Saya jarang sekali motret. Makanya, waktu saya kebagian tugas menggantikan fotografer yang sakit, cukup menyenangkan juga. Ini sebenarnya untuk keperluan feature soal rockabilly di Bali yang dibuat rekan saya Alfred. Tidak semuanya bisa dimuat. Ini sebagian hasil jepretan saya yang ingin saya bagi dengan kamu.
Archives: Cerita
Dicari: Kritikus Musik Lokal!
Suatu hari, seorang kawan mengeluh. Album kompilasi yang dia produksi, tidak mendapat review yang asik dari salah satu majalah musik ibukota. Tidak. Bukan karena dibilang buruk. Tapi, si penulis review hanya mendeskripsikan kelompok musik serta alirannya. Tanpa mengatakan dengan jelas kualitas album itu.
Saya hanya cengengesan mendengar keluhan dia. Sebagai jurnalis, saya tau kalau menulis review itu salah satu pekerjaan yang tidak mudah. Tapi, saya juga tau rasanya jadi pembaca. Orang berharap penulis review bisa memberi gambaran apakah album itu bagus atau tidak.
Era ’70-an nama Remy Sylado pernah menempati posisi itu ketika aktif. Denny MR juga pernah berjaya di masa keemasan majalah Hai di era ’90-an. Tapi sekarang? Oke, ada beberapa nama seperti Denny Sakrie yang cukup disegani di kalangan tersendiri. Hanya, harus diakui
Andreas Harsono, Ketua Yayasan Pantau [yayasan yang menaruh perhatian besar terhadap jurnalisme] berkata pada saya suatu hari, “Salah satu penyebab jurnalisme musik di
Ucapan dia mengingatkan saya pada perkataan Lester Bangs di film Almost Famous. “You made friends with them. See, friendship is the booze they feed you. They want you to get drunk on feeling like you belong…I know you think those guys are your friends. You wanna be a true friend to them? Be honest, and unmerciful,” kata Bangs kepada jurnalis muda bernama William Miller.
Sekarang, jangan bermimpi dulu kita disuguhkan oleh kolom musik yang berkelas, review album atau review konser yang memikat saja masih jarang. Coba, kapan terakhir kamu membaca review penulis lokal hingga membuat kamu tergerak membeli album yang direview dia? Atau, kapan terakhir kamu baca kolom musik di majalah lokal? Majalah musik terbitan luar biasanya punya ruang untuk kolom musik. Dari ruang-ruang itulah, kritikus musik yang disegani, muncul. Bukan cuma review, pelaporan mendalam soal musik dengan standar jurnalisme yang tinggi malah datang dari media yang bukan berbasis musik.
Lantas, soal berteman dengan narasumber. Itu bukan sesuatu yang buruk. Hanya, maksud dari perkataan Lester dan Andreas, adalah jangan lantas jurnalis menjadi tidak independen. Tapi, ini juga masih kurang dipahami beberapa musisi lokal. Saya punya pengalaman soal ini. Vokalis band yang musiknya terpengaruh kuat era ’80-an pernah bertanya pada teman saya, setelah album terakhir band itu saya tulis jelek. “Si Soleh kok bilang album gue jelek ya?
Bahkan kelompok musik dengan basis massa yang sangat besar pun, pernah kesal karena di salah satu edisi majalah tempat saya bekerja dulu, dikritik video klip mereka yang buruk. Sempat terjadi ‘keributan’ di kantor manajemen mereka setelah tulisan itu dimuat. Pernah, di tahun 2001, vokalis pemuja Kahlil Gibran meminta salah satu tabloid menulis ulang profil dia. Setelah sebelumnya penulis musik di sana mengritik betapa album solo dan album band dia tidak jauh berbeda.
