DJ Romy: “Ada Kesalahan Klub-klub di Utara Sana!”
Salah satu DJ
Dari album pertama sampe sekarang, ketiga, perbedaan apa yang paling terasa dalam karir bermusik Anda?
Yang pertama, saya maenin lagu orang
Album kedua, membawakan lagu sendiri?
Kenapa baru sekarang bisa buat lagu sendiri? Faktor skill atau faktor alat?
Factor alat. Jaman dulu, soft ware juga belum terlalu banyak yang bagus. Sekarang
Perkembangan teknologi membantu sekali ya?
Membantu banget.
Tahun 2000 ke sini sih, udah mulai pelan-pelan. Tapi yang lebih menggila, 2003 ke atas, itu soft ware udah menggila.
Oh iya dong. DJ luar juga, nggak semuanya yang berduit. Malah, Tony Thomas bilang sama saya, ‘Man, shit! Your studio is very huge. All I got, is computer, controller, and one keyboard.’
Dari awal ketika memutuskan untuk jadi DJ, memang sudah berniat ingin buat album?
Nggak. Jadi gini. Tahun ’96 saya sudah pernah buat lagu. Tapi dengan alat yang sangat norak ya. [tertawa]. Saya sempat vakum, terus tahun 2002 baru mulai lagi.
Kenapa vakum?
Gimana ya? Masih bego sih. Mau cari alat apa yang bagus untuk buat lagu? Dulu cuma pake satu kibord doang. Terus, komputer juga saya pernah mencoba, hang melulu. Sekarang
Pada momen apa Anda memutuskan untuk jadi DJ?
Pulang dari
Pada titik apa, keinginan Anda kuat untuk bikin lagu?
Ya tahun ’96 itu. Cuma, saya mentok. Kenapa sound saya tidak bisa seperti bule ya? Dulu mikir, gimana ya mereka bisa dapet sound seperti itu? Sekarang sih, Faithless di panggung, dua kibordnya sama dengan punya saya. Saya juga sudah punya duit banyak. Jadi bisa punya alat itu.
Romy sekarang dengan Romy di tahun ’90-an, percaya dirinya lebih besar dong ya.
Manusia tidak ada puasnya. Cuma, sound saya, sudah berani lah diadu. Nah itu, plat yang hitam itu [menunjuk ke salah satu plat yang ada di studio]. Waktu itu, teman saya bikin lagu. Saya bilang, ini teman saya Tony Thomas sama Terry Francis janji rilisin saya lagu, nggak dirilis-rilis juga. J Reverse bilang, nih, saya kirim detil, coba kamu remix. Akhirnya saya mix di sini, terus dikirim ke dia. Nah, dia email balik ke saya, ‘Man, this is fucking good!’ We’re gonna release the track. Akhirnya, alhamdulillah saya punya rilisan di Eropa. Lumayan lah, jadi DJ Indonesia, jadi salah satu pelopor yang bisa rilis di Eropa. Dan itu nggak mudah.
Apa yang pengaruh yang paling terasa setelah lagu Anda dirilis di plat itu?
Dengan pede-nya saya email teman-teman DJ, Tony Thomas, Terry Francis dan lain-lainnya, ‘Hey guys finally I released a track. Actually it’s Jackie Reverse’s track. I remix it, now I’m in your world!’ [tertawa]
Belum. Saya belum rilis lagu sendiri. DJ Romy sendiri. Di Eropa belum main. Kalau Asia sih, udah berkali-kali. Yah lumayan lah.
Kalau di Indonesia bagaimana? Sudah kepegang ya.
Kepegang sih nggak. Cuma, paling tidak, sudah tahu lah orang. Banyak juga DJ yang bagus, yang kelasnya sudah A. Senior-senior.
Sepertinya sih begitu [tertawa].
Apa yang berubah dari crowd dance musik sekarang dibandingkan ketika dulu Anda memulai karir?
Yang pasti, musik sound-nya dari dulu makin gila. Evolusi musik house itu macam-macam. Crowd
Support dalam bentuk memberi ijin untuk rave party?
Diberi ijin dan disupport dalam bentuk cari sponsor. Misal, dibuat Indonesian Dance Festival. Itu yang datang DJ yang bayarannya di atas 10 ribu Pound. Dan harus dicanangkan, bahwa house music is not drugs! Paling penting
Kalau begitu, masih banyak orang yang datang ke rave party untuk ngeceng saja?
Itulah house culture. Harus lebih diketahui. Kalau cuma cari cewek sih, nggak usah di rave, di pasar juga bisa. Cuma maksudnya, house culture
Datang, diperiksa polisi.
Iya. Oke lah kalau diperiksa nggak apa-apa. Rave nggak boleh bawa senjata api, nggak boleh bawa macam-macam di tas. Di KL juga diperiksa. Cuma merasa bebas. Bukan diperiksa karena Anda dicurigai sebagai bandar. Tapi, demi kenyamanan acara. Kita santai saja. Masuk rave seru-seruan. Di sini
Sudah banyak ya, crowd yang datang yang mengerti bagaimana itu DJ yang bagus?
Kalau nggak banyak, kenapa kalau DJ A, DJ B, DJ C maen rame. Tapi kalau DJ kelas 3 belum tentu rame. Kenapa? Karena orang sudah mencari nama DJ. Sudah jarang, orang yang datang cuma ingin tripping. Orang-orang tua di atas
Sasaran album Anda siapa?
Musik saya buat siapa saja. Orang bisa dengar lagu saya, kapan saja. Sambil makan, orang suka. Di mobil pulang kerja, orang suka. Clubbing, bisa juga. Malah itu yang paling penting. Saya ingin musik house ini diterima segala kalangan. Dan itu susah. Kalau saya tampil
Sampai saat ini, sudah terjual berapa kopi?
Tiga minggu sejak rilis saja, sudah empat ribu. Kata labelnya, biasanya nggak secepat itu. Ya saya bangga lah. Senang.
Lantas, apa yang terlintas di benak Anda setelah tahu kenyataan itu?
Yang pasti, saya sih sasarannya adalah meng-educate orang yang dengar, bahwa house DJ itu sudah jadi produser, bukan cuma memainkan lagu orang. Dan saya tulis di situ, Support Drugs Free Club. Supaya mereka mendukung house itu bukan untuk nge-drugs. Karena saya salah satu DJ yang mengibarkan bendera drugs free.
Memang, sejak awal nge-DJ nggak pernah nge-drugs?
Oh dulu pernah. Awal-awal nge-DJ. Saya nggak munafik.
Lantas, apa yang membuat Anda berhenti?
Kesadaran saja. Bahwa house itu bukan dengan itu. Lama-lama juga tidak cocok. Itu culture! Bukan drugs. Fashion-nya. Coba lihat kalau clubbing. Sepatunya Adidas, Puma, YNLT, kalau dia makin ke atas, bajunya Prada yang begitu-begitu. Jadi, connecting-nya banyak. Sekarang begini, Anda clubbing pakai baju kantor, sepatunya Bally, minder
Kita bakal sampai ke titik itu?
Nggak tahu ya.
Harus kondisinya tenang dan nyaman dulu ya?
Untuk sampai ke kondisi itu iya. Di sini
Tiba-tiba, wartawan Suara Pembaruan yang menunggu giliran wawancara, masuk ke studio tempat kami melakukan wawancara. Berteriak ada gempa. Dan saya baru sadar, kalau ternyata, kursi, kibord dan alat-alat Romy bergoyang. Dan wawancara pun dihentikan.
0 Comments