sutradara “Prenjak”, film pendek yang menang di festival film Cannes, Nazyra C Noor, dan ah saya lupa mas-mas yang ada di depan saya. Setiap meja sudah berisi kartu bertuliskan nama masing-masing. Yang tak hadir: Salman Aristo (yang ditulis menjadi Salaman Aristo), Indra Bekti, Darto Prambors (padahal sudah tak siaran di sana. Haha), Cathy Sharon, dan satu nama lain yang tak saya kenal.
Kira-kira 12.15, Jokowi masuk ruangan. Dia menyalami kami satu per satu. Fotografer Istana mengabadikan setiap momen itu. Sayangnya, fotografer tak membuka lapak di pintu keluar dan mencetak foto dengan tulisan kejadian hari itu. Kami tinggal menunggu foto dikirim via email. Yah semoga lah. Kan lumayan, foto sedang salaman bersama presiden bisa dipajang di ruang tamu demi meningkatkan kredibilitas pemilik rumah. Bersanding dengan foto-foto liburan ke luar negeri dan ijazah sarjana. Haha. Orde Baru banget.
Basa-basi sebentar (saya duduk paling pojok, karena harusnya ada Cathy Sharon di sebelah saya tapi dia tak datang maka saya jadi paling ujung maka saya kurang mendengar apa kalimat pembukanya), lalu kami diajak ke meja prasmanan. Menu siang itu: nasi putih, ayam woka-woka, ikan cakalang yang saya lupa pake bumbu apa ya, iga sapi pake bumbu kecap, cumi bakar, sop kuah asem manis (yang visualnya tak menarik buat saya karena di kuahnya banyak sekali dedaunan), kerupuk putih. Dan sodara-sodara, menu kepresidenan ternyata rasanya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Tak ada citarasa mahal. Tak meninggalkan sesuatu yang berkesan di lidah. Biasa saja. Tak bisa dibilang tak enak, tapi juga tak bisa dibilang enak. Yah, mungkin ini prinsip sederhana yang diterapkan Jokowi, sehingga penyedia makanan pun bukan dari katering mewah.
“Bapak, tiap hari makannya begini Pak?” kata saya berbasa-basi kepada Jokowi.
“Tapi saya gak gemuk-gemuk ya,” jawabnya.
Maka, kami pun menyantap menu kepresidenan. Saya sempat bingung mau menambah air putih di mana, karena tak ada dispenser atau teko. Eh rupanya ada mas-mas yang sigap mengisi gelas begitu kosong. Ketika piring kosong, ada mas-mas mengantar hidangan penutup: es kacang merah.
Makanan habis, saatnya curhat. Jokowi beberapa kali mengundang orang-orang dari berbagai komunitas untuk mendengarkan langsung aspirasinya. Soal apakah ada perubahan nyata seperti yang diharapkan para undangan, itu mah lain hal. Yang penting, aspirasi sudah didengarkan.
Yang banyak bicara adalah Slamet Rahardjo. Saya jadi berasa nonton Sentilan Sentilun. Haha. Lalu Nia Dinata, Sheila Timothy, Mira Lesmana. Sesekali Manoj, Angga, Hanung dan Riri menimpali. Hal-hal yang disampaikan: soal pentingnya ruang penyimpanan film lokal, karena ternyata Indonesia pernah dijadikan rujukan bagi mereka yang ingin tahu bagaimana membuat ruang penyimpanan film yang baik. Di Pusat Perfilman H Usmar Ismail, ternyata tak ada ruang penyimpanan yang baik. “Itu sih gudang,” kata Nia Dinata.
“Film-film saya disimpen di Jepang, Pak. Dan saya malah dibayar sama mereka,” kata Mira Lesmana terkekeh.
Slamet Rahardjo menyampaikan usulan soal perlunya dana pendidikan. Bukan sumbangan dari pemerintah. “Kami bukan yatim piatu yang selalu butuh sumbangan,” katanya. Dana pendidikan itu, kata Slamet, bukan diberikan begitu saja. Ada timbal baliknya nanti kepada pemerintah. Yah semacam itulah, saya lupa tepatnya apa usulan dia. Haha. Yang saya ingat, Slamet Rahardjo dengan santainya menyapa Jokowi dengan “Sampeyan.” Kalau saya yang ngomong begitu, pasti terasa tak sopan. Haha.
“Hanung, Angga, sudah bikin jembatan budaya yang menghubungkan antar negara,” kata Slamet soal betapa film begitu berpengaruh.
“Amerika kalah perang dari Vietnam, tapi lewat filmnya, kita malah dibuat percaya bahwa mereka menang,” kata Manoj. “Film itu senjata.”
Angga bicara soal perlunya gerak cepat dalam menindas situs yang memberikan film gratis untuk diunduh.
“Katanya butuh seminggu untuk menutup situs bajakan. Film saya, Surat dari Praha, ada yang upload dalam ukuran HD dan bisa didownload dalam setengah jam. Jadi, pada saat situs ditutup, sudah banyak orang yang download itu Pak,” kata Angga.
“Film Tiga Dara direstorasi selama dua tahun Pak,” kata Nia Dinata, berbagi cerita soal film legendaris yang kini bisa dinikmati lagi di bioskop. “Dan masih ada kira-kira seribu film lainnya Pak.”
“Berarti ada waktu 2000 tahun ya, buat merestorasi semua film itu,” kata saya kepada Gading.
“Keburu Yesus bangkit lagi,” jawabnya.
Beberapa kursi dari kami, duduk Desta. Dia memajang wajah serius.
“Gua gak ngerti pada ngomongin apa,” katanya di sela memasang wajah serius itu, sambil menengok ke arah saya dan Gading.
Yah segala macam lah diungkapkan. Mulai dari soal pendidikan film, membuat bioskop yang memutarkan film-film lokal yang tak kebagian jatah tayang cukup panjang, soal sensor, soal kebijakan. Serius lah pokoknya mah.
Saya sedikit menyampaikan soal pajak. Para pekerja seni, khususnya mereka yang sering tampil di layar kaca, adalah termasuk golongan yang diincar orang pajak. Bayar pajak cukup tinggi, tapi pembajakan masih terasa, dan segala macam yang diungkapkan para sineas tadi belum terwujud. “Tolong diperhatikan itu ya Pak. Jangan cuma dikejar pajaknya, padahal kami mah gak ada pensiun, tunjangan kesehatan dan lain-lain,” kata saya.
Ernest menyempatkan promosi colongan film keduanya, Cek Toko Sebelah yang sedang diproduksi. “Film pertama saya, kan Bapak gak sempet nonton. Di film kedua, saya ngajak anak Bapak, Kaesang buat maen Pak. Nanti nonton ya Pak,” katanya sambil cengengesan.
Jam 2 kurang, sesi makan siang berakhir. Sebelumnya, ada sesi tanda tangan dari Jokowi. Tadinya hanya Gading dan saya yang meminta kartu nama kami ditandatangani, itung-itung suvenir, tapi ternyata yang lain jadi ikutan.
Begitu keluar ruangan, Omesh, masih terkekeh. “Kayaknya kita salah forum deh. Bukan orang yang tepat diundang. Harusnya yang duduk di kursi gua itu, Reza Rahadian, di kursi Gading, Nicholas Saputra, di kursi lu Chico Jeriko,” kata Omesh.
Saya hanya tertawa. Ah tak apa lah. Minimal, saya punya suvenir buat dikenang anak cucu. Ada buktinya pula. Bahwa pada suatu hari, saya pernah makan siang bersama presiden.