Saya percaya, tidak ada benar dan salah dalam musik. Maksudnya, walaupun katanya cuma ada dua musik—baik dan buruk—lagi-lagi, itu masih relatif. Ini bukan ilmu pasti. Tapi, kritik musik harusnya bisa menjadi sesuatu yang bisa dipikirkan musisi lokal. Supaya bisa lebih baik lagi dalam berkarya. Mungkin musisi lokal masih harus belajar menghadapi kritik. Mungkin juga jurnalis-jurnalis musik lokal harus banyak belajar membuat tulisan soal musik yang lebih baik lagi.
Termasuk saya tentunya.
*saya menyumbangkan tulisan di atas untuk edisi perdana majalah Encore. Majalah indie terbitan anak-anak Bandung.
Dicari: Kritikus Musik Lokal!
Suatu hari,
seorang kawan mengeluh. Album kompilasi yang dia produksi, tidak mendapat
review yang asik dari salah satu majalah musik ibukota. Tidak. Bukan karena
dibilang buruk. Tapi, si penulis review hanya mendeskripsikan kelompok musik
serta alirannya. Tanpa mengatakan dengan jelas kualitas album itu.
Saya
hanya cengengesan mendengar keluhan dia. Sebagai jurnalis, saya tau kalau
menulis review itu salah satu pekerjaan yang tidak mudah. Tapi, saya juga tau
rasanya jadi pembaca. Orang berharap penulis review bisa memberi gambaran
apakah album itu bagus atau tidak.
Lantas
saya teringat kata salah satu narasumber skripsi saya soal majalah musik di
Salah satu penyebab tidak banyak majalah musik yang bertahan lama, karena
kurangnya kritikus musik. Coba saja, sekarang kalau kamu ditanya siapa jurnalis
atau kritikus musik asal
yang cukup disegani, apakah kamu bisa menjawabnya? Saya rasa agak susah.
Era
’70-an nama Remy Sylado pernah menempati posisi itu ketika aktif. Denny MR juga
pernah berjaya di masa keemasan majalah Hai di era ’90-an. Tapi sekarang? Oke,
ada beberapa nama seperti Denny Sakrie yang cukup disegani di kalangan
tersendiri. Hanya, harus diakui
tidak punya kritikus musik sekelas Lester Bangs misalnya. Jurnalis-jurnalis
muda dari Rolling Stone Indonesia sepertinya punya kesempatan untuk jadi
kritikus/jurnalis musik yang disegani. Tapi, waktu yang akan menjawabnya.
Andreas
Harsono, Ketua Yayasan Pantau [yayasan yang menaruh perhatian besar terhadap
jurnalisme] berkata pada saya suatu hari, “Salah satu penyebab jurnalisme musik
di
tidak berkembang, karena tidak ada independensi. Wartawan musik merangkap humas
si musisi. Jadi penyelenggara konferensi pers. Hobinya
Ucapan
dia mengingatkan saya pada perkataan Lester Bangs di film Almost Famous. “You made friends with them. See, friendship
is the booze they feed you. They want you to get drunk on feeling like you
belong…I know you think those guys are your friends. You wanna be a true friend
to them? Be honest, and unmerciful,” kata Bangs kepada jurnalis muda
bernama William Miller.
Sekarang,
jangan bermimpi dulu kita disuguhkan oleh kolom musik yang berkelas, review
album atau review konser yang memikat saja masih jarang. Coba, kapan terakhir
kamu membaca review penulis lokal hingga membuat kamu tergerak membeli album
yang direview dia? Atau, kapan terakhir kamu baca kolom musik di majalah lokal?
Majalah musik terbitan luar biasanya punya ruang untuk kolom musik. Dari
ruang-ruang itulah, kritikus musik yang disegani, muncul. Bukan cuma review, pelaporan
mendalam soal musik dengan standar jurnalisme yang tinggi malah datang dari
media yang bukan berbasis musik.
Lantas,
soal berteman dengan narasumber. Itu bukan sesuatu yang buruk. Hanya, maksud
dari perkataan Lester dan Andreas, adalah jangan lantas jurnalis menjadi tidak independen.
