Mendadak Jadi Pelawak
Halo Blogspot, sudah kira-kira setahun saya jadi stand up comedian.
Rasanya sekarang saat yang pas untuk menulis soal pengalaman ini. Plus, saya sudah lama tak menulis di blog. Rindu nih, menulis karena keinginan bukan karena kewajiban. Hehe.
Oke, saya akan mulai dari pertanyaan yang paling sering ditanya orang. Bagaimana awal mulanya jadi stand up comedian?
Pertanyaan ini selalu ditanya ketika wawancara. Kalau saya berkarir sudah lebih dari lima tahun, pasti saya akan kesal. Tapi saya sadar diri, bahwa belum banyak yang tahu soal ini, jadi meskipun dengan sedikit perasaan bosan saya selalu menjawabnya.
Adalah seorang kenalan bernama Zaki yang mengajak saya untuk tampil stand up pertama kali. Zaki adalah salah seorang penyiar di Radio Global, yang punya program musik cutting edge saya lupa nama programnya.
“Wah gua nggak bisa euy. Mau ngomong apa gua selama setengah jam?” kata saya.
“Aah, gua yakin elu pasti bisa. Kalo ngemsi kan elu sebenernya udah sering stand up,” jawab Zaki.
Selain menjadi jurnalis, sejak kerja di Rolling Stone Indonesia, saya sering menjadi MC di event musik, dan lebih sering sendirian alias tak ada partner. Berhubung jeda di setiap pergantian band membutuhkan waktu paling cepat sepuluh menit, saya selalu berceloteh ngalor ngidul di panggung, mengisi waktu supaya penonton tak bosan. Rupanya celoteh saya disukai banyak orang, yah buktinya mereka tertawa mendengarnya.
Sebelum diajak Zaki untuk stand up, sebenarnya orang pertama yang mengatakan saya seperti melakukan stand up comedy ketika ngemsi adalah Cholil Machmud, vokalis Efek Rumah Kaca.
“Elu tuh kalo ngemsi, jadinya kayak stand up comedy ya Leh,” kata dia.
Oya, kembali lagi ke Radio Global. Jadi, mereka punya kegiatan off air dari program yang dipandu Zaki dan dua kawannya: Wisnu vokalis/gitaris Monkey to Millionaire dan Tony, gitaris The Brandals.
Akhirnya saya setuju untuk mencoba tawaran Zaki.
Di event itu, ada tiga band yang tampil: band pertama saya lupa namanya, band kedua adalah Denial, dan band terakhir adalah White Shoes and The Couples Company. Saya tampil sebelum White Shoes.
Malam itu, ada seorang kawan, Faesal Rizal, videographer, membawa handy cam. Saya meminta dia merekam penampilan saya dari awal hingga akhir untuk dimuat di Youtube. Niatnya cuma satu: biar gaya, seperti banyak orang, punya video di Youtube. Hehe.
Dari jatah waktu tiga puluh menit yang disediakan panitia, ternyata saya tampil selama empat puluh menit. Materinya sebagian besar ya tentang diri saya, tentang culture shock saya ketika datang di Jakarta, tentang beberapa hal yang pernah saya twit, dan juga meledeki teman-teman yang kebetulan nonton di sana.
Tak lebih dari seratus orang menonton penampilan perdana saya, tapi malam itu ternyata memberi pengaruh yang besar di kemudian hari.
Dan oya, saya dibayar lima ratus ribu rupiah malam itu.
Kalau kamu mau melihat penampilan saya malam itu, silakan ketik: Soleh on Standing [judul yang aneh, tapi biarlah terserah Faesal yang mengunggah] di Youtube. Ada tiga video, agak gelap memang, tapi suaranya cukup jernih kok.
Stand up perdana saya itu kira-kira Agustus 2010.
Kemudian pada 13 Juli 2011, komunitas Stand Up Indo lahir yang ditandai event stand up nite pertama mereka di Comedy Cafe, Kemang. Ini juga ada videonya di Youtube. Silakan cari aja di akun standupindo. Mereka tadinya berkumpul dalam rangka berlatih sebelum tampil di program Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV. Ernest Prakasa dan Ryan Adriandhy beberapa di antara finalis yang lolos ke kompetisi itu.
