Ini sedikit foto dari konser launching album The S.I.G.I.T. kemarin.
Tetta, pacar saya, bawa kamera digital. Beberapa foto di bawah, hasil
jepretan Tetta, saya, dan Alin. Maklum, saya jarang sekali memasukkan
foto di multiply. Ini untuk menambah sedikit koleksi saya. Kamu bisa
baca tulisan saya soal konser itu, di bagian blog. Tadinya mau dimuat
di sini, sebagai pengantar untuk foto. Ternyata, malah terlalu panjang
buat intro.
Archives: Cerita
Anggun Tanpa C Sasmi
Video klip “Saviour” dilarang diputar di
Anehnya dilarang di
Padahal, penampilan Anda di video itu tidak vulgar.
Yang aku sebelnya di
Di lagu “Undress Me”, Anda minta diingatkan kalau tidak jadi diri Anda sendiri. Dalam kehidupan nyata, seberapa sering itu terjadi?
Setiap aku bikin lagu, itu bukan melulu otobiografi. Undress me itu sebenarnya hanya metamorfosis. Kalau cuma dilihat kalimat undress me, sudah jelas itu telanjangi saya. Tapi kalau kita lihat kalimat sebelumnya. ‘when I wear my bad moods to my mouth, you should undress me.’ Jadi, itu bukan baju yang dicopot. Jadi, kata-kata jelekku, kejahatanku kalau aku bicara. Bad mood lah. Makanya, jangan melulu ngambil satu kalimat, karena ini pasti salah kaprah. Dan ini pasti membina kesalahkaprahan.
Maksudnya, dalam kehidupan nyata, seberapa sering Anda bad mood?
Namanya juga perempuan. Setidaknya, seminggu sekali kami boleh bad mood. [tertawa]. Kan hormonal.
Di salah satu situs, saya baca Anda bilang, “Love is when you wake up in the morning and have a big smile.” Kenapa Anda bisa berkata seperti itu?
Itu buat aku memang benar. Cuma, sekarang cinta itu tidak melulu kebahagiaan. Kadang-kadang cinta bertepuk sebelah tangan. Jadi, kebahagiaan itu sangat relatif. Apakah kita bisa bahagia melihat dia bahagia? Jadi buat aku, sekarang, sebenarnya arti kata itu, kalau kita bangun dan tidur, kan ada hari yang berjalan. Apa yang terjadi di situ.
Apa bedanya bekerja dengan musisi indonesia dibandingkan musisi luar?
Bedanya kalau musisi luar sangat menghargai waktu. Lebih apa ya, pokoknya kalau jam karet itu kan, Indonesia banget. Sangat disiplin, sangat menghargai waktu. Sangat menghargai orang. Menghargai waktu tuh, ya ampun mas, kalau di Indonesia, menunggu itu sudah jadi sesuatu yang cultural. Makanya, kalau aku datang ke Indonesia, setiap kali aku menunggu wartawan, atau nunggu apapun. Kesannya tuh aku tidak dihargai. Kalau aku datang ke Indonesia, kan waktunya sempit sekali. Ini sudah sempit, mereka telat.
Intinya, soal disiplin waktu?
Aku cuma bisa bilang tentang musisi aku ya. Mereka nggak punya ego. Kebanyakan musisi di sini, kalau dipilih jadi musisi untuk artis, egonya itu ya artisnya itu. Musisi aku, setiap aku ke panggung, mereka nanya aku, boleh nggak pakai baju ini. Nah aku kan provide mereka dengan wardrobe. Aku inginnya mereka pakai hitam semua. Pokoknya aku kasih dresscode. Jadi segala sesuatunya minta ijin aku. Dulu, tahun ’90-an waktu aku kerja dengan musisi Indonesia, waktu itu mereka ka nasal-asalan saja.
Selain musiknya, apa sebenarnya yang membedakan Anggun sekarang dengan Anggun era ’90-an?
Ya bedanya dari semua sisi. Penampilan, musik, semua hal. Beda tuh pasti. Untungnya berbeda. Coba kalau sama. Itu kan justru saya malah yang khawatir.
Skala satu sampai sepuluh, berapa Anda menilai perkembangan karir Anda sekarang?
Aku sama sekali tidak mengukur begitu. Aku sama sekali bukan ibu guru. Nggak mau ngasih angka. Segala sesuatunya ada logikanya, ada prosesnya. Kalau kita ngasih angka, kesannya tuh kita nggak menghargai proses hidup, atau proses kehidupan seseorang.
Lantas, definisi sukses menurut Anda?
Sukses itu kalau kita bisa berhasil tanpa harus menjual diri dengan kemusikan saya. Jadi, nggak bikin kompromi yang akan saya sesalkan.
Bagaimana Anda melihat sosok Anda ketika memakai baret dan sepatu boots?
Ya sekarang lucu aja. Soalnya namanya juga proses. Itu kan awal ’90. Ya orang-orang dulu pakai bajunya seperti itu. Mungkin tidak berbaret ya, tapi rambutnya dulu ya aku pakai permanent. Ke sekolah ya begitu semua. Jadi nggak aneh.
Tahu tidak? Video klip “Tua Tua Keladi” masih diputar di salah satu tempat karaoke di Jakarta.
Justru waktu aku kemarin konser, aku bilang sama mas Jay, aku ingin daripada punya opening act, aku ingin opening act-nya lagu-lagu lamaku. Supaya orang-orang lihat aku tuh begini. Sekarang begini. Mereka jadi lihat proses perubahan atau metamorfosis seorang Anggun.
Kemarin sempat tinggal di Kanada ya. Apa bedanya tinggal di Kanada dengan Paris?
Sebenarnya aku bisa tinggal di mana saja. Cuma di Paris lebih praktis saja. Karena pekerjaan aku kan terpusat di sini.
Apa sih yang Anda rindukan dari Indonesia?
Aku rindu keluargaku, temen-temenku, sama suasana hidup di sana yang serba mudah.
Memang apa bedanya dibandingkan dengan tempat tinggal Anda sekarang?
Di sini, segala sesuatunya serba Euro. Mahal dong. Dan serba ini, segala sesuatunya lebih rumit orang-orangnya. Kadang-kadang harus bersilat lidah. Supaya mendapatkan sesuatu. Jadi kesannya, kita lebih akal-akalan. Di Indonesia kan segala sesuatunya gampang. Punya anak gampang. Kalau misalnya kerja, ada babysitter, ada orangtua. Di sini kan nggak. Mahal. Belum tentu dapat babysitter yang baik.
Lantas, bagaimana Anda memandang indonesia sekarang?
Yang aku lihat dari sini, Indonesia sedang banyak sialnya. Dari alamnya. Kemarin di Jogja, kemarin tsunami. Cuma sayangnya yang tadinya aku pikir kan, Indonesia itu sedang jatuh. Malah aku pikir, kita harus bangun. Eh aku malah dengar, yang tsunami kemarin masih banyak yang korupsi. Ya ampun, itu uang untuk korban malah dikorupsi. Aku jadi, sayangnya Negara kita tuh sebenarnya Negara yang kaya. Cuma kita tuh nggak bisa ngelolanya. Terlalu banyak orang yang punya mentalitas sangat feodal. Bertahun-tahun dijajah Belanda, sekarang dijajah bangsa sendiri.
Di salah satu tv, Anda bilang tidak mau lagi tinggal di sini. Waktu itu, karena RUU APP akan disahkan. Lantas, alasan utamanya karena karir, atau memang Indonesia sudah tidak nyaman lagi buat Anda?
Aku tidak pernah bilang, tidak mau lagi tinggal di Indonesia. Aku harus lihat dulu, bagaimana sisi ekonomisnya. Bagaimana sisi politiknya. Apakah Negara ini bisa bertoleransi. Kalau masih ada seperti Undang-Undang yang membuat kehidupan artis jadi lebih sempit, aku nggak mau. Kita jadi tidak bebas berkarya, bebas berpikir. Mana mau aku tinggal di Negara seperti itu. Sama saja seperti aku tidak ingin tinggal di Negara yang masih memberi hukuman mati ke seseorang. Karena buat aku, bukan manusia yang berhak atas hidup dan kematian seseorang. Makanya aku tidak bisa tinggal di Amerika. Karena masih ada hukuman mati. Di Indonesia juga.
Prancis bisa memberikan yang Anda harapkan?
Di Prancis sudah tidak ada hukuman mati dari tahun ’70-an. Dan enaknya di Prancis, seseorang berhak untuk berkarya dan membuat sesuatu yang mereka suka. Aku sangat menghargai itu. Cuma sayangnya di Prancis, pajaknya besar sekali. Wuuuuh. Aku bayar pajak bisa lima puluh persen. Jadi kalau tinggal di sini, dapat uang di sini, harus bayar. Walaupun Anda warga Negara Korea atau Cina.