Tapi, ini juga masih kurang dipahami beberapa musisi lokal. Saya punya
pengalaman soal ini. Vokalis band yang musiknya terpengaruh kuat era ’80-an
pernah bertanya pada teman saya, setelah album terakhir band itu saya tulis
jelek. “Si Soleh kok bilang album gue jelek ya?
hanya bisa cengengesan mendengar cerita teman saya. Secara musikalitas mereka
memang makin menurun. Lebih bagus jadi MC. Kurang diskusi. Kalau kamu sudah tau
band mana yang saya maksud, mungkin kamu juga setuju dengan saya. Kecuali tentu
saja kamu bagian dari banyak perempuan yang belakangan jadi penggemar band itu.
Bahkan kelompok
musik dengan basis massa yang sangat besar pun, pernah kesal karena di salah
satu edisi majalah tempat saya bekerja dulu, dikritik video klip mereka yang buruk.
Sempat terjadi ‘keributan’ di kantor manajemen mereka setelah tulisan itu
dimuat. Pernah, di tahun 2001, vokalis pemuja Kahlil Gibran meminta salah satu
tabloid menulis ulang profil dia. Setelah sebelumnya penulis musik di sana
mengritik betapa album solo dan album band dia tidak jauh berbeda.
Saya percaya,
tidak ada benar dan salah dalam musik. Maksudnya, walaupun katanya cuma ada dua
musik—baik dan buruk—lagi-lagi, itu masih relatif. Ini bukan ilmu pasti. Tapi,
kritik musik harusnya bisa menjadi sesuatu yang bisa dipikirkan musisi lokal.
Supaya bisa lebih baik lagi dalam berkarya. Mungkin musisi lokal masih harus
belajar menghadapi kritik. Mungkin juga jurnalis-jurnalis musik lokal harus
banyak belajar membuat tulisan soal musik yang lebih baik lagi.
Termasuk saya
tentunya.
*saya menyumbangkan tulisan di atas untuk edisi perdana majalah Encore. Majalah indie terbitan anak-anak Bandung.
Pemberian Anugerah [Selalu] Tidak Meriah
Seperti banyak acara serupa di Indonesia, acara itu tidak meriah. Malah, sepertinya yang paling tidak meriah dari sekian banyak malam pemberian anugerah lokal. Acara malam tadi, membuat Penghargaan MTV Indonesia jadi luar biasa meriah. Padahal, event MTVI itu cukup membosankan.
Kalau mau dibandingkan dengan produk Indosiar yang lain, pemberian anugerah tadi malam masih kalah meriah dibandingkan Gebyar BCA atau Pesta.
Setelah Ari Untung dan Andhara Early memberi kata pembuka, The Upstairs jadi yang pertama tampil di Anugerah Video Musik 2006. Mengecewakan. Karena mereka tidak tampil langsung. Hanya playback. Acara pemberian anugerah kok, dibuka dengan seperti itu.
Ternyata, bukan mereka satu-satunya yang seperti itu. Penampil lain seperti Steven & The Coconutreez, Shanty hingga Naff semuanya tidak bermain live. Saya tidak ingat siapa lagi penampil yang lainnya. Mungkin hanya Batman yang malam itu mengeluarkan suaranya lewat minus one yang diputar.
Jangan berharap ada tepuk tangan meriah. Acara serupa yang biasa digelar stasiun TV lokal, dengan banyak penonton pun, sering tidak meriah. Apalagi ini. Banyak kursi kosong. Belum lagi, kualitas pembaca anugerah yang juga tidak bisa menutupi kekurangan acara itu. Mereka pemain sinetron, model video klip atau penyanyi yang dipasang-pasangkan. Ya kamu tau lah, tipikal acara seperti itu.
Dua orang mencoba melucu sebelum masuk ke pembacaan nominasi. Tapi, bahkan mereka pun saya rasa tau, kalau mereka tidak bisa mengeluarkan dialog yang segar. Rasanya kita masih butuh banyak penulis naskah yang baik untuk acara seperti ini. Yang bisa membuat dialog-dialog yang asik.
