Sodara-Sodara, Saya [Belajar] Jadi Sutradara!
Saya tak pernah mengira kisah hidup saya bisa diangkat ke layar lebar.
Soalnya, saya selalu merasa kisah hidup saya datar. Tak inspiratif. Tak ada drama naik turun kehidupan. Hidup saya selalu ada di tengah. Disebut kaya, tidak juga. Disebut miskin, tidak juga. Dan biasanya, kalau ada kisah hidup orang diangkat ke layar lebar, harus digambarkan menderita penuh perjuangan nan berat.
Tapi, saya pernah menghayalkan soal ini. Satu hari ketika nongkrong di kampus, saya bermimpi, seandainya cerita pengalaman saya kuliah diangkat ke film, sepertinya bakal menarik. Meskipun akhirnya mimpi itu segera hilang begitu saya berpikir lagi soal betapa tak akan menariknya film itu.
Hingga akhirnya satu hari pada Mei 2017, di sebuah ruang ganti pusat kebugaran. Seorang pria menghampiri saya. “Mas Soleh ya? Saya dari kemaren nyari nomer telepon Mas Soleh. Eh ketemunya malah di sini,” katanya seraya mengenalkan dirinya.
Gangsar Sukrisno. Kris panggilan akrabnya. Dia bekerja di Mizan. Bukan bekerja, tapi lebih tepatnya, punya posisi penting di manajemen.
“Saya dan temen-temen di kantor nonton Hangout. Setiap Mas Soleh muncul, kami selalu tertawa. Nah, kata temen-temen di kantor, ‘Gimana kalo Soleh kita minta nulis skenario, main sekaligus nyutradarain film?’ Makanya, dari kemaren itu saya nyari nomer telepon Mas, mau nanyain itu. Kalau Mas mau, kami juga mau Mas nulis buku, jadi sebelum film rilis, bukunya terbit.” kata Kris.
“Wah, saya gak bisa nyutradarain Mas. Belum sanggup. Tapi, itu kita bicarain nanti lah. Nah, kalau permintaannya sambil nulis buku, saya mau filmnya tentang saya kuliah di Fikom Unpad,” kata saya.
Singkat cerita. Saya ajak Agasyah Karim dan Khalid Kashogi buat menulis skenario. Mereka sudah banyak menulis skenario, dan Aga teman kuliah saya, jadi saya yakin dia bisa membantu menulis cerita berdasarkan pengalaman saya kuliah. Saya beri sinopsis pada Miza dan mereka meminta saran Pak Chand Parwez Servia dari Starvision. “Saya minta Soleh nulis dari tahun 2012 eh jadinya malah sama kalian,” begitu reaksi Pak Parwez hingga akhirnya dua production house itu malah berkongsi untuk memproduksi film pertama saya.
“Saya mau dibantu Monty Tiwa buat nyutradarainnya Pak,” kata saya ketika akhirnya resmi menerima tawaran mereka. Saya baru dua kali disutradarai Monty, tapi meskipun baru kenal, saya sudah cocok selera humornya. Itu sebabnya saya mau tandem dengan dia. Saya juga mengajak Bene Dion sebagai konsultan komedi, supaya ada yang membantu menambah unsur komedi di film ini. Tadinya saya mengajukan judul “Si Macan Kampus”, tapi Pak Parwez menganggap judul itu terlalu tua. Istilahnya sudah tak akrab bagi anak muda. Berdasarkan sinopsis, Pak Parwez menawarkan dua pilihan judul: “Jangan Gampang Menyerah”, atau “Mau Jadi Apa?” dan saya memilih yang kedua, karena lebih enak didengar dan paling tepat menggambarkan cerita di film. Itu juga yang selalu hinggap di pertanyaan saya ketika kuliah, “Mau Jadi Apa?”. Memilih jurusan Ilmu Komunikasi pun, karena saya mengira kuliahnya bakal santai dan cuma ngomong-ngomong, tapi sebenarnya tak pernah tau bakal jadi apa setelah lulus. Pertanyaan “Mau Jadi Apa?” juga saya yakin, pernah hinggap di benak banyak orang. Sebuah pertanyaan yang bisa kena ke hati banyak orang.
Dan semua terjadi begitu cepat. Sejak pertemuan pertama dengan kedua PH, tau-tau saya harus mulai suting Agustus 2017 demi mengejar target penayangan dan demi bisa syuting di kampus. Bulan itu kuliah masih libur. Praktis hanya dua minggu persiapan film ini, di luar penulisan naskah. Dan diputuskan bahwa lokasinya akan di Bandung dan Jatinangor. Saya dan Mas Kris menghadap Dekan Fikom Unpad, Dadang Rahmat Hidayat, demi mendapat restu lokasi, dan Pak Dekan membawa kami menghadap Rektor Unpad demi meminta ijin memakai nama Universitas Padjadjaran di film. Belum pernah ada film yang berlatar Unpad. Meskipun ada yang berlokasi di sana, tapi tak terang-terangan disebut Universitas Padjadjaran. Sedangkan kampus lain macam Universitas Gajah Mada atau Universitas Indonesia, sudah pernah ada.