Seberapa penting sih kewarganegaraan buat Anda?
Yang aku nggak sukanya dengan pertanyaan seperti ini, kesannya banyak orang nggak tahu. Padahal aku sudah ke kanan kiri menjelaskan kenapa aku pindah kewarganegaraan. Aku ganti warga Negara karena aku tidak dibantu sama pemerintah Indonesia. Kesuksesanku tidak dibantu sama sekali oleh orang Indonesia. Malah banyak orang Indonesia mengritik aku. Terus, sekarang aku sukses banyak orang bilang, ‘Oh dia seperti kacang lupa kulitnya. Ganti kewarganegaraan. Padahal, sama sekali nggak ada hubungannya dengan itu. Aku tuh kadang-kadang suka menyesal memberi informasi ini, karena banyak orang menuding dan bicara yang nggak nggak. Tapi dari dulu memang sudah seperti ini. Dikritik justru sama orang dari negeri sendiri. Orang lain bilang nggak ada masalah. Tapi buat orang Indonesia ada masalah.
Ada yang mempersoalkan nasionalisme ya?
Karena kan buat kebanyakan orang Indonesia, dan kebanyakan yang ditulis tentang kewarganegaraan, aku tuh dibilang meninggalkan Indonesia, kawin dengan orang bule, terus sekarang sangat sudah tidak Indonesia lagi. Sekarang malah justru akunya meninggalkan kewarganegaraan Indonesia. Buat mereka, aku sudah nggak Indonesia lagi. Padahal, apakah warna buku sekecil itu, yang ukurannya lima belas dan sepuluh centimeter mengukur kenasionalismean seseorang? Kan nggak juga. Kalau segala sesuatu diukur karena ah yang penting dia paspornya masih Indonesia, tapi kelakuannya tuh sangat tidak pro Indonesia, ngomongnya ke-Barat-baratan, terus sangat melecehkan Negara sendiri. Apakah itu lebih penting di mata Indonesia? Apakah lebih penting orang seperti aku? Yang mencoba mengangkat nama Indonesia dari luar, tapi tidak pernah dibantu sedikit pun oleh pemerintah. Malah dibantu Pemerintah Prancis.
Bantuan seperti apa sih yang diharapkan?
Aku tuh ingin dibantu seperti misalnya dipermudah soal visa. Makanya, aku minta ke orang KBRI. Karena orang KBRI banyak fasilitas. Jadi, aku datang ke Pak Dubes, aku tanya, Pak Dubes bisa nggak aku kasih fasilitas tertentu, supaya aku dipermudah setiap kali aku promosi ke Negara-negara. Setiap Senin, aku bangun setengah tujuh pagi, ke kantor-kantor kedutaan asing. Nah itu kan setiap hari. Aku kan harus kerja. Jadi, bukan pekerjaan aku ngantri untuk visa. Malah ada di beberapa Negara yang pasporku ditolak. Aku minta sama Pak Dubes, bisa nggak aku minta fasilitas? Dia malah bilang, ‘Nggak ah nggak bisa. Wong anakku juga nggak dapat kok.’ Memangnya, anaknya Pak Dubes tuh ngapain? Mereka paling sekolah di luar. Aku kan beda.
Perlakuan Pemerintah Prancis berbeda?
Justru aku malah dapat penghargaan. Karena aku mengangkat kultur Prancis di luar. Kebalik banget. Aku setiap kali wawancara dengan wartawan luar, mengangkat nama Indonesia. Aku bela-belain kalau ada masalah. Waktu Playboy kantornya dihancurkan, mereka nanya ke aku. Langsung aku bela-belain sampai berdarah-darah. Nah yang begitu, orang-orang nggak pernah lihat. ‘Kok, kamu ganti warga Negara sih? Nah, masalahnya yang Negara Indonesia kasih ke aku apa? Kenapa selalu akunya dituntut. Aku minta bantuan sekali saja.
Anda sakit hati karena itu?
Nggak. Cuma kaget saja. Kalau aku disinggung masalah ini dengan cara kesannya tuh dilecehkan. Dulu waktu aku pertama kali datang ke Indonesia dengan album pertama, “Snow on the Sahara”. Ada wartawan yang ngomong ke aku pakai bahasa Inggris. Karena mereka pikir aku sudah lupa bahasa Indonesia. Aku merasa tersinggung, sakit hati. Mungkin banyak artis Indonesia yang ngomongnya tuh setiap kali wawancara pakai bahasa Inggris. Setiap dua kata pakai bahasa Inggris, atau mengakhiri kalimatnya dengan kata-kata bahasa Inggris. Aku nggak!
Di negeri sendiri, Anda diperlakukan seperti itu ya?
Dan aku dituding. Karena sudah tidak tinggal di Indonesia lagi. Dan karena aku sudah tidak punya paspor Indonesia. Padahal, itu sama sekali bukan kemauan aku. Jadi, ironisnya tuh begitu. Tapi nggak apa-apa sih. Karena aku sekarang tidak peduli. Aku Cuma peduli sama pendapat keluargaku, teman-temanku, orang-orang yang aku kenal. Selain itu, yang mereka nggak kenal aku, terus ngritik, aku nggak mau dengar. Buat aku, itu bukan sesuatu yang normal. Setiap kali lihat di situs-situs, yang mengritik selalu orang Indonesia. Orang Italia memuji. Orang Amerika memuji. Orang Indonesia, ya ampun, ‘Videonya jelek. Fotonya jelek. Liriknya kok begitu?’ Jadi, aku selalu dikritik sama orang Indonesia. Kan aneh.
Menurut Anda kenapa?
Nggak ngerti. Makanya, aku tuh kesannya nggak mau membikin usaha untuk mereka. Jadi salah kaprah. Kalau aku nggak ngomong, dituding juga. Kalau ngomong, dituding lagi. Jadi, sekarang aku masa bodoh. Ini karirku. Ini hidupku. Pasporku. Aku nggak minta ijin dari siapapun. Sekarang satu-satunya orang yang bisa menolong aku, ya diri aku. Aku nggak mau mendengar kritik-kritik yang nggak membangun. Itu aku masa bodohin. Ya kita balik lagi ke titik awal. Menghargai usaha. Mungkin karena di Indonesia, banyak yang system apresiasinya berbeda. Aku pernah lihat konser orang Indonesia. Banyak yang VIP-nya, sudah pulang. Aku nonton konser salah satu diva. Pak pejabat datangnya telat satu jam. Datang dengan dua belas orang. Itu kan mengganggu orang lain. Dan kita tidak tahu cara mengapresiasi sesuatu. Usaha orang. Waktu orang. Bakat orang. Di Indonesia banyak orang pintar, tapi sayangnya kita tidak pernah diajari apresiasi.
Di luar lebih bagus ya soal apresiasi?
Jangan salah ya. Nggak semua yang di luar itu lebih bagus. Cuma, karena kita bicara soal apresiasi. Jangan disamaratakan dengan hal lain. Di luar tuh, ada debat. Misalnya, Playboy dibilang jahanam. Mereka terlalu sering dibilang seperti ini. Jadi salah kaprah. Jadi percaya. Padahal yang lebih parah dari Playboy lebih banyak. Sayangnya, tidak ada tempat untuk berdebat. Kalau di sini, kalau ada satu topic yang akan mengganggu. Orang-orang tukar pikiran. Debat. Masing-masing memberi opini. Jadi semua tahu. Di Indonesia kan nggak. Ini menjatuhkan perempuan lah. Ya nggak dong. Sayang aja.
Bagaimana pendapat Anda soal banyak musisi indonesia yang bilang ingin go international?
Lah wong akunya dulu juga begitu. Yang jelas, sekarang jangan ngomong aja. Bertindak.
Apa kritik Anda untuk industri musik di Indonesia?
Aku sama sekali nggak punya kritik-kritik yang apa-apa. Aku bukan pakar musik. Yang aku lihat cuma, ya ada tempat ada market untuk semua jenis musik. Yang aku sayangkan, jangan sampai pemerintah Indonesia menghalangi musikalitas seorang artis dan juga kehidupan artis. Pokoknya, dari cara dia mengekspresikan diri. Apakah dia dalam musik, dalam kata-kata, cara dia bergaya. Soalnya sebagai seorang musisi, artis kan kesannya bebas. Seperti pelukis, seperti pemahat. Pokoknya kalau dalam bidang seni, harus dilihat dan dinilai dari mata seni.