Nominasinya? Ini yang saya ingat; video klip Dewa 19 yang Dhani berambut mohawk, Agnes yang jarinya dan jari pacarnya berdarah, Shanty yang bilang tak ada lagi lelaki seperti dia, Peterpan yang Arielnya jadi penjahat, serta Ungu yang hujan-hujanan. Rizal Mantovani membawa pulang banyak piala malam itu. Saya lupa tepatnya.
Shanty dapat penghargaan khusus juri. Entah apa yang dimaksud penghargaan khusus itu. Entah apa kriterianya. Yang jelas, Ketua Jurinya; Bens Leo! Ah, melihat dia saya jadi takut. Maksudnya, takut jadi seperti Bens Leo kalau sudah berkarir lama jadi jurnalis. Bicara musik di mana-mana. Seolah-olah dia yang paling tau soal musik. Padahal…ya kamu jawab sendiri lah.
The Adams untuk lagu “Waiting” dapat penghargaan untuk kategori video musik indie. Cukup menggembirakan sebenarnya. Walaupun videonya tidak sesering video Dewa 19 dkk diputar di televisi. “Piala ini sepertinya bagus buat dipajang di rumah. Henry Foundation ini sutradara muda handal. Jadi hati-hatilah kalian,” kata Ale, gitaris The Adams, sambil cengengesan malam itu ketika menerima piala.
Saya tidak tau apa yang dirasakan mereka yang mendapat anugerah. Wajah Shanty, Rizal Mantovani, Ale dan Batman sih, sepertinya girang. Tapi saya masih kurang puas. Walaupun niatnya baik, menghargai video musik lokal, tapi dengan menggelar acara yang seperti kurang persiapan itu, sama saja jadinya kurang menghargai.
Dalam pidatonya, Bens Leo berkata soal sudah jarang acara seperti itu digelar. Blablabla. Dia berterimakasih pada Indosiar telah menggelar acara itu. Kata Leo, video klip sudah jarang diputar di televisi. Kalaupun diputar, seringkali tidak penuh–pengecualian untuk MTV tentunya.
Nah itu sebenarnya yang paling penting! Jangan dulu mengadakan acara penganugerahan video klip musik lah. Kalau stasiun TV nya pun masih belum sering memutar video. Kalau perlu, berikanlah potongan harga untuk perusahaan rekaman yang ingin video musiknya diputar.
Jangan biarkan MTV Indonesia satu-satunya stasiun TV pemutar video klip. Kalau stasiun TV lain kembali menayangkan banyak video klip, mungkin MTVI bakal membuat acara kreatif lainnya. Supaya acaranya tidak membosankan seperti sekarang. Dengan satu-satunya kekuatan mereka, memutar video klip musik. Walaupun sepanjang hari, yang diputar itu lagi itu lagi.
Ah jadi melantur.
Pemberian Anugerah [Selalu] Tidak Meriah
Seperti
banyak acara serupa di Indonesia, acara itu tidak meriah. Malah,
sepertinya yang paling tidak meriah dari sekian banyak malam pemberian
anugerah lokal. Acara malam tadi, membuat Penghargaan MTV Indonesia
jadi luar biasa meriah. Padahal, event MTVI itu cukup membosankan.
Kalau
mau dibandingkan dengan produk Indosiar yang lain, pemberian anugerah
tadi malam masih kalah meriah dibandingkan Gebyar BCA atau Pesta.
Setelah
Ari Untung dan Andhara Early memberi kata pembuka, The Upstairs jadi
yang pertama tampil di Anugerah Video Musik 2006. Mengecewakan. Karena
mereka tidak tampil langsung. Hanya playback. Acara pemberian anugerah
kok, dibuka dengan seperti itu.
Ternyata, bukan mereka
satu-satunya yang seperti itu. Penampil lain seperti Steven & The
Coconutreez, Shanty hingga Naff semuanya tidak bermain live. Saya tidak
ingat siapa lagi penampil yang lainnya. Mungkin hanya Batman yang malam
itu mengeluarkan suaranya lewat minus one yang diputar.