Ernest dan seorang kru Kompas TV mengajak saya ikut audisi. Tapi saya menolak. Pertama, karena kalau lolos, saya pasti harus ijin dari kantor [maklum, mereka ada karantina setiap minggu]. Kedua, saya malas ikut kompetisi. Kalau di TV terlihat gagal, pasti akan menyebalkan. Ketiga, kalau saya ikut program itu artinya setiap minggu harus memikirkan materi untuk tampil. Wah, pekerjaan di kantor saja sudah cukup menyita waktu.
Saya tadinya diminta tampil di event Stand Up Nite pertama itu, tapi karena bentrok dengan jadwal siaran, saya tak bisa berpartisipasi. Pada saat ini, istilah stand up comedy mulai dikenal banyak orang, khususnya anak muda. Terima kasih pada Pandji Pragiwaksono dan Raditya Dika idola anak muda yang punya banyak followers di Twitter.
Tapi, selain Kompas TV, ternyata di saat yang bersamaan dengan Metro TV juga berencana membuat program stand up comedy. Suatu malam, seorang yang entah jabatannya apa, menghubungi saya untuk tampil di program itu. Katanya sih, mereka menonton video saya di Youtube, makanya mengajak saya.
“Kalau angkanya cocok sih, saya mau aja Mbak ikutan,” jawab saya.
Tak dinyana, angka yang saya tawarkan disetujui Mbak itu. Saya sengaja menyebut angka yang cukup besar karena sebenarnya saya tidak percaya diri, takut garing. Padahal, saya belum punya pengalaman profesional di televisi, tapi angka yang menurut saya cukup besar itu, bisa lolos. Sebagai gambaran, angka itu adalah hampir setengahnya dari gaji saya selama sebulan sebagai Editor di Rolling Stone Indonesia.
Agustus [atau September ya saya lupa] 2011 saya syuting program Stand Up Comedy Show di Metro TV. Saya diminta untuk tampil dua episode. Dan stand up comedian atau comic yang pertama kali taping di program itu adalah saya. Haha. Bangga lah, saya.
Silakan cari di Youtube, ada orang yang mengunggahnya ke sana. Episode perdana saya membawakan materi yang sedikit menggoda pemilik Metro TV: Surya Paloh. Yang ternyata lolos edit.
Ini adalah peristiwa kedua yang mempengaruhi karir dan finansial saya.
Angka followers menanjak drastis: dalam setengah jam, saya mendapat dua ribu followers baru [makanya, followers twitter saya terbagi ke dua: mereka yang tau saya sebagai jurnalis dan mereka yang taunya saya stand up comedian]. Cuma sedikit yang mengatakan saya garing, sebagian besar berpendapat saya lucu. Alhamdulillah. Tapi, meski begitu sebenarnya saya tak terlalu peduli. Yang saya peduli adalah bahwa produser puas, dan pembayaran lancar.
Dan episode perdana itu seakan-akan jadi momen di mana saya dinobatkan sebagai stand up comedian. Orang-orang mengenal saya sebagai pelawak. Padahal, di blog ini, beberapa tahun lalu saya pernah menulis bahwa saya kurang jelek untuk jadi pelawak. Haha.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang jadi inspirasi saya?
Saya tak punya idola stand up comedian. Jadi pelawak tak pernah masuk dalam angan-angan saya. Berbeda dengan sebagian besar stand up comedian di Indonesia yang sekarang muncul, stand up comedy bukanlah salah satu kecintaan saya. Makanya, saya tak paham teorinya, dan jaraaang sekali menonton stand up comedy dari luar. Dan makanya saya tak pernah menulis materi. Paling mendekati dengan menulis, adalah saya mencatat poin-poin. Ada kawan saya yang menulis detil kalimat yang dibawakannya di panggung. Saya beberapa kali mencatat poin-poin, tapi pas tampil malah melebar ke mana-mana, tak sesuai dengan yang direncanakan karena terpancing dengan situasi yang saya lihat dari panggung. Saya sih prinsipnya: kalau lucu ya syukur, kalau tak lucu juga tak akan ditanya di alam kubur oleh malaikat.
