Balada Mang Cepot
Badan gemuk kaos usang celana pendek melebihi lutut tangan selalu berlumuran oli tapi senyum selalu terkembang.
Saya kenal sosok Mamang sejak lima tahunan lalu. Waktu itu, saya sedang mencari bengkel motor. Honda GL Pro yang saya miliki sejak 1998 sudah saatnya ganti oli. Saya bawa motor itu ke Jakarta sejak 2009 saya menyicil rumah di kawasan Krukut, Depok. Sebelumnya, saya ngekos di Cipete dari 2005. Jarak kosan ke kantor [baik itu Playboy maupun Rolling Stone], hanya satu kali naik angkot, jadi saya tak butuh kendaraan sendiri. Krukut berjarak 11 km ke kantor Rolling Stone. Makanya saya bawa motor dari Bandung.
Sejak dibawa ke Bandung, saya gonta ganti bengkel motor. Kadang ganti oli di sebelah Rolling Stone, kadang di bengkel motor dekat Gandul, pernah juga di Cipete. Pokoknya, saya coba beberapa bengkel yang kelihatannya meyakinkan.
Hingga akhirnya pada satu hari di tahun 2012, saya mampir ke bengkel Berkah Jaya yang ada di belakang kampus Universitas Pendidikan Nasional di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Saya merasa ada yang tak beres dengan setang motor saya. Beberapa menit saya menunggu di bengkel. Semua montir terlihat sibuk. Saya selalu bingung kalau datang ke bengkel dan melihat semua sibuk. Mau tanya pada siapa? Tanya ke petugas di balik lemari kaca, dia bilang saya diminta menunggu.
Di tengah kebingungan, tiba-tiba di samping saya, seorang pria bertanya.
“Kenapa motornya?”
“Ini, setangnya kayak udah oblak. Sama mau ganti oli,” jawab saya.
Dia turun dari kursinya. Memeriksa motor saya. “Oh ini mah klahernya udah harus ganti,” kata dia. “Minta ke mbaknya, bilang mau ganti klaher depan sama ganti oli.”
Dan itulah pertama kali saya berkenalan dengannya. Beberapa menit kemudian, kami bercakap-cakap dalam bahasa Sunda, setelah dia melihat plat nomor saya Bandung.
Dia mengenalkan dirinya dengan Mamang Cepot. Orangnya ramah. Senang berbicara. Di sela-sela dia membersihkan karburator dan mengganti klaher serta oli, banyak orang yang melewati bengkel, menyapa Mamang. Ada yang menyapa sambil mengendarai motor. Ada yang mampir sebentar tanpa turun dari motornya.
Lima tahun berlalu, selalu begitu setiap kali saya ke bengkel. Mamang Cepot, yang nama aslinya Aep Saepudin, adalah daya tarik bengkel itu. Sebagian besar orang yang ke sana, datang untuk Mamang. Mereka yang motornya sudah pernah dirawat Mamang, sebagian besar balik lagi ke sana dan hanya ingin diperiksa oleh Mamang.
Dia sangat piawai dalam urusan mesin motor. Semua permasalahan mesin dan detil motor, Mamang bisa atasi. Dia tak pernah menyarankan orang untuk mengganti onderdil kalau memang motornya tak perlu diganti. Banyak orang yang datang ke sana setelah sebelumnya ke bengkel lain dan dibilang harus keluar biaya jutaan rupiah tapi oleh Mamang ternyata hanya butuh biaya ratusan ribu karena kerusakannya tak parah.
Mamang juga senang berbicara. Sepertinya itu kelebihan lain yang tak dimiliki montir lain di bengkel itu. Dia senang bercerita tentang dirinya dan keluarganya, tanpa harus terdengar cari perhatian dan empati. Semua cerita Mamang kepada pelanggannya, membuat Mamang seperti teman. Mesin memang benda mati, tapi sentuhan humanis terhadap si pemilik mesin membuat proses perbaikan mesin jadi lebih terasa manusiawi. Saya sudah beberapa kali ke rumahnya yang dari bengkel berjarak 15 menit naik motor. Dari cerita dia, saya tahu bahwa Mamang membeli rumah sederhana itu dari seseorang bernama Pak Haji yang menjualnya hanya seratus juta rupiah dan boleh dicicil.
Kamis (4/5) ini, saya bertemu Mamang di bengkel. Belakangan, motor jarang saya pakai karena hujan sering turun. Itu sebabnya sudah lebih dari tiga bulan saya tak ganti oli. Mamang bercerita soal dia yang baru punya bayi lagi, padahal istrinya sudah berumur 39 tahun.
“Mamang sih pengennya dua aja, tapi istri mau tiga, gara-gara liat sinetron. Dia bilang, kalau anak ada dua, terus dua-duanya berantem gimana? Mending kalau dua-duanya kaya, jadi gak akan pada berantem. Kalau ada tiga, minimal kalau yang dua berantem, ada yang misahin.”
Saya mendebatnya, tapi dia tetap yakin dengan pendiriannya. Ya lagipula sebenarnya tak ada gunanya mendebat. Toh, anaknya sudah lahir juga.
Mamang menyaksikan ketiga anaknya lahir. Dari depan. Dokter memuji Mamang yang kuat melihat darah berceceran sebanyak itu. Mamang membersihkan semua anaknya ketika baru keluar dari rahim istrinya. Anak ketiga, lahir di RSUD Pasar Minggu (gratis tak keluar uang sepeserpun, terima kasih BPJS). Dokter menyarankan operasi Caesar, tapi istri Mamang meyakinkan bahwa dia akan kuat melahirkan normal. Istri Mamang sempat tak sadarkan diri selama beberapa menit. Denyut nadinya tak terdengar di monitor.
“Itu yang bip bip gak kedengeran,” kata Mamang.
Tapi Mamang tetap tegar. Dia terus berbicara di telinga istrinya. “Mamang bilang ke dia, ‘Ibu, bangun ya. Harus kuat. Kan kalau Ibu udah bangun, nanti kita makan bakso kesukaan ibu.'”
Istri Mamang terbangun. Sekali lagi, Mamang menunjukan kekuatan komunikasinya.
6 Comments