Jangan
berharap ada tepuk tangan meriah. Acara serupa yang biasa digelar
stasiun TV lokal, dengan banyak penonton pun, sering tidak meriah.
Apalagi ini. Banyak kursi kosong. Belum lagi, kualitas pembaca anugerah
yang juga tidak bisa menutupi kekurangan acara itu. Mereka pemain
sinetron, model video klip atau penyanyi yang dipasang-pasangkan. Ya
kamu tau lah, tipikal acara seperti itu.
Dua orang mencoba
melucu sebelum masuk ke pembacaan nominasi. Tapi, bahkan mereka pun
saya rasa tau, kalau mereka tidak bisa mengeluarkan dialog yang segar.
Rasanya kita masih butuh banyak penulis naskah yang baik untuk acara
seperti ini. Yang bisa membuat dialog-dialog yang asik.
Nominasinya?
Ini yang saya ingat; video klip Dewa 19 yang Dhani berambut mohawk,
Agnes yang jarinya dan jari pacarnya berdarah, Shanty yang bilang tak
ada lagi lelaki seperti dia, Peterpan yang Arielnya jadi penjahat,
serta Ungu yang hujan-hujanan. Rizal Mantovani membawa pulang banyak
piala malam itu. Saya lupa tepatnya.
Shanty dapat penghargaan
khusus juri. Entah apa yang dimaksud penghargaan khusus itu. Entah apa
kriterianya. Yang jelas, Ketua Jurinya; Bens Leo! Ah, melihat dia saya
jadi takut. Maksudnya, takut jadi seperti Bens Leo kalau sudah berkarir
lama jadi jurnalis. Bicara musik di mana-mana. Seolah-olah dia yang
paling tau soal musik. Padahal…ya kamu jawab sendiri lah.
The
Adams untuk lagu “Waiting” dapat penghargaan untuk kategori video musik
indie. Cukup menggembirakan sebenarnya. Walaupun videonya tidak
sesering video Dewa 19 dkk diputar di televisi. “Piala ini sepertinya
bagus buat dipajang di rumah. Henry Foundation ini sutradara muda
handal. Jadi hati-hatilah kalian,” kata Ale, gitaris The Adams, sambil
cengengesan malam itu ketika menerima piala.
Saya tidak tau apa
yang dirasakan mereka yang mendapat anugerah. Wajah Shanty, Rizal
Mantovani, Ale dan Batman sih, sepertinya girang. Tapi saya masih
kurang puas. Walaupun niatnya baik, menghargai video musik lokal, tapi
dengan menggelar acara yang seperti kurang persiapan itu, sama saja
jadinya kurang menghargai.
Dalam pidatonya, Bens Leo berkata
soal sudah jarang acara seperti itu digelar. Blablabla. Dia
berterimakasih pada Indosiar telah menggelar acara itu. Kata Leo, video
klip sudah jarang diputar di televisi. Kalaupun diputar, seringkali
tidak penuh–pengecualian untuk MTV tentunya.
Nah itu sebenarnya
yang paling penting! Jangan dulu mengadakan acara penganugerahan video
klip musik lah. Kalau stasiun TV nya pun masih belum sering memutar
video. Kalau perlu, berikanlah potongan harga untuk perusahaan rekaman
yang ingin video musiknya diputar.
Jangan biarkan MTV Indonesia
satu-satunya stasiun TV pemutar video klip. Kalau stasiun TV lain
kembali menayangkan banyak video klip, mungkin MTVI bakal membuat acara
kreatif lainnya. Supaya acaranya tidak membosankan seperti sekarang.
Dengan satu-satunya kekuatan mereka, memutar video klip musik. Walaupun
sepanjang hari, yang diputar itu lagi itu lagi.
Ah jadi melantur.
