“Liverpool itu berasal dari dua kata. Liver dan Pool,” kata Paul Beesley. Pria tambun itu meskipun agak terlihat berat membawa badannya ketika berjalan kaki, selalu bicara penuh semangat. “Liver itu artinya kotor. Kayaknya jaman dulu di sini banyak semacam sungai yang airnya kotor. Mungkin sekarang ada di bawah gorong-gorong.”
Senin, 25 September 2017. Saya tiba di Liverpool sehari sebelumnya. Dan siang ini, ditemani Paul Beesley, saya dan teman-teman [masih dari rombongan yang sama, baca tulisan sebelumnya buat tahu siapa saja mereka] menyusuri kota kedua dari rangkaian jalan-jalan ke Inggris atas undangan British Embassy Jakarta. Paul sudah menemani banyak turis dari Indonesia. Tahun lalu, dia menemani seorang pembawa acara olahraga. “Kamu kenal dia nggak?” katanya sambil menunjukkan fotonya berdua. Rupanya yang dimaksud, Pangeran Siahaan, seorang pengamat sepak bola.
Atraksi wisata yang pertama kami kunjungi adalah British Music Experience. Ini semacam museum yang menceritakan sejarah musik di Inggris, dari era 50-an hingga terkini. Sebelumnya, BME ada di London, dan kini dipindahkan ke Liverpool. Paul tak tahu alasannya. Kalau punya banyak waktu, tempat ini sungguh memberikan banyak pengetahuan tentang musik. Kita diberi pemutar audio yang bisa kita pilih berdasarkan alat peraga yang ada di depan. Misalnya, ketika sampai di alat peraga tentang the Rolling Stones, kita tinggal pilih keterangan yang kita mau, dengarkan audionya, sambil dilihat barang-barang yang dipamerkan di depan kita. Di tengah ruangan, ada panggung, yang pada jam tertentu memutar hologram musisi sedang manggung. Ketika saya di sana, Boy George versi hologram tampil membawakan “Karma Chameleon” dari Culture Club. Saya tak tahu apakah cuma Boy George atau memang ada musisi lain yang ditampilkan versi hologramnya. Di sana juga ada booth interaktif di mana kita bisa mencoba memainkan alat musik. Yah, lumayan lah buat yang bermimpi mau jadi musisi tapi tak kesampaian.
Museum berikutnya yang kami kunjungi adalah Museum of Liverpool. Ini berisi informasi segala macam tentang kebudayaan Liverpool. Musik, olahraga, hingga sastra. Mirip dengan yang ada di BME, tapi ini versi lebih sederhana dan beragam tema. Jaraknya hanya berjalan kaki dari BME. Semua atraksi turis di daerah ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tak terlalu jauh lah jaraknya.
Yang juga dekat, adalah The Beatles Story, ini museum khusus The Beatles. Kalau mau tahu sejarah The Beatles tanpa perlu membaca bukunya, pergi ke sini adalah solusi tepat. Kita bukan hanya dapat informasi, tapi juga merasakan pengalaman seakan-akan kembali ke masa lalu, karena ada replika dari benda-benda atau bangunan yang diceritakan. Idealnya, setelah pergi ke sini, langsung ikut Magical Mystery Tour. Sebuah tur keliling Liverpool dan mengunjungi tempat-tempat yang ada hubungannya dengan The Beatles. Kita dibawa pergi ke Penny Lane, Strawberry Fields, ke rumah masa kecilnya para personel The Beatles.
Di antara kunjungan-kunjungan itu, Paul mengajak kami naik Ferry menyusuri sungai Mersey. Ini sungai yang penting dalam sejarah musik dunia. Banyak band bermunculan di Liverpool hingga muncul istilah Mersey beats, aliran musik yang campuran antara rock n’ roll, doo wop, skiffle dan RnB. Mersey Beat juga jadi nama majalah yang didirikan teman sekolahnya John Lennon dan media yang sangat dekat dengan The Beatles karena menulis banyak cerita tentang mereka, bahkan tulisan-tulisan awal John Lennon, diterbitkan di sini. Tapi Liverpool bukan cuma The Beatles. Sebelum the Fab Four itu mendunia, Liverpool punya Gerry and the Pacemakers. Mereka punya lagu “Ferry Cross The Mersey” dan itu sebabnya Paul mengajak kami ikut naik Ferry menyusuri sungai Mersey. “Dari dulu, Liverpool sudah didatangi banyak orang, mungkin karena kota pelabuhan. Segala macam budaya masuk ke sini,” kata Paul. “Saya yakin, sungai Mersey juga punya kedekatan dengan kalian orang Indonesia. Di seberang sungai sana, tinggal salah seorang pendiri perusahaan yang kemudian bernama Unilever. Saya yakin banyak produk mereka ada di rumah kalian.”
Satu lagi yang sangat dekat dengan orang Indonesia, selain The Beatles dan Unilever: Liverpool FC alias klub sepak bola Liverpool. Saya yang bukan penggemar bola saja, tahu ada klub sepak bola itu. Saya cuma tahu dua sebenarnya: Liverpool dan Manchester United. Mungkin karena penggemarnya paling banyak di Indonesia, jadi saya yang awam sepak bola, bisa tahu. Saya tak tahu siapa saja pemain Liverpool, tapi saya tahu slogan terkenal mereka: You’ll Never Walk Alone yang ternyata adalah salah satu lagu dari Gerry and the Pacemakers. Ya, kemarin saya tak walk alone selama di Liverpool, karena ada temen.
Band itu adalah satu dari sekian banyak band yang bermunculan di Liverpool dan manggung di Cavern Club yang ternyata ada di gang sebelah hotel saya menginap: Hard Days Night Hotel [yang menyambut penyewanya dengan lagu The Beatles saat pertama kali masuk kamar]. Cavern Club mengklaim diri mereka sebagai “klub paling terkenal di dunia.” Bukan klaim yang berlebihan sih, karena nyatanya memang klub yang ada di bawah tanah itu, punya peranan penting dalam sejarah musik dunia. The Beatles sudah manggung ribuan jam di sana. Panggung musiknya tak pernah sepi hingga kini. Anda datang ke sana hari apapun, ada band atau penyanyi yang tampil.
Ada dua yang membuat kenapa saya senang datang ke Cavern Club. Pertama, ini klub yang punya sejarah dekat dengan The Beatles. Kedua, lagu-lagu yang dimainkan oleh band atau musisi di sini, semuanya saya suka [setidaknya, dari dua malam berturut-turut saya ke sana], karena biasanya mereka memainkan Mersey Beats dan musik-musik yang mempengaruhi atau terpengaruh olehnya. Suasananya menyenangkan. Ini adalah klub yang cocok dengan selera musik saya. Sayang tak ada yang seperti ini di Indonesia.
Di Cavern Club tak ada asap rokok. Tak ada pelayan yang menghampiri dan bertanya mau mesen apa kalau kita bengong saja karena cuma mau nonton musik. Dan yang pasti, tak ada musik ajeb-ajeb jedang jedung.