Adjisdoaibu, Awwe, Boris Bokir, dan Ricky Wattimena saya ajak buat jadi pemeran utama. Mereka memainkan karakter yang diangkat dari teman-teman saya. Makanya, biar chemistry lebih mudah tercipta, saya ajak yang sudah jadi teman saya buat memerankan teman-teman saya. Selain itu ada Anggika Bolsterli, Aurelie Moeremans dan Putri Marino yang main jadi teman-teman perempuannya. Buat anak Fikom Unpad yang bertanya, “Yang jadi si ini siapa? Yang jadi si itu siapa?”, tak semua kisah saya selama di Fikom diceritakan di sini lah. Artinya tak semua orang bakal masuk cerita. Bahkan teman-teman dekat saya saja tak semuanya diceritakan di sini. Ingat ya, ini versi film komedi. Bukan dokumenter. 7 – 24 Agustus 2017 syuting film “Mau Jadi Apa?” berjalan hanya dengan jeda satu hari pada 17 Agustus. Artinya: kami nyaris tak ada istirahat. Bukan sebuah proses produksi yang ideal memang, tapi saya menikmatinya. Ada beberapa kenikmatan dalam proses produksi ini.
Pertama. Ini kali pertama saya jadi pemeran utama. Gaya lah. Sungguh bergengsi. Maklum, biasa dapet peran selewat, atau cuma beberapa scene saja. Jarang dapat peran yang banyak. Haha.
Kedua. Jadi sutradara sekaligus penulis skenario, yah meskipun masih tandem dan soal teknis adegan film lebih banyak Monty yang bekerja, tapi di luar itu, saya punya kendali kreatif. Di film-film sebelumnya, hanya sebatas pemain, tak pernah ditanya soal kostum apa yang harus digunakan di film, soal lokasi adegan. Intinya, tinggal nunggu perintah. Tapi di sini, saya jadi salah satu bagian dari tim yang mencoba mewujudkan sebuah adegan. Meskipun ini kerja tim, tapi saya bisa bilang bahwa film ini salah satu karya saya.
Ketiga, kembali ke kampus. Mengulang kembali kehidupan belasan tahun lalu sungguh sebuah nostalgia yang menyenangkan. Bedanya, dulu saya hanya nongkrong dan senang-senang di kampus, sekarang nongkrong senang-senang sambil bekerja dan membagi ceritanya untuk orang lain.
Keempat, membuat film “Mau Jadi Apa?” saya jadi ingat lagi, seperti apa rasa cinta saya pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran dan Jatinangor. Waktu kuliah saya sering bilang, “Kalau dada saya dibelah, ada tulisan FIKOM UNPAD di situ. Tertulis dengan huruf kapital semua dan dicetak tebal.” Tapi jujur, setelah belasan tahun lulus, saya jadi tak terlalu peduli kampus. Hidup harus berjalan dan tak perlu memikirkan masa lalu. Dan kini, saya jadi tersadar. Saya masih cinta Fikom Unpad.
Kelima, ini sebuah pelajaran berharga. Tak banyak orang yang bisa punya kesempatan diberi kepercayaan untuk menulis, menyutradarai dan membintangi sebuah film. Kata orang bijak, pengalaman adalah guru yang paling berharga. Dan membuat film “Mau Jadi Apa?” saya mendapat banyak pelajaran. Baik itu soal membuat film, maupun soal hidup.
Keenam, Karung Goni dan Fikombabes akhirnya bisa keluar kampus! Waktu menerbitkan dua majalah itu, tak pernah mengira kalau satu hari nanti, akan dibawa ke skala nasional dan diangkat ke layar lebar. Membuat film ini juga sedikit banyak mengingatkan pada pembuatan Karung Goni: dikerjakan dengan mepet dan dikejar tenggat. Haha.
Ketujuh, Lalieur Laleuleus Parege, band saya di kampus, akhirnya merekam lagu dan muncul di film. Setelah tujuh tahun tak pernah latihan, tahu-tahu berkumpul dan malah merekam lagu untuk film. Sungguh sebuah jalan hidup yang tak terduga.
Jadi ya, sungguh sangat menyenangkan membuat film “Mau Jadi Apa?” yang akan tayang 30 November 2017 di bioskop-bioskop kesayangan Anda. Saya sadar, film ini masih jauh dari sempurna, tapi kami sudah bekerja maksimal mencurahkan tenaga dan waktu demi film ini. Dan, seperti yang selalu saya bilang: sempurna hanyalah milik Gusti Alloh dan lagu Andra and The Backbone.
8 Comments