Ziarah Otomotif Hingga Musikal di London
“Jangan naik taksi di London,” kata seseorang kepada saya ketika saya berkunjung ke kota itu untuk pertama kalinya pada 2010.
Waktu itu saya diundang Coca Cola buat melihat Maroon 5 membuat lagu buat Coca Cola. Banyak bloggers diundang dari seluruh dunia buat datang ke sana. Nasib baik membuat saya terpilih ke sana bersama Endah dari duo Endah N Rhesa.
“Taksi di London itu mahal,” katanya lagi. Pria itu bertugas mengantar jemput saya dari dan ke bandara. Kalau New York terkenal dengan Yellow Cab nya, maka London terkenal dengan Black Cab nya. Yang sudah nonton Kingsmen 2, pasti ingat dengan adegan perkelahian di dalam taksi hitam itu.
Rabu, 27 September 2017, saya ke London untuk ketiga kalinya. Yang kedua, saya pergi bersama istri pada 2015. Dan di kunjungan ketiga ini, saya akhirnya merasakan naik Black Cab! Turun dari Euston Station setelah naik kereta selama 2 jam lebih dari Liverpool, rombongan kami naik taksi ke hotel Dorsett City. Kalau dihitung dalam rupiah, ongkosnya mencapai 500 ribu. Yah, seperti naik Alphard dari Bandara Soetta ke Cilandak, Jakarta Selatan lah. Bedanya, kami tak naik Alphard dan cuma setengah jam di kendaraan. Untung saja, British Embassy Jakarta yang baik hati membayar semua itu.
Rombongan kami masih sama: selain saya, ada Aditya si Sneaker Freak, Febrian, Kadek Arini, dan Anggey si trio travel blogger, Vera dari British Embassy Jakarta, dan Rmishka dari Visit Britain [saya lupa menulis soal dia di rangkaian blog ini, padahal dia sudah ikut kami sejak di Manchester dan mengatur semua keperluan kami selama di UK].
Hotel Dorsett dekat sekali dengan area Shoreditch, ini adalah area paling nyeni di London. Kalau kamu jalan-jalan ke London dan mau melihat di mana daerah yang banyak hipsternya, datanglah ke Shoreditch. Kawasan ini dulunya daerah yang murah, pinggiran dan tak dilirik orang, tapi kemudian para seniman tinggal di sana, berkarya, membuat kawasan itu hidup sehingga sekarang jadi daerah yang mahal. Kalau kamu mau melihat street art, maka Shoreditch adalah tempatnya. Buat yang belum tau street art, ini adalah karya seni berupa visual yang ada di jalanan. Street art berbeda dengan graffiti, karena street art biasanya punya pesan yang mau disampaikan. Sedangkan graffiti lebih ke menonjolkan diri sendiri. Makanya kalau graffiti biasanya berupa tulisan nama seseorang. Sedangkan street art, yang penting pesannya, bukan si pembuatnya. Nama si seniman biasanya hanya tertulis kecil. Nah, dinding-dinding Shoreditch penuh dengan street art dan graffiti.
Menurut guide kami, street art membuat sebuah restoran, café atau toko jadi lebih menarik. Orang-orang mampir ke situ, berfoto, dan biasanya melihat-lihat ke dalam sehingga memunculkan banyak pelanggan baru. Ada yang membuat street art nya karena merasa dindingnya bagus untuk jadi kanvas, tak sedikit juga yang membayar senimannya untuk menghias dindingnya. Street art sekarang bahkan dijadikan alat promo. Ketika memakai billboard berumur pendek, street art biasanya akan bertahan lama dan lebih indah dilihat. Saya melihat street art yang mempromosikan film Kingsmen 2 di sana, juga street art yang mempromosikan event yang padahal sudah lewat tapi masih terpampang di sana dengan bagus.