Apakah Anda mendokumentasikan karya-karya Anda dengan baik?
Nggak juga. Sebenarnya itu sama sekali bukan pekerjaannya seorang artis. Itu bukan tugas aku.Aku sama sekali nggak begitu koleksi. Justru banyak fansku yang koleksi. Mereka kasih lihat aku, ya ampun kamu dapat ini dari mana?
Sepayah itukah pria Indonesia sehingga anda memilih pria asing?
Nggak juga. Soalnya kan kalau kita jatuh cinta, itu tidak diatur. Dulu waktu masih SMP suka ditanya, ingin pacar yang gimana? Inginnya yang tinggi, yang lucu, segala macam. Itu kan kita tidak tahu kalau kita jatuh cinta. Apakah kita bisa mendisiplinkan hati? Nggak juga kan? Dan kebetulan karena nggak ada orang Indonesia yang naksir aku.
Apa bedanya pria asing dengan pria Indonesia?
Nggak tahu. Wong dulu pacaran dengan orang Indonesia waktu SMP dan SMA. Mungkin kalau pria Indonesia itu, suka sok kuasa. Segala sesuatunya harus minta ijin ke saya. Makanya, banyak sekali pertanyaan ke aku dari wartawan Indonesia, ‘Mbak suami mendukung nggak sih kegiatan mbak?’ Ya ampuun. Kalau suamiku nggak mendukung, ya suamiku aku pecat. Dianya kerja untuk aku. Jadi, di kultur Indonesia itu, segala sesuatu harus lewat suami dulu. Dibina supaya lelaki kuasanya lebih besar daripada perempuan. Perempuan harus cantik, supaya suaminya setia. Nah, kalau suaminya gemuk, nggak merawat diri. Istrinya bisa lari dong. Makanya, di generasi aku, kami menuntut yang sama dari laki-laki. Kami juga ingin laki-laki yang sosialitasnya bagus, yang bisa masak, yang bisa jaga anak, dan juga jagoan di tempat tidur. Masa kami diminta yang sama, laki-lakinya leha-leha begitu.
Sikap seperti ini sudah ada dari dulu, atau setelah tinggal di luar?
Ini kan setelah jadi dewasa. Segala sesuatu kan proses hidup. Dari pengalaman hidup, dari contoh-contoh yang dilihat dari kiri kanan, apakah keluarga, atau teman-teman. Aku kan sempat asosial sekali. Aku sangat hidup di sekelilingku, yang kawin cerai kawin cerai, mereka seperti apa hidupnya. Nah, dengan begitu aku sangat menekankan bahwa aku menuntut yang sama dari laki-laki. Dan buat aku, adil. Masa sih, kita jangan sampai lelaki menuntut keperawanan perempuan, sementara kita tidak bisa menuntut keperawanan laki-laki. Pokoknya, jangan sampai hak kemunafikan itu tidak boleh hanya di lelaki saja. Perempuan juga boleh.
Ada kelompok musik/penyanyi indonesia yang menarik minat Anda sekarang?
Aku suka Peterpan. Aku suka melodinya dia. Aku suka suaranya Agnes Monica. Aku suka Candil. Ooh. Dia kan Mariah Carey-nya Indonesia. Aku nge-fans banget sama Seurieus. Mereka musikalitasnya oke. Tapi menghibur. Lucu, tapi serius. Pokoknya waktu mereka bilang, aliran musiknya Happy Metal. Emang bener sih. [tertawa]. Itu konsep musik yang oke. Aku punya album mereka semua.
Album paling berkesan buat Anda?
And Justice for All dari Metallica. Itu masa remajaku banget. Dan sampai sekarang, kalau aku mau bernostalgia, pasti dengernya itu.
Anggun Tanpa C Sasmi
Ini versi yang belum diedit, untuk rubrik 20Q edisi Nopember kemarin. Wawancara dengan Anggun dilakukan di kantor
Universal Music Indonesia, Senin [10/7]. Selama 45 menit lewat sambungan
telepon internasional.
Video klip “Saviour” dilarang diputar
di
bagaimana perasaan Anda?
Anehnya
dilarang di
tetap saja dimainkan, waktu aku datang ke
kali datang ke acara tv, video itu diputar. [tertawa]. Jadi sebenarnya, itu
dilarang apa tidak? Maksudnya, officially itu dilarang. Tapi sebenarnya bisa
diputar.
Padahal, penampilan Anda di video itu
tidak vulgar.
Yang
aku sebelnya di
kalau kita menggunakan kata-kata seperti seksi, sensual. Kita
Jadi mereka kebanyakan suka salah kaprah. Aku pernah ditulis di salah satu
Koran, sebelum konser yang di JHCC kemaren. Ditulisnya, ‘Anggun berjanji akan
tampil vulgar.’ Sebenarnya arti vulgar untuk orang
wartawan
itu nggak ikut sekolah jurnalistik. Nggak ikut sekolah sastra untuk tau bahwa
setiap kata itu ada artinya. Nah kalau vulgar, arti vulgar itu apa? Sensual itu
apa? Seksi itu apa? Jadi, kalau aku dibilang vulgar, sebenarnya aku dituding
sekali. Karena apakah vulgar itu, sesuatu yang hubungannya dengan ikat pinggang
ke bawah. Atau, apakah itu kalau misalnya lihat orang pake short, celana
pendek,
renang itu vulgar? Apa telanjang itu vulgar? Masalahnya di Indonesia tuh, nggak
ada akses untuk melihat sesuatu yang bisa kita bandingkan. Jadi, karena dari
dulu dibilang ini dilarang, jadi kalau lihat perempuan yang agak terbuka
sedikit, bilangnya langsung vulgar. Itu
jorok? Masa sih, aku dibilang jorok. Maksudnya apa? Jangan sampai
wartawan-wartawan
membina kesalahpahaman ini.
Di lagu “Undress Me”, Anda minta diingatkan
kalau tidak jadi diri Anda sendiri. Dalam kehidupan nyata, seberapa sering itu
terjadi?
Setiap
aku bikin lagu, itu bukan melulu otobiografi. Undress me itu sebenarnya hanya
metamorfosis. Kalau cuma dilihat kalimat undress me, sudah jelas itu telanjangi
saya. Tapi kalau kita lihat kalimat sebelumnya. ‘when I wear my bad moods to my
mouth, you should undress me.’ Jadi, itu bukan baju yang dicopot. Jadi,
kata-kata jelekku, kejahatanku kalau aku bicara. Bad mood lah. Makanya, jangan
melulu ngambil satu kalimat, karena ini pasti salah kaprah. Dan ini pasti
membina kesalahkaprahan.
Maksudnya, dalam kehidupan nyata,
seberapa sering Anda bad mood?
Namanya
juga perempuan. Setidaknya, seminggu sekali kami boleh bad mood. [tertawa]. Kan
hormonal.
Di salah satu situs, saya baca Anda
bilang, “Love is when you wake up in the morning and have a big smile.” Kenapa Anda
bisa berkata seperti itu?
Itu
buat aku memang benar. Cuma, sekarang cinta itu tidak melulu kebahagiaan.
Kadang-kadang cinta bertepuk sebelah tangan. Jadi, kebahagiaan itu sangat
relatif. Apakah kita bisa bahagia melihat dia bahagia? Jadi buat aku, sekarang,
sebenarnya arti kata itu, kalau kita bangun dan tidur, kan ada hari yang
berjalan. Apa yang terjadi di situ.
Apa bedanya bekerja dengan musisi
indonesia dibandingkan musisi luar?
Bedanya
kalau musisi luar sangat menghargai waktu. Lebih apa ya, pokoknya kalau jam
karet itu kan, Indonesia banget. Sangat disiplin, sangat menghargai waktu.
Sangat menghargai orang. Menghargai waktu tuh, ya ampun mas, kalau di
Indonesia, menunggu itu sudah jadi sesuatu yang cultural. Makanya, kalau aku
datang ke Indonesia, setiap kali aku menunggu wartawan, atau nunggu apapun.
Kesannya tuh aku tidak dihargai. Kalau aku datang ke Indonesia, kan waktunya
sempit sekali. Ini sudah sempit, mereka telat.
Intinya, soal disiplin waktu?
Aku
cuma bisa bilang tentang musisi aku ya. Mereka nggak punya ego. Kebanyakan
musisi di sini, kalau dipilih jadi musisi untuk artis, egonya itu ya artisnya
itu. Musisi aku, setiap aku ke panggung, mereka nanya aku, boleh nggak pakai
baju ini. Nah aku kan provide mereka dengan wardrobe. Aku inginnya mereka pakai
hitam semua. Pokoknya aku kasih dresscode. Jadi segala sesuatunya minta ijin
aku. Dulu, tahun ’90-an waktu aku kerja dengan musisi Indonesia, waktu itu
mereka ka nasal-asalan saja.
