We Don’t Need Fairy Tales!
Sinjitos Records sedang giat-giatnya memromosikan album Curiouser and Curiouser dari Santamonica.
Rabu [5/3] siang lalu di Blitz Megaplex, mereka mengundang jurnalis dalam rangka pemutaran video klip single kedua mereka, “Ribbons and Tie.”
Bicara soal musik Santamonica, saya sempat dibuat mengernyitkan kening ketika sekira setahun lalu melihat mereka di panggung, membawakan musik yang berbeda dari EP mereka. Entah karena kuping saya masih menyukai musik mereka yang sebelumnya, entah karena saya belum siap mendengar perubahan itu, entah karena waktu itu Santamonica memang sedang tak bermain dengan bagus, entah karena aransemen musik yang mereka mainkan di dua pensi itu belum sematang seperti di album terbaru mereka.
Musik mereka sekarang, terdengar sophisticated, tapi masih catchy dan tak membuat kening berkerut. Yah sedikit banyak mirip nuansa penampilan Iyub dan Dita lah. Fashionable, pintar memadupadankan warna dan model, tapi tidak terlihat aneh dan tidak terlihat intimidatif buat orang yang non fashionable macam saya. Tanpa pretensi.
Dan sebagai sebuah single, “Ribbons and Tie,” ini sepertinya punya potensi untuk jadi single yang bisa menarik kuping baru. Sekarang, persoalannya tinggal bagaimana kemampuan promosi Sinjitos Records dan tentu saja kemauan media massa elektronik untuk mau memberi porsi buat musik Santamonica.
Dan siang itu, video klip yang tak kalah menarik dari lagunya, diputar perdana di depan publik. Ini kali pertama buat saya menyaksikan pemutaran video klip di bioskop mewah macam Blitz Megaplex. Seperti pemutaran perdana film layar lebar saja. Ada penjelasan dari sutradara, perkenalan kru, tanya jawab, dan tentu saja makan gratis. Hehe.
Si sutradara, mengambil konsep video klip itu dari lirik “We don’t need fairytales, we do it our way.” Intinya, sebuah kisah tak harus seindah dongeng dan punya akhiran yang klise bahagia hidup selamanya.
Saya jadi teringat tiga film bertema cinta yang beberapa hari lalu saya tonton; “Ayat-ayat Cinta,” “Love,” dan “From Bandung With Love.”
“Love” yang paling bagus menurut saya, di antara ketiganya. Dan saya sarankan untuk tidak tergiur dengan “From Bandung With Love.” “Ayat-ayat Cinta,” sinematografinya bagus, Carissa Putri-nya memang sungguh pemandangan yang indah, tapi ceritanya saya heran. Cerita begitu kok bisa digilai banyak perempuan ya? Itu kan seperti menggabungkan kisah Nabi Yusuf dan Sleeping Beauty, serta oya jangan lupa, Catatan Si Boy. Hanya bedanya, di “Ayat-ayat Cinta,” diselipi dakwah. Ada kesamaannya dengan film-film Rhoma Irama jaman dulu lah. Hehe.
Ah, maaf jadi melantur.
Begitu mendengar penjelasan soal inspirasi konsep klip, saya jadi bertanya-tanya, apakah lirik itu berasal dari pengalaman Iyub dan Dita. Mungkinkah ada orang yang pernah memandang sebelah mata pada kisah cinta mereka? Hehe. Maklum, asumsi-asumsi itu pengaruh tiga film cinta yang saya tonton beberapa hari sebelumnya. Ketika saya tanya Dita soal apakah lirik ‘We don’t need fairy tales, we do it our way,” merupakan salah satu bentuk kritik terhadap kisah cinta yang cantik seperti kisah cinta di dalam komik, dia menjawab…
Hmmm, saya lupa tepatnya dia menjawab apa. Hahaha. Kurang lebih sih, dia menjawab ya memang ada unsur kritik itu lah, sedikit. Maaf saya lupa. Mungkin kalau Dita membaca ini, bisa menjawab pertanyaannya. :p
Anyway, ini sedikit foto dari acara Rabu siang itu. Waktu Iyub mengundang saya ke sana, dan saya bertanya untuk majalah apa Yub?
“Majalah Multiply aja Leh,” dia tertawa.
Jadi, ini dia Yub, liputannya.
0 Comments