Setahun Sudah
Hari bersejarah buat saya dan pacar. Yah kamu tau lah maksud saya. Tidak perlu diterangkan lebih detil lagi. Hehe. Setahun lalu, hidup saya berubah. Pencarian itu akhirnya berhenti juga. Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya terjawab juga. Tidak ada lagi masa lalu yang menghantui. Tidak ada lagi dendam. Dan yang jelas, tidak ada lagi rasa sepi. Alhamdulillah.
Kata seorang teman, blog saya isinya kisah cinta melulu. Saya tidak tau benar tidaknya. Dia juga tidak bisa menyajikan saya data yang pasti. Berapa perbandingan tulisan soal pacar dan tulisan lain. Mungkin kamu bisa menjawabnya.
Setahun ini sangat menyenangkan. Ini bukti lagi kalau Gusti Alloh Maha Adil. Hehehe. Mudah-mudahan terus begitu. Itu yang saya inginkan. Bete-bete kecil sih, saya anggap seperti lubang di jalan yang sedang kami tempuh. Ah saya tidak ingin menulis lebih banyak lagi. Takut jadi tulisan cinta-cintaan lagi. Saya cuma ingin membaginya dengan kamu.
Doakan kami supaya terus lancar ya.
Setahun Sudah
Hari bersejarah buat saya dan pacar. Yah kamu tau
lah maksud saya. Tidak perlu diterangkan lebih detil lagi. Hehe.
Setahun lalu, hidup saya berubah. Pencarian itu akhirnya berhenti juga.
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya terjawab juga. Tidak ada lagi masa
lalu yang menghantui. Tidak ada lagi dendam. Dan yang jelas, tidak ada
lagi rasa sepi. Alhamdulillah.
Kata seorang teman, blog saya
isinya kisah cinta melulu. Saya tidak tau benar tidaknya. Dia juga
tidak bisa menyajikan saya data yang pasti. Berapa perbandingan tulisan
soal pacar dan tulisan lain. Mungkin kamu bisa menjawabnya.
Setahun
ini sangat menyenangkan. Ini bukti lagi kalau Gusti Alloh Maha Adil.
Hehehe. Mudah-mudahan terus begitu. Itu yang saya inginkan. Bete-bete
kecil sih, saya anggap seperti lubang di jalan yang sedang kami tempuh.
Ah saya tidak ingin menulis lebih banyak lagi. Takut jadi tulisan
cinta-cintaan lagi. Saya cuma ingin membaginya dengan kamu.
Doakan kami supaya terus lancar ya.
Sepuluh Film Musikal Favorit
- Grease [1978]. Sutradara: Randal Kleiser. Pemain: John Travolta [Danny Zuko], Olivia Newton-John [Sandy Olsoon]. Ini film yang membuat saya mencintai rock n’ roll music. Waktu SD–saya lupa tepatnya–RCTI sering memutar video klip dari soundtracknya. Dan saya langsung jatuh cinta. Karena film ini saya jadi memakai black leather jackets. Sebelum saya menyukai The Ramones, saya memang sudah memakai jaket kulit. Film ini punya segala yang dibutuhkan untuk menghibur saya. Musik, tarian yang tidak membuat lelaki terlihat feminin, dan cerita dengan tema kehidupan remaja. Lengkap dengan dandanan para greasers yang membuat Soleh kecil terpana. Haha.
- The Doors [1991]. Sutradara: Oliver Stone. Pemain: Val Kilmer [Jim Morrison], Meg Ryan [Pamela Courson]. Dua hal yang membuat film ini begitu menarik buat saya; The Doors dan Meg Ryan. Val Kilmer memainkan perannya sebagai Jim dengan sangat memikat. Rasanya tidak ada aktor lain yang lebih tepat kebagian peran itu. Dan Meg Ryan. Saya selalu suka Meg Ryan. Plus, saya selalu suka perempuan berambut lurus panjang. Nah, di film itu Meg Ryan memenuhi semua impian saya tentang perempuan cantik dalam rock n’ roll. Sejak adegan pembuka, film itu sudah begitu menarik buat saya. Gurun. Jim kecil dalam mobil. Indian yang mati. