Plus Plus di Musik Plus
Jam setengah dua siang saya tiba di sana.
Dua pria setengah baya sedang duduk di kursi berwarna hitam. Televisi 52 inchi yang ada di depan mereka sedang menayangkan konser 121212, sebuah konser amal yang digelar dalam rangka mengumpulkan dana untuk korban badai Sandy yang menghantam Amerika Serikat dengan kerusakan paling besar terjadi di New York dan New Jersey. Roger Waters sedang berduet dengan Eddie Vedder menyanyikan lagu “Us and Them.” Pria muda berkaos polo hitam menemani dua pria setengah baya itu.
Selasa, 9 Mei 2017, setelah dua bulan lebih tak berkunjung, akhirnya saya punya waktu luang lagi untuk mampir ke Musik Plus, Sarinah Thamrin.
Musik Plus adalah situs langka di Indonesia. Toko musik, atau record store, nyaris punah, apalagi yang ada di pusat perbelanjaan. Kalau bicara record store yang menjual kaset, CD, atau vinyl bekas sih relatif masih banyak. Tapi, record store yang modalnya relatif besar alias toko mapan sih bisa dihitung dengan jari. Musik Plus saja, kini tinggal 3 gerai di Jakarta. Satu di Summarecon Mal, eh itu Bekasi ya. Satu lagi di Mal Kelapa Gading.
Barry, pria muda berumur 20 puluhan tahun yang tadi menemani dua pria setengah baya, menyapa saya. Kami berkenalan tiga tahunan lalu, ketika dia masih menjaga gerai Musik Plus di pusat perbelanjaan Setiabudi One.
“Gimana Hammersonic? Rame ya katanya,” ujar Barry.
“Banget. Sampe tengah malem masih penuh,” jawab saya.
Di ujung lain, pria muda yang berbeda, menyapa saya. Djohan namanya. Dia senior di situ. Saya kenal sejak 2004, waktu masih kerja di Trax Magazine. Dia tahu saya kerja di Trax dan awalnya sering sok akrab tapi lama-lama kami jadi akrab betulan.
“Si Barry sakit sih waktu show lu, jadi aja dia gak nonton,” kata Djohan, bicara soal pertunjukan stand-up comedy saya, Dibilang Enak Ya Memang Enak.
Pria setengah baya sudah pergi, setelah membayar CD yang mereka beli. Giliran saya duduk di kursi nyaman itu. Saya selalu senang nongkrong di sana. Bisa nonton DVD musik, sambil menikmati suasana. “The right place for music lovers,” kata slogan toko itu. Untuk mengetahui album-album terbaru–lokal maupun luar, Musik Plus kini yang saya tuju. Koleksinya tak terlalu banyak memang, tapi untuk kondisi saat ini, sudah lebih dari cukup lah. Di saat penjualan album fisik makin merosot, Musik Plus masih bertahan.
Saya bukan tipe pengguna layanan streaming musik. Legal maupun ilegal. Saya senang mendengarkan musik dari bentuk fisiknya: kaset, CD atau piringan hitam. Kalau saya tertarik pada satu album, pasti saya beli fisiknya. Belum tertarik berlangganan layanan streaming.
Selain Barry dan Djohan, ada tiga penjaga toko lainnya. Dua mas-mas, satu mbak-mbak. Saya belum tahu nama mereka. Kami jarang ngobrol. Djohan dan Barry adalah yang paling akrab dengan pelanggan. Mungkin karena mereka benar-benar pecinta musik, bukan hanya pekerja di record store. Djohan sering menawarkan vinyl terbaru. Kalau malas membeli lewat amazon.com, saya menggunakan jasa Musik Plus. Khususnya untuk barang yang kira-kira bakal kena pajak karena harganya tinggi. Saya malas memikirkan proses pengambilannya. Lebih baik tunggu kabar dari Musik Plus bahwa pesanan saya sudah datang.
Djohan cerita, di masa jayanya, Musik Plus bisa mencapai 1 Milyar rupiah omsett sebulannya. Kini, meski omsett jauh berkurang, Musik Plus masih bisa memenuhi target dari pengelola pusat perbelanjaan Sarinah. Musik Plus tak membayar uang sewa, melainkan dipotong dari pendapatan per bulannya. Dibanding dua gerai lainnya, Musik Plus Sarinah yang paling ramai dikunjungi.
Berbagai macam orang berkunjung ke sana. Di hari itu saja, ada sekeluarga yang datang, melihat-lihat, lalu pergi. Lalu ada sekelompok ibu-ibu, seorang bapak tua (meminta mendengarkan dulu CD yang akan dibelinya, dan salah satu dari yang dibelinya hari itu adalah Ode Untuk Kota nya Bangkutaman) yang ditemani seorang pria muda yang entah anaknya atau anak buahnya, seorang ibu dan anaknya, atau anak-anak muda yang memang datang untuk membeli CD.
Suasana seperti itu yang menyenangkan dari Musik Plus. Mengetahui bahwa masih ada orang yang datang ke record store dan membeli rekaman fisik. Bukannya tak sengaja membawa CD ke rumah setelah membeli ayam goreng. Jangan salah, saya tak ada masalah dengan jualan CD di gerai ayam goreng, sah-sah saja, toh gerai ayam goreng lebih banyak dari record store, artinya distribusi jadi lebih bagus. Tapi yang saya sesalkan, kenapa album yang dijual di gerai ayam goreng tak juga dititipkan di record store? Oke, alasannya pasti supaya orang datang ke gerai ayam goreng untuk membeli CD yang dicari, tapi harusnya band lebih punya posisi tawar sehingga album mereka tetap bisa dibeli di record store, demi menghargai mereka yang benar-benar pecinta musik mereka.
Ah, jadi melantur.
Djohan menawarkan saya minuman hangat. Saya seruput, sambil menonton DVD. Tata suara di Musik Plus jauuh lebih bagus dibandingkan fasilitas home theater di rumah saya. Konser 121212 masih diputar di televisi. Mengingatkan saya pada aksi 212 di sini. Sama-sama memakai nomor cantik. Bedanya, 121212 aksi solidaritas untuk menolong sesama. Kalau 212 adalah aksi untuk menghukum satu orang. Memang terlihat seperti membela agama, tapi saya yakin, itu ditunggangi kepentingan politik. Soalnya, ujung-ujungnya disangkutkan pada soal jangan memilih pemimpin yang beda agama. Dan itu cuma terjadi di Jakarta, karena partai-partai Islam yang menolak pemimpin beda agama, ternyata mendukung orang beda agama untuk pilkada di luar Jakarta. Kalau sudah tak konsisten begitu, ya berarti memang itu alasannya tak murni karena ajaran agama.
Hari ini, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis bersalah atas kasus penistaan agama. Dia dihukum 2 tahun penjara, dan selesai sidang harus ke rumah tahanan Cipinang–dini harinya dipindah ke Mako Brimob Depok. Saya tak menganggap Ahok bersalah menista agama. Nabi juga pernah dihujat, dilempar batu oleh orang kafir dan ketika malaikat menawarkan untuk menghukum langsung si penyerang, Nabi memaafkan. Katanya harus meniru sifat Nabi, tapi untuk yang pemaaf itu, banyak yang tak mau menirunya. Padahal, masih banyak yang menganggap Ahok tak bersalah. Hanya suara mereka kalah besar. Atau, mereka terlalu malas meluangkan waktunya untuk turun ke jalan membela Ahok. Tak seperti mereka yang ingin menghukum Ahok. Atau, ya karena yang membela, sebagian besar harus bekerja demi keluarga, dan tak punya waktu luang untuk turun ke jalan. Atau, ya ternyata rasa cinta pecinta Ahok tak sebesar rasa benci pembenci Ahok.
Tuh kan, melantur lagi. Nanti yang tak sepakat dengan saya, mencaci maki di sini, atau dalam hati, kalau mereka gaptek untuk komen di sini. Tapi akan saya tolak juga sih yang tak gaptek dan meninggalkan komen negatif.
Ah sudahlah. Mari kembali ke kursi nyaman di Musik Plus. Minuman hangat sejenak menenangkan hati. Semoga tak ada lagi orang dihukum karena dianggap menista agama. Semoga lebih banyak orang ramah dibandingkan orang pemarah. Dan semoga tak terwujud negara Indonesia yang berdasar satu agama.
Di televisi, giliran Michael Stipe berduet dengan Chris Martin, menyanyikan lagu dari REM: “Losing My Religion.”
12 Comments