Selain musiknya, apa sebenarnya yang
membedakan Anggun sekarang dengan Anggun era ’90-an?
Ya
bedanya dari semua sisi. Penampilan, musik, semua hal. Beda tuh pasti.
Untungnya berbeda. Coba kalau sama. Itu kan justru saya malah yang khawatir.
Skala satu sampai sepuluh, berapa Anda
menilai perkembangan karir Anda sekarang?
Aku
sama sekali tidak mengukur begitu. Aku sama sekali bukan ibu guru. Nggak mau
ngasih angka. Segala sesuatunya ada logikanya, ada prosesnya. Kalau kita ngasih
angka, kesannya tuh kita nggak menghargai proses hidup, atau proses kehidupan
seseorang.
Lantas, definisi sukses menurut Anda?
Sukses
itu kalau kita bisa berhasil tanpa harus menjual diri dengan kemusikan saya.
Jadi, nggak bikin kompromi yang akan saya sesalkan.
Bagaimana Anda melihat sosok Anda
ketika memakai baret dan sepatu boots?
Ya
sekarang lucu aja. Soalnya namanya juga proses. Itu kan awal ’90. Ya
orang-orang dulu pakai bajunya seperti itu. Mungkin tidak berbaret ya, tapi
rambutnya dulu ya aku pakai permanent. Ke sekolah ya begitu semua. Jadi nggak
aneh.
Tahu tidak? Video klip “Tua Tua Keladi”
masih diputar di salah satu tempat karaoke di Jakarta.
Justru
waktu aku kemarin konser, aku bilang sama mas Jay, aku ingin daripada punya
opening act, aku ingin opening act-nya lagu-lagu lamaku. Supaya orang-orang
lihat aku tuh begini. Sekarang begini. Mereka jadi lihat proses perubahan atau
metamorfosis seorang Anggun.
Kemarin sempat tinggal di Kanada ya.
Apa bedanya tinggal di Kanada dengan Paris?
Sebenarnya
aku bisa tinggal di mana saja. Cuma di Paris lebih praktis saja. Karena
pekerjaan aku kan terpusat di sini.
Apa sih yang Anda rindukan dari Indonesia?
Aku
rindu keluargaku, temen-temenku, sama suasana hidup di sana yang serba mudah.
Memang apa bedanya dibandingkan
dengan tempat tinggal Anda sekarang?
Di
sini, segala sesuatunya serba Euro. Mahal dong. Dan serba ini, segala
sesuatunya lebih rumit orang-orangnya. Kadang-kadang harus bersilat lidah.
Supaya mendapatkan sesuatu. Jadi kesannya, kita lebih akal-akalan. Di Indonesia
kan segala sesuatunya gampang. Punya anak gampang. Kalau misalnya kerja, ada
babysitter, ada orangtua. Di sini kan nggak. Mahal. Belum tentu dapat
babysitter yang baik.
Lantas, bagaimana Anda memandang
indonesia sekarang?
Yang
aku lihat dari sini, Indonesia sedang banyak sialnya. Dari alamnya. Kemarin di
Jogja, kemarin tsunami. Cuma sayangnya yang tadinya aku pikir kan, Indonesia itu
sedang jatuh. Malah aku pikir, kita harus bangun. Eh aku malah dengar, yang
tsunami kemarin masih banyak yang korupsi. Ya ampun, itu uang untuk korban
malah dikorupsi. Aku jadi, sayangnya Negara kita tuh sebenarnya Negara yang
kaya. Cuma kita tuh nggak bisa ngelolanya. Terlalu banyak orang yang punya
mentalitas sangat feodal. Bertahun-tahun dijajah Belanda, sekarang dijajah
bangsa sendiri.
Di salah satu tv, Anda bilang tidak
mau lagi tinggal di sini. Waktu itu, karena RUU APP akan disahkan. Lantas, alasan
utamanya karena karir, atau memang Indonesia sudah tidak nyaman lagi buat Anda?
Aku
tidak pernah bilang, tidak mau lagi tinggal di Indonesia. Aku harus lihat dulu,
bagaimana sisi ekonomisnya. Bagaimana sisi politiknya. Apakah Negara ini bisa
bertoleransi. Kalau masih ada seperti Undang-Undang yang membuat kehidupan
artis jadi lebih sempit, aku nggak mau. Kita jadi tidak bebas berkarya, bebas
berpikir. Mana mau aku tinggal di Negara seperti itu. Sama saja seperti aku
tidak ingin tinggal di Negara yang masih memberi hukuman mati ke seseorang.
Karena buat aku, bukan manusia yang berhak atas hidup dan kematian seseorang.
Makanya aku tidak bisa tinggal di Amerika. Karena masih ada hukuman mati. Di
Indonesia juga.
Prancis bisa memberikan yang Anda
harapkan?
Di
Prancis sudah tidak ada hukuman mati dari tahun ’70-an. Dan enaknya di Prancis,
seseorang berhak untuk berkarya dan membuat sesuatu yang mereka suka. Aku
sangat menghargai itu. Cuma sayangnya di Prancis, pajaknya besar sekali.
Wuuuuh. Aku bayar pajak bisa lima puluh persen. Jadi kalau tinggal di sini,
dapat uang di sini, harus bayar. Walaupun Anda warga Negara Korea atau Cina.
Seberapa penting sih kewarganegaraan
buat Anda?
Yang
aku nggak sukanya dengan pertanyaan seperti ini, kesannya banyak orang nggak
tahu. Padahal aku sudah ke kanan kiri menjelaskan kenapa aku pindah
kewarganegaraan. Aku ganti warga Negara karena aku tidak dibantu sama
pemerintah Indonesia. Kesuksesanku tidak dibantu sama sekali oleh orang
Indonesia. Malah banyak orang Indonesia mengritik aku. Terus, sekarang aku
sukses banyak orang bilang, ‘Oh dia seperti kacang lupa kulitnya. Ganti
kewarganegaraan. Padahal, sama sekali nggak ada hubungannya dengan itu. Aku tuh
kadang-kadang suka menyesal memberi informasi ini, karena banyak orang menuding
dan bicara yang nggak nggak. Tapi dari dulu memang sudah seperti ini. Dikritik
justru sama orang dari negeri sendiri. Orang lain bilang nggak ada masalah.
Tapi buat orang Indonesia ada masalah.
Ada yang mempersoalkan nasionalisme
ya?
Karena
kan buat kebanyakan orang Indonesia, dan kebanyakan yang ditulis tentang
kewarganegaraan, aku tuh dibilang meninggalkan Indonesia, kawin dengan orang
bule, terus sekarang sangat sudah tidak Indonesia lagi. Sekarang malah justru
akunya meninggalkan kewarganegaraan Indonesia. Buat mereka, aku sudah nggak
Indonesia lagi. Padahal, apakah warna buku sekecil itu, yang ukurannya lima
belas dan sepuluh centimeter mengukur kenasionalismean seseorang? Kan nggak
juga. Kalau segala sesuatu diukur karena ah yang penting dia paspornya masih
Indonesia, tapi kelakuannya tuh sangat tidak pro Indonesia, ngomongnya
ke-Barat-baratan, terus sangat melecehkan Negara sendiri. Apakah itu lebih
penting di mata Indonesia? Apakah lebih penting orang seperti aku? Yang mencoba
mengangkat nama Indonesia dari luar, tapi tidak pernah dibantu sedikit pun oleh
pemerintah. Malah dibantu Pemerintah Prancis.
Bantuan seperti apa sih yang
diharapkan?
Aku
tuh ingin dibantu seperti misalnya dipermudah soal visa. Makanya, aku minta ke
orang KBRI. Karena orang KBRI banyak fasilitas. Jadi, aku datang ke Pak Dubes,
aku tanya, Pak Dubes bisa nggak aku kasih fasilitas tertentu, supaya aku
dipermudah setiap kali aku promosi ke Negara-negara. Setiap Senin, aku bangun
setengah tujuh pagi, ke kantor-kantor kedutaan asing. Nah itu kan setiap hari.
Aku kan harus kerja. Jadi, bukan pekerjaan aku ngantri untuk visa. Malah ada di
beberapa Negara yang pasporku ditolak. Aku minta sama Pak Dubes, bisa nggak aku
minta fasilitas? Dia malah bilang, ‘Nggak ah nggak bisa. Wong anakku juga nggak
dapat kok.’ Memangnya, anaknya Pak Dubes tuh ngapain? Mereka paling sekolah di
luar. Aku kan beda.
Perlakuan Pemerintah Prancis berbeda?
Justru
aku malah dapat penghargaan. Karena aku mengangkat kultur Prancis di luar. Kebalik
banget. Aku setiap kali wawancara dengan wartawan luar, mengangkat nama
Indonesia. Aku bela-belain kalau ada masalah. Waktu Playboy kantornya
dihancurkan, mereka nanya ke aku. Langsung aku bela-belain sampai
berdarah-darah. Nah yang begitu, orang-orang nggak pernah lihat. ‘Kok, kamu
ganti warga Negara sih? Nah, masalahnya yang Negara Indonesia kasih ke aku apa?
Kenapa selalu akunya dituntut. Aku minta bantuan sekali saja.
Anda sakit hati karena itu?
Nggak.
Cuma kaget saja. Kalau aku disinggung masalah ini dengan cara kesannya tuh
dilecehkan. Dulu waktu aku pertama kali datang ke Indonesia dengan album
pertama, “Snow on the Sahara”. Ada wartawan yang ngomong ke aku pakai bahasa
Inggris. Karena mereka pikir aku sudah lupa bahasa Indonesia. Aku merasa
tersinggung, sakit hati. Mungkin banyak artis Indonesia yang ngomongnya tuh
setiap kali wawancara pakai bahasa Inggris. Setiap dua kata pakai bahasa
Inggris, atau mengakhiri kalimatnya dengan kata-kata bahasa Inggris. Aku nggak!
Di negeri sendiri, Anda diperlakukan
seperti itu ya?
Dan
aku dituding. Karena sudah tidak tinggal di Indonesia lagi. Dan karena aku
sudah tidak punya paspor Indonesia. Padahal, itu sama sekali bukan kemauan aku.
Jadi, ironisnya tuh begitu. Tapi nggak apa-apa sih. Karena aku sekarang tidak
peduli. Aku Cuma peduli sama pendapat keluargaku, teman-temanku, orang-orang
yang aku kenal. Selain itu, yang mereka nggak kenal aku, terus ngritik, aku
nggak mau dengar. Buat aku, itu bukan sesuatu yang normal. Setiap kali lihat di
situs-situs, yang mengritik selalu orang Indonesia. Orang Italia memuji. Orang
Amerika memuji. Orang Indonesia, ya ampun, ‘Videonya jelek. Fotonya jelek.
Liriknya kok begitu?’ Jadi, aku selalu dikritik sama orang Indonesia. Kan aneh.
Menurut Anda kenapa?
Nggak
ngerti. Makanya, aku tuh kesannya nggak mau membikin usaha untuk mereka. Jadi
salah kaprah. Kalau aku nggak ngomong, dituding juga. Kalau ngomong, dituding
lagi. Jadi, sekarang aku masa bodoh. Ini karirku. Ini hidupku. Pasporku. Aku
nggak minta ijin dari siapapun. Sekarang satu-satunya orang yang bisa menolong
aku, ya diri aku. Aku nggak mau mendengar kritik-kritik yang nggak membangun. Itu
aku masa bodohin. Ya kita balik lagi ke titik awal. Menghargai usaha. Mungkin
karena di Indonesia, banyak yang system apresiasinya berbeda. Aku pernah lihat
konser orang Indonesia. Banyak yang VIP-nya, sudah pulang. Aku nonton konser
salah satu diva. Pak pejabat datangnya telat satu jam. Datang dengan dua belas
orang. Itu kan mengganggu orang lain. Dan kita tidak tahu cara mengapresiasi
sesuatu. Usaha orang. Waktu orang. Bakat orang. Di Indonesia banyak orang
pintar, tapi sayangnya kita tidak pernah diajari apresiasi.
Di luar lebih bagus ya soal
apresiasi?
Jangan
salah ya. Nggak semua yang di luar itu lebih bagus. Cuma, karena kita bicara
soal apresiasi. Jangan disamaratakan dengan hal lain. Di luar tuh, ada debat.
Misalnya, Playboy dibilang jahanam. Mereka terlalu sering dibilang seperti ini.
Jadi salah kaprah. Jadi percaya. Padahal yang lebih parah dari Playboy lebih
banyak. Sayangnya, tidak ada tempat untuk berdebat. Kalau di sini, kalau ada
satu topic yang akan mengganggu. Orang-orang tukar pikiran. Debat.
Masing-masing memberi opini. Jadi semua tahu. Di Indonesia kan nggak. Ini
menjatuhkan perempuan lah. Ya nggak dong. Sayang aja.
Bagaimana pendapat Anda soal banyak
musisi indonesia yang bilang ingin go international?
Lah
wong akunya dulu juga begitu. Yang jelas, sekarang jangan ngomong aja.
Bertindak.
Apa kritik Anda untuk industri musik
di Indonesia?
Aku
sama sekali nggak punya kritik-kritik yang apa-apa. Aku bukan pakar musik. Yang
aku lihat cuma, ya ada tempat ada market untuk semua jenis musik. Yang aku
sayangkan, jangan sampai pemerintah Indonesia menghalangi musikalitas seorang
artis dan juga kehidupan artis. Pokoknya, dari cara dia mengekspresikan diri.
Apakah dia dalam musik, dalam kata-kata, cara dia bergaya. Soalnya sebagai
seorang musisi, artis kan kesannya bebas. Seperti pelukis, seperti pemahat.
Pokoknya kalau dalam bidang seni, harus dilihat dan dinilai dari mata seni.
Apakah Anda mendokumentasikan
karya-karya Anda dengan baik?
Nggak
juga. Sebenarnya itu sama sekali bukan pekerjaannya seorang artis. Itu bukan
tugas aku.Aku sama sekali nggak begitu koleksi. Justru banyak fansku yang
koleksi. Mereka kasih lihat aku, ya ampun kamu dapat ini dari mana?
Sepayah itukah pria Indonesia
sehingga anda memilih pria asing?
Nggak
juga. Soalnya kan kalau kita jatuh cinta, itu tidak diatur. Dulu waktu masih
SMP suka ditanya, ingin pacar yang gimana? Inginnya yang tinggi, yang lucu,
segala macam. Itu kan kita tidak tahu kalau kita jatuh cinta. Apakah kita bisa
mendisiplinkan hati? Nggak juga kan? Dan kebetulan karena nggak ada orang
Indonesia yang naksir aku.
Apa bedanya pria asing dengan pria Indonesia?
Nggak
tahu. Wong dulu pacaran dengan orang Indonesia waktu SMP dan SMA. Mungkin kalau
pria Indonesia itu, suka sok kuasa. Segala sesuatunya harus minta ijin ke saya.
Makanya, banyak sekali pertanyaan ke aku dari wartawan Indonesia, ‘Mbak suami
mendukung nggak sih kegiatan mbak?’ Ya ampuun. Kalau suamiku nggak mendukung,
ya suamiku aku pecat. Dianya kerja untuk aku. Jadi, di kultur Indonesia itu,
segala sesuatu harus lewat suami dulu. Dibina supaya lelaki kuasanya lebih
besar daripada perempuan. Perempuan harus cantik, supaya suaminya setia. Nah,
kalau suaminya gemuk, nggak merawat diri. Istrinya bisa lari dong. Makanya, di
generasi aku, kami menuntut yang sama dari laki-laki. Kami juga ingin laki-laki
yang sosialitasnya bagus, yang bisa masak, yang bisa jaga anak, dan juga jagoan
di tempat tidur. Masa kami diminta yang sama, laki-lakinya leha-leha begitu.
Sikap seperti ini sudah ada dari
dulu, atau setelah tinggal di luar?
Ini
kan setelah jadi dewasa. Segala sesuatu kan proses hidup. Dari pengalaman
hidup, dari contoh-contoh yang dilihat dari kiri kanan, apakah keluarga, atau
teman-teman. Aku kan sempat asosial sekali. Aku sangat hidup di sekelilingku,
yang kawin cerai kawin cerai, mereka seperti apa hidupnya. Nah, dengan begitu
aku sangat menekankan bahwa aku menuntut yang sama dari laki-laki. Dan buat
aku, adil. Masa sih, kita jangan sampai lelaki menuntut keperawanan perempuan,
sementara kita tidak bisa menuntut keperawanan laki-laki. Pokoknya, jangan
sampai hak kemunafikan itu tidak boleh hanya di lelaki saja. Perempuan juga
boleh.