Satu-satunya orang yang mempengaruhi saya untuk melawak ketika kecil adalah KH Zainuddin MZ. Bapak saya membeli kaset almarhum da’i sejuta umat itu dan saya terbahak mendengarnya. Makanya, saya sempat bercita-cita jadi ustadz karena menyukai Zainuddin MZ. Belakangan saya baru tahu, bahwa sebenarnya bukan jadi ustadz yang menarik buat saya, tapi membuat orang tertawa.
Tapi cita-cita menjadi ustadz langsung sirna begitu kelas 5 SD saya melihat John Travolta di film Grease [1978] yang memakai jaket kulit, kaos oblong putih, jins dan boots. Rock n’ roll lebih menarik dibandingkan kopiah dan sarung.
Meski tak pernah bercita-cita jadi pelawak, sejak kecil saya selalu membayangkan bisa tampil di depan banyak orang, dan mereka mendengarkan saya berceloteh. Mungkin itu sebabnya saya pernah berkeinginan jadi ustadz, karena ingin ada sensasi itu.
Disingkat saja ya ceritanya, kepanjangan nih. Selain karena saya sudah capek, kamu juga pasti sudah mulai bosan bacanya.
Intinya, akhirnya setelah tampil di Metro TV, saya mendapat banyak tawaran manggung off air. Hingga kini, macam-macam event yang sudah saya datangi: gathering yang diadakan oleh perusahaan, acara komunitas, hingga event yang dihadiri politikus [saya pernah tampil di depan Megawati dan Jokowi – Ahok sebelum mereka lolos jadi Gubernur DKI].
Tapi, kenikmatan psikologis berbanding terbalik dengan kenikmatan finansial. Di acara-acara di mana saya dibayar mahal [lebih dari gaji saya selama sebulan di Rolling Stone Indonesia], kenikmatan manggung tak saya dapatkan. Maklum, tak bebas bicara [padahal, kekuatan saya adalah ketika saya dibebaskan bicara dan penonton iklas mendengarkan] dan penontonnya sebagian besar belum pernah menonton stand up comedy. Kadang saya merasa tak enak kepada pengundang. Sudah bayar mahal, tapi saya tampil tak maksimal. Banyak juga sih saya sukses di acara yang kaku dan formal, tapi di acara yang dibayar minim, justru kenikmatan itu jauh lebih besar.
Oya, sampai saat ini, saya belum pernah open mic [latihan di cafe alias tampil di event yang memang buat berlatih]. Sejak pertama tampil, hingga sekarang, saya selalu dibayar [kecuali satu kali, ketika tampil di event amal]. Ini adalah paragraf untuk belagu. Haha.
Tapi ada menyenangkan dan tak menyenangkannya dikenal sebagai stand up comedian.
Yang tak menyenangkannya, kadang-kadang ada momen di mana orang-orang berkata, ‘Ngelawak dong. Bikin kita ketawa,’ padahal itu sedang kumpul-kumpul biasa. Saya yakin, penyanyi tak pernah disuruh begitu ketika kumpul-kumpul yang memang tak ada kegiatan bernyanyinya.
Yang menyenangkannya: punya banyak teman baru, yang profesinya macam-macam: dari pengusaha hingga pesulap amatir. Yang menyenangkan lainnya juga sering kali bertemu orang di jalan, dan mereka berkata “Mas, saya sering lihat mas di stand up comedy, lucu. Saya suka,”
Mendengar orang berbahagia karena yang saya lakukan adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Dan dikenal banyak orang karena karya, bukan karena skandal juga menyenangkan.
Tapi tak sedikit juga sih yang mengenalnya agak ragu-ragu.
“Mas tuh yang suka tampil di stand up comedy kan? Namanya siapa ya mas?”
“Solihin kan? Mas Solihin ya?”
“Kayak pernah lihat mas. Yang suka di Metro TV kan? Acara apa ya itu mas?”
“Mas yang ada di sit up comedy kan?”
Dan masih banyak respon lainnya.
Sudah ah, segitu saja dulu. Sampai jumpa di tulisan berikutnya.
0 Comments