Di beberapa dinding, saya melihat karya Banksy, seorang street artist dari London yang terkenal akan karyanya tapi belum diketahui identitasnya oleh publik. Pemprov London melindungi karyanya dengan semacam fiber supaya karyanya tak dirusak orang. Kata guide kami, Banksy memang sering melakukan itu. Dia membuat karya di jalanan supaya orang lebih mudah melihatnya dan karyanya bukan jadi barang mahal, karena kalau sudah ditaksir kurator biasanya akan bernilai tak masuk akal buat orang awam. Kalau kemudian karyanya dikenal dan dihargai mahal, biasanya Banksy akan membuat pernyataan yang menyangkal karyanya itu. Para street artists masih banyak yang membuat karya di jalanan juga karena pertimbangan bahwa kalau karya ditampilkan di jalanan, kemungkinan dilihat orang akan lebih banyak jika dibandingkan dengan di pameran seni di galeri. Kunjungan ke London kali ini memang sangat artsy, saya diajak ke pameran seni yang menampilkan karya Jean-Michel Basquiat, seorang pelukis dari New York, Amerika Serikat. Kami tak boleh memotret selama di sana. Mungkin takut ada yang menirunya, atau entah apa lah pertimbangannya. Mungkin supaya tetap menarik sehingga orang harus datang ke sana kalau mau melihat lukisan-lukisannya. Mungkin juga supaya merchandise nya laku.
Buat saya, yang paling menarik dari Shoreditch adalah Rough Trade East, sebuah toko rekaman yang menjual banyak sekali CD, vinyl, dan barang-barang berhubungan dengan musik. Wah, ini juga salah satu surga duniawi pengeruk uang. Vinyl yang dijual di sini, baru. Memang, di Camden banyak juga toko rekaman yang menjual vinyl, tapi biasanya bekas. Kalau perbandingannya di Indonesia, vinyl di Rough Trade East termasuk murah. Dan yang paling penting, keberagaman koleksinya sih, yang juara.
Malam harinya, kami nonton musikal Lion King. Kata orang, belum lengkap ke London kalau belum nonton musikal. Dan Alhamdulillah, lengkap sudah kunjungan ke London saya kali ini. Luar biasa para aktor dan aktris ini. Mereka memainkan cerita yang sama setiap hari selama bertahun-tahun. Ada banyak musikal yang bisa ditonton selama di London. Kalau kamu ke sana dan punya banyak waktu, saya sarankan kamu nonton salah satunya. Yah, daripada cuma berfoto di Madame Tussaud atau belanja di Bicester Village.
Hari berikutnya, saya menonton pertunjukan stand-up comedy dari Gabriel Iglesias, stand-up comedian bertubuh gempal, atau fluffy, begitu dia bisa menyebutnya. Mo Sidik lah kalau di Jakarta mah. Gabriel tampil selama 45 menit membawakan materi turnya, dan sisanya, ini yang baru buat saya, dia membawakan lawakan lama, yang sudah dikenal orang. Macam band memberikan sesi rekues kepada penonton. Dan yang hebatnya, serasa satu gedung Apollo Theater, mengucapkan punch line dari setiap lawakan yang sudah dikenal itu dengan benar! Mirip sing along pada lagu. Luar biasa.
Hari terakhir di London, sebelum pulang, Jumat 29 September 2017, saya berkunjung ke Ace Café. Buat yang cinta motor, pasti tahu motor tipe café racer. Itu loh, motor yang nyetirnya bungkuk macam pembalap dan biasanya joknya cuma buat seorang. Istilah café racer muncul dari sana. Tahun 60-an, anak-anak muda di sana balapan dari café ke café sehingga disebut café racer. Ace Café adalah salah satu tempat sakral buat pecinta motor. Jaraknya hampir satu jam dari pusat kota London kalau kita ke sana naik kereta dan bis kota. Tempatnya luas. Makanan dan minumannya sih relatif terjangkau lah, kalau ukurannya harga makanan di London. Bukan restoran mewah lah. Di dalam café, ada beberapa motor dipajang, juga ada sudut yang menjual pernak-pernik Ace Café. Sekarang, di depan para pecinta motor, saya bisa nyombong: Saya dong, udah pernah ke Ace Café! Hahaha.
2 Comments