Ada kelompok musik/penyanyi indonesia
yang menarik minat Anda sekarang?
Aku
suka Peterpan. Aku suka melodinya dia. Aku suka suaranya Agnes Monica. Aku suka
Candil. Ooh. Dia kan Mariah Carey-nya Indonesia. Aku nge-fans banget sama
Seurieus. Mereka musikalitasnya oke. Tapi menghibur. Lucu, tapi serius. Pokoknya
waktu mereka bilang, aliran musiknya Happy Metal. Emang bener sih. [tertawa].
Itu konsep musik yang oke. Aku punya album mereka semua.
Album paling berkesan buat Anda?
And
Justice for All dari Metallica. Itu masa remajaku banget. Dan sampai sekarang,
kalau aku mau bernostalgia, pasti dengernya itu.
Kenapa Saya Tidak Ingin Jadi Pegawai Negeri?
Saya beberapa kali. Sejak masih kuliah, orangtua pasti bilang “Coba kalau udah lulus, kan bisa ngelamar. BUMN ini lagi buka lowongan tuh.” Bahkan ketika saya sudah kerja pun, kalimat “Nggak pengen nyoba ngelamar ke ini?” masih saja keluar.
Dan dari dulu, saya pasti menjawabnya dengan “Nggak ah. Nggak mau kerja di kantor yang karyawannya harus pake baju rapi. Celana bahan, kemeja, sepatu pantopel [bener nggak ya nulisnya?]”. Orangtua saya biasanya hanya cengengesan mendengar jawaban saya.
Orangtua saya tidak pernah memaksa. Tapi, mereka pasti selalu memberi argumen soal jaminan hari tua. Soal fasilitas perusahaan. Soal betapa jadi pegawai negeri ada semacam jaminan. Padahal, mereka juga tau soal rejeki mah di tangan Tuhan. Tetap saja, pertanyaan soal kerja di BUMN atau jadi pegawai negeri masih suka terlontar.
Tidak tahu sejak kapan saya punya keinginan bekerja di tempat yang “santai”. Padahal, waktu kecil, saya pernah bercita-cita jadi tentara. Karena gagah. Keren. Dan tidak akan diganggu orang. Haha. Mungkin sejak saya mulai malas ada di ruang kelas [dimulai ketika kelas 2 SMP. Sebelum itu, saya giat belajar. Hehe], keinginan untuk kerja dengan suasana “santai” itu muncul.
Saya tidak suka hal yang terlalu kaku. Pake seragam. Rutinitasnya terlalu begitu-begitu saja. Walaupun sekarang ketika saya dengar cerita dari teman saya yang sekarang jadi pegawai negeri, sepertinya mereka menikmati hidupnya dengan bahagia jadi pegawai negeri.
Akhirnya, pilihan saya jatuh pada majalah. Pertama, karena kebetulan saya nyasar ke Fikom Unpad dan secara dangkal memilih jurusan Jurnalistik karena jaket jurusannya yang gagah serta fakta bahwa banyak super hero berprofesi sebagai jurnalis dan betapa saya ingin bisa nonton konser gratis. Kedua, kerja di majalah salah satu profesi yang memungkinkan saya berpakaian santai. Jins dan kaos saja no problemo.
Kalau saja saya ganteng, mungkin sudah jadi artis sinetron, punya banyak duit, naek Harley. Tapi nyatanya, tidak punya modal tampang. Karena ganteng juga tidak. Dan juga tidak cukup jelek untuk jadi pelawak. Haha. Jadi musisi, tidak bisa. Karir di band kampus sebagai MC–merangkap manajer–merangkap sedikit vokal–merangkap propagandis juga tidak membawa saya pada industri musik. 😀 Jadi penyiar tiga bulan di acara prime time sebuah radio malah terjegal oleh GM rese majalah musik tempat saya kerja dulu. Saya belum dikasih kesempatan mengukur diri sendiri, soal berbakat/tidaknya saya di dunia radio.
Mungkin orangtua saya pikir, kalau kerja jadi pegawai negeri, punya dana pensiun. Sedangkan di bidang seperti ini? Mungkin juga mereka tidak yakin kalau jadi jurnalis akan bertahan lama karirnya. Bagaimana soal jenjang karir? Apakah karya saya masih akan bisa dinikmati orang?
Kadang itu terpikir juga sih. Gila. Harus mulai berpikir dari sekarang nih. Memikirkan usaha sampingan yang pas. Buka toko CD, sudah ada yang memulai. Buka kedai kopi juga. Dan kadang, pertanyaan ini muncul di benak. Sampai kapan saya akan jadi jurnalis? Apakah karir saya akan meningkat hingga tingkat Editor in Chief? Di lain sisi, saya tau kalau Pram bisa hidup dari menulis. Goenawan Muhammad juga. Tapi, mereka memang hebat.
Ah pusing. Mungkin saya harus jadi pegawai negeri saja. 😀
Kenapa Saya Tidak Ingin Jadi Pegawai Negeri?
Saya beberapa kali. Sejak masih kuliah, orangtua pasti bilang “Coba
kalau udah lulus, kan bisa ngelamar. BUMN ini lagi buka lowongan tuh.”
Bahkan ketika saya sudah kerja pun, kalimat “Nggak pengen nyoba
ngelamar ke ini?” masih saja keluar.
Dan dari dulu, saya pasti menjawabnya dengan “Nggak ah. Nggak mau kerja
di kantor yang karyawannya harus pake baju rapi. Celana bahan, kemeja,
sepatu pantopel [bener nggak ya nulisnya?]”. Orangtua saya biasanya
hanya cengengesan mendengar jawaban saya.
Orangtua saya tidak pernah memaksa. Tapi, mereka pasti selalu memberi
argumen soal jaminan hari tua. Soal fasilitas perusahaan. Soal betapa
jadi pegawai negeri ada semacam jaminan. Padahal, mereka juga tau soal
rejeki mah di tangan Tuhan. Tetap saja, pertanyaan soal kerja di BUMN
atau jadi pegawai negeri masih suka terlontar.
Tidak tahu sejak kapan saya punya keinginan bekerja di tempat yang
“santai”. Padahal, waktu kecil, saya pernah bercita-cita jadi tentara.
Karena gagah. Keren. Dan tidak akan diganggu orang. Haha. Mungkin sejak
saya mulai malas ada di ruang kelas [dimulai ketika kelas 2 SMP.
Sebelum itu, saya giat belajar. Hehe], keinginan untuk kerja dengan
suasana “santai” itu muncul.
Saya tidak suka hal yang terlalu kaku. Pake seragam. Rutinitasnya
terlalu begitu-begitu saja. Walaupun sekarang ketika saya dengar cerita
dari teman saya yang sekarang jadi pegawai negeri, sepertinya mereka
menikmati hidupnya dengan bahagia jadi pegawai negeri.
Akhirnya, pilihan saya jatuh pada majalah. Pertama, karena kebetulan
saya nyasar ke Fikom Unpad dan secara dangkal memilih jurusan
Jurnalistik karena jaket jurusannya yang gagah serta fakta bahwa banyak
super hero berprofesi sebagai jurnalis dan betapa saya ingin bisa
nonton konser gratis. Kedua, kerja di majalah salah satu profesi yang
memungkinkan saya berpakaian santai. Jins dan kaos saja no problemo.
Kalau saja saya ganteng, mungkin sudah jadi artis sinetron, punya
banyak duit, naek Harley. Tapi nyatanya, tidak punya modal tampang.
Karena ganteng juga tidak. Dan juga tidak cukup jelek untuk jadi
pelawak. Haha. Jadi musisi, tidak bisa. Karir di band kampus sebagai
MC–merangkap manajer–merangkap sedikit vokal–merangkap propagandis
juga tidak membawa saya pada industri musik. 😀 Jadi penyiar tiga bulan
di acara prime time sebuah radio malah terjegal oleh GM rese majalah
musik tempat saya kerja dulu. Saya belum dikasih kesempatan mengukur
diri sendiri, soal berbakat/tidaknya saya di dunia radio.
Mungkin orangtua saya pikir, kalau kerja jadi pegawai negeri, punya
dana pensiun. Sedangkan di bidang seperti ini? Mungkin juga mereka
tidak yakin kalau jadi jurnalis akan bertahan lama karirnya. Bagaimana
soal jenjang karir? Apakah karya saya masih akan bisa dinikmati orang?
Kadang itu terpikir juga sih. Gila. Harus mulai berpikir dari sekarang
nih. Memikirkan usaha sampingan yang pas. Buka toko CD, sudah ada yang
memulai. Buka kedai kopi juga. Dan kadang, pertanyaan ini muncul di
benak. Sampai kapan saya akan jadi jurnalis? Apakah karir saya akan
meningkat hingga tingkat Editor in Chief? Di lain sisi, saya tau kalau
Pram bisa hidup dari menulis. Goenawan Muhammad juga. Tapi, mereka
memang hebat.
Ah pusing. Mungkin saya harus jadi pegawai negeri saja. 😀
The Return of Even More ROCK SNIGLETS
Sniglet [n.]: a word that should be in the dictionary, but isn’t.
AIR GUITARDED [adj.]: Term used to describe anyone in an audience who plays air guitar along with the band.
“CAN YOU SMELL ME NOW? GOOD!” [exp.]: Expression used to describe any gutterpunk who begs change in between taking calls on his cell phone.
CELLDUMB [adj.]: Any person who tries to talk on their cell phone during a show, especially when standing right in front of the band or PA.
CELLPHISH [adj.]: One who talks on their cell phone during a Phish concert. May also apply to Galactic, moe, String Cheese Incident, Leftover Salmon, Grateful Dead, Widespread Panis and Lefthand Smoke fans.
CIGAPROP [n.]: The use of a cigarette by a musician to appear “cool” rather to actually smoke it as a means of satisfying his/her need for nicotine.
CONCERT CALL [n.]: The transmission of a live show via cell phone held up above the audience.
GERIROCKTIC [adj.]: A branch of the rock scene containing old and aging people, namely ones who were in “hip” rock bands 10+ years ago.
GUITAR CENTRIFUSION [n.]: Used to describe the sound of any band made up of
INCOGLAME-O [n.]: The adaptation of a look, attitude, musical style, etc. by a musician as a means of trying to fit in with the audience for that particular evening.
MACHISMO-SCOPE [n.]: When the guys in front of you at a show turns his back to the stage to scan the audience as a means of checking out the chicks in the crowd.
MESHROPOLITAN [n.]: Urban hipsters who wear mesh hats, most of them bought at Urban Outfitters.
NIGHT PAINGER [n.]: When the drummer in a band sing. [a.k.a. the Pill Collinsist].
OLYSBIANS [n.]: Term used to describe the scene of nouveau lesbians who can easily be confused for any member of Sleater-Kinney, Le Tigre, Bikini Kill or any
OMAYAWN [n.]: The belief that
PEEWEE PHONE [n.]: The look of annoyance people get when they try to use their cell phones during a show, as if to say, “I AM TRYING TO USE THE PHONE!!”
PICKHEAD [n.]: Any guitarists who needs a pick holder on his mic stand to hold his guitar picks.
PREDESLEEPER [n.]: During a show, the band member that takes on the soporific task of explaining what his/her band’s next song is about as if anyone in the audience really cares.
SCRAPPER BAND [n.]: A musical group that has both a screamer and a rapper.
STATUTORY ROCK [n.]: The occurrence of autobiographical songs written by a songwriter about, his/her being a teenager when in fact he/she is in his/her 30’s.
SYNTHNOTIZE [v.]: To add a synthesizer to a band’s lineup as an attempt to convince the audience that the band is actually good.
TANDEMONIUM [n.]: The occurrence of “scene” or “genre” specific wardrobe[s] worn by an entire audience at a concert.
THREEPEAT [n.]: When rock stars have the same threesome multiple times.
The Return of Even More ROCK SNIGLETS
be in the dictionary, but isn’t.
AIR GUITARDED [adj.]: Term used
to describe anyone in an audience who plays air guitar along with the band.
“CAN YOU SMELL ME NOW? GOOD!”
[exp.]: Expression used to describe any gutterpunk who begs change in between
taking calls on his cell phone.
CELLDUMB [adj.]: Any person who
tries to talk on their cell phone during a show, especially when standing right
in front of the band or PA.
CELLPHISH [adj.]: One who talks
on their cell phone during a Phish concert. May also apply to Galactic, moe,
String Cheese Incident, Leftover Salmon, Grateful Dead, Widespread Panis and
Lefthand Smoke fans.
CIGAPROP [n.]: The use of a
cigarette by a musician to appear “cool” rather to actually smoke it as a means
of satisfying his/her need for nicotine.
CONCERT CALL [n.]: The
transmission of a live show via cell phone held up above the audience.
process during which a normal alternative rock band changes its sound to become
“electroclash” in the hopes of being cool. Usually involves firing the drummer
and buying a drum machine. [a.k.a. Electrificlashion, a.k.a. The Tastefaker].
GERIROCKTIC [adj.]: A branch of
the rock scene containing old and aging people, namely ones who were in “hip”
rock bands 10+ years ago.
GUITAR CENTRIFUSION [n.]: Used to
describe the sound of any band made up of
employees.
INCOGLAME-O [n.]: The adaptation
of a look, attitude, musical style, etc. by a musician as a means of trying to
fit in with the audience for that particular evening.
MACHISMO-SCOPE [n.]: When the
guys in front of you at a show turns his back to the stage to scan the audience
as a means of checking out the chicks in the crowd.
MESHROPOLITAN [n.]: Urban
hipsters who wear mesh hats, most of them bought at Urban Outfitters.
NIGHT PAINGER [n.]: When the
drummer in a band sing. [a.k.a. the Pill Collinsist].
OLYSBIANS [n.]: Term used to
describe the scene of nouveau lesbians who can easily be confused for any
member of Sleater-Kinney, Le Tigre, Bikini Kill or any
band.
OMAYAWN [n.]: The belief that
scene that could esxist there is of significance to the real world.
PEEWEE PHONE [n.]: The look of
annoyance people get when they try to use their cell phones during a show, as
if to say, “I AM TRYING TO USE THE PHONE!!”
PICKHEAD [n.]: Any guitarists who
needs a pick holder on his mic stand to hold his guitar picks.
PREDESLEEPER [n.]: During a show,
the band member that takes on the soporific task of explaining what his/her
band’s next song is about as if anyone in the audience really cares.
SCRAPPER BAND [n.]: A musical
group that has both a screamer and a rapper.
STATUTORY ROCK [n.]: The
occurrence of autobiographical songs written by a songwriter about, his/her
being a teenager when in fact he/she is in his/her 30’s.
SYNTHNOTIZE [v.]: To add a
synthesizer to a band’s lineup as an attempt to convince the audience that the
band is actually good.
TANDEMONIUM [n.]: The occurrence
of “scene” or “genre” specific wardrobe[s] worn by an entire audience at a
concert.
THREEPEAT [n.]: When rock stars
have the same threesome multiple times.
dari majalah Chunklet, the Overrated Issue Part One punya Arian. Terpikir untuk
post di sini setelah melihat foto2 Modern Darlings yang diposting
Bobby di multiply-nya.
Bisakah Cowok dan Cewek Tulus Bersahabat?
Pertanyaan
itu sering menghantui saya.
Maksudnya, benar-benar bersahabat. Tanpa pretensi. Walaupun memang, yang
namanya manusia pasti selalu dihubungkan oleh kepentingan-kepentingan.
kawan dan lawan abadi. Yang ada, hanya kepentingan abadi.
Tapi, kalau hubungan itu dalam konteks cowok dan cewek, bisakah murni
bersahabat tanpa ada daya tarik fisik maupun seksual? Pernah nonton film When
Harry Met Sally
Di situ Harry bilang, cewek dan cowok tidak bisa berteman. Karena selalu ada
daya tarik seksual terlibat.
“Cowok
mah nggak pernah kosong,” kata seorang teman cowok.
Maksudnya,
ketika cowok berteman dengan cewek, pasti ada maunya. Apalagi kalau kadar
pertemanannya sangat dekat. Apalagi kalau si cowok tidak punya pacar. Pasti ada
maunya. Itu yang diyakini sebagian besar teman saya. Termasuk saya.
Saya
punya sahabat cewek. Dan harus saya akui, ketika di awal saya ingin berteman
dengan dia, itu karena daya tarik fisik. Saya pikir dia manis. Makanya, saya
senang berteman dengannya. Pernah ada masanya, saya menyukai dia. Bahkan,
kunjungan ke kosannya pun, bukan semata-mata mencari teman ngobrol. Pernah ada
misi lah.
Saya
tidak pernah mengatakan perasaan saya padanya. Di tengah-tengah proses
pertemanan kami, dia punya pacar. Plus, saya juga tidak pernah sepenuh hati
padanya. Entah apa yang kurang. Perasaan saya, atau keberanian saya. [Belakangan
sih, dia tahu juga bagaimana perasaan saya. Setelah saya punya pacar, di suatu
hari saya bilang kalau saya pernah suka sama dia].
Itu
makanya saya kadang masih suka memertanyakan bisakah cewek dan cowok
bersahabat. Saya tidak tahu ya dari sudut pandang cewek. Tapi saya selalu
sedikit curiga dengan seorang cowok yang memberi perhatian lebih pada teman
ceweknya. Atau, seorang cowok yang mengajak jalan teman ceweknya. Oke lah,
mereka mengatakan bersahabat. Tetap saja, saya selalu memandang curiga hal itu.
Sekali lagi, apalagi kalau si cowok tidak punya pacar. Mungkin ada tempat
kosong yang coba diisi. Bisa merasakan jalan dengan cewek untuk beberapa jam.
“Kalau
cewek mah, biasanya lebih tulus dibanding cowok,” kata teman saya lagi.
Pacar
saya tadi bilang diajak makan sahabatnya. Lantas, mereka nonton. Saya sih
sekarang sudah percaya sama pacar saya. Tapi itu tadi. Kadang saya masih suka
curiga sama niat cowok. Makanya, sekarang saya tidak pernah mau janjian makan atau
nonton dengan teman cewek berdua saja.
Mungkin
juga karena saya tidak kenal baik dengan sahabat pacar saya. Bawaannya
jadi
sedikit cemburu. Mungkin karena jam terbang saya berpacaran yang baru
dua kali,
membuat saya kurang santai menanggapi hal ini. Mungkin karena saya
tidak punya banyak sahabat cewek. Mungkin karena sebagian besar
teman cowok yang saya tanya, mengatakan tidak pernah ada itu cowok yang
murni
bersahabat dengan cewek.
mungkin juga karena perut lapar, pikiran saya mulai aneh.
Bisakah Cowok dan Cewek Tulus Bersahabat?
Pertanyaan itu sering menghantui saya.
Maksudnya, benar-benar bersahabat. Tanpa pretensi. Walaupun memang, yang namanya manusia pasti selalu dihubungkan oleh kepentingan-kepentingan.
Tapi, kalau hubungan itu dalam konteks cowok dan cewek, bisakah murni bersahabat tanpa ada daya tarik fisik maupun seksual? Pernah nonton film When Harry Met Sally
“Cowok mah nggak pernah kosong,” kata seorang teman cowok.
Maksudnya, ketika cowok berteman dengan cewek, pasti ada maunya. Apalagi kalau kadar pertemanannya sangat dekat. Apalagi kalau si cowok tidak punya pacar. Pasti ada maunya. Itu yang diyakini sebagian besar teman saya. Termasuk saya.
Saya punya sahabat cewek. Dan harus saya akui, ketika di awal saya ingin berteman dengan dia, itu karena daya tarik fisik. Saya pikir dia manis. Makanya, saya senang berteman dengannya. Pernah ada masanya, saya menyukai dia. Bahkan, kunjungan ke kosannya pun, bukan semata-mata mencari teman ngobrol. Pernah ada misi lah.
Saya tidak pernah mengatakan perasaan saya padanya. Di tengah-tengah proses pertemanan kami, dia punya pacar. Plus, saya juga tidak pernah sepenuh hati padanya. Entah apa yang kurang. Perasaan saya, atau keberanian saya. [Belakangan sih, dia tahu juga bagaimana perasaan saya. Setelah saya punya pacar, di suatu hari saya bilang kalau saya pernah suka sama dia].
Itu makanya saya kadang masih suka memertanyakan bisakah cewek dan cowok bersahabat. Saya tidak tahu ya dari sudut pandang cewek. Tapi saya selalu sedikit curiga dengan seorang cowok yang memberi perhatian lebih pada teman ceweknya. Atau, seorang cowok yang mengajak jalan teman ceweknya. Oke lah, mereka mengatakan bersahabat. Tetap saja, saya selalu memandang curiga hal itu. Sekali lagi, apalagi kalau si cowok tidak punya pacar. Mungkin ada tempat kosong yang coba diisi. Bisa merasakan jalan dengan cewek untuk beberapa jam.
“Kalau cewek mah, biasanya lebih tulus dibanding cowok,” kata teman saya lagi.
Pacar saya tadi bilang diajak makan sahabatnya. Lantas, mereka nonton. Saya sih sekarang sudah percaya sama pacar saya. Tapi itu tadi. Kadang saya masih suka curiga sama niat cowok. Makanya, sekarang saya tidak pernah mau janjian makan atau nonton dengan teman cewek berdua saja.
Mungkin juga karena saya tidak kenal baik dengan sahabat pacar saya. Bawaannya jadi sedikit cemburu. Mungkin karena jam terbang saya berpacaran yang baru dua kali, membuat saya kurang santai menanggapi hal ini. Mungkin karena saya tidak punya banyak sahabat cewek. Mungkin karena sebagian besar teman cowok yang saya tanya, mengatakan tidak pernah ada itu cowok yang murni bersahabat dengan cewek.
Saya Membunuh Orang Malam Tadi
Adegannya terpotong-potong. Meloncat dari satu adegan ke adegan lain. Pertama, saya mengejar seseorang di jalan raya dekat tempat tinggal waktu kecil [umur satu tahun sampai kelas dua SD], Jalan Raya Narogong. Di mimpi itu, saya marah. Entah siapa yang saya kejar, saya tidak ingat. Yang jelas, amarah saya sampai menyesakkan dada. Saya kejar terus orang itu. Tapi dia berhasil melarikan diri.
Tiba-tiba, adegannya jadi ada di depan konser The Rolling Stones! Mick Jagger ada di depan mata saya. Dekat sekali. Saya ada di deretan paling depan. Panggungnya besar sekali. Tata cahayanya memancarkan warna biru dan putih yang menyilaukan. Perasaan saya berubah menjadi senang. Akhirnya saya bisa menonton mereka. Ah sangat senang. Mungkin saya bisa masuk ke backstage, begitu pikir saya.
Dan adegan pun langsung berubah. Saya terlibat perkelahian dengan seorang laki-laki brewokan. Kami berkelahi sangat singkat. Saya marah lagi. Dada saya sesak karena amarah. Saya lupa bagaimana adegannya. Yang jelas, laki-laki itu akhirnya mati tertusuk tombak saya. Darah mengalir deras dari dadanya. Mata dia melotot. Mulutnya menganga. Mayatnya, saya sembunyikan di sebuah rumah.
Dari sini, adegan malah pindah ke sebuah toko sepatu. Ada diskon hingga lima puluh persen. Tokonya mirip Sports Station lah. Menjual produk Converse, Nike hingga Vans. Di mimpi itu, saya teringat pacar. Saya ingin membelikan dia sepatu, tapi lupa berapa nomor sepatunya. Dia punya Vans juga Converse. Dan sepertinya nomernya berbeda. Di mimpi itu, saya ingin membelikan dia Vans, tapi lupa ukurannya. Ketika saya sedang melihat-lihat sepatu, adegan pindah lagi ke rumah tempat saya menyembunyikan mayat laki-laki yang saya bunuh tadi.
Teman saya masuk ke rumah itu. Tidak jelas siapa teman saya itu, yang pasti saya menganggapnya teman saya. Dia melihat mayat yang bersimbah darah dengan tombak menancap di dada. Tapi, kali ini malah ada dua mayat laki-laki. Di sini, perasaan saya jadi takut. Seperti perasaan ketika mimpi buruk.
Sesaat setelah pintu rumah ditutup, adegan langsung pindah ke dalam pesawat. Entah mau pergi ke mana. Adegan ini cuma bertahan sebentar.
Tiba-tiba, saya kembali ke suasana konser lagi. Saya lupa, apakah masih di konser The Stones atau sudah pindah. Mungkin sudah tidak penting lagi konsernya. Karena di situ, seorang laki-laki mencopet HP saya. Dia panik karena aksinya kepergok. Saya marah. Saya berteriak. Dada saya sesak lagi karena amarah. Saya kejar orang itu. Saya tantang dia berkelahi. Seorang teman si copet tiba-tiba datang.
Dalam berapa jurus, si copet jatuh. Temannya tidak berani menyerang saya setelah melihat si copet jatuh. Saya injak dada si copet. Tangannya saya pelintir. Amarah saya makin menjadi. Saya injak-injak terus dada si copet. Dia merintih kesakitan. Tiba-tiba, saya baru sadar kalau si copet itu badannya jadi sangat kurus. Seperti badan orang-orang Etiopia yang sering saya lihat di berita waktu masih kecil. Tapi saya tetap menginjak orang itu. Tidak peduli walaupun dia kesakitan.
Dan saya pun terbangun karena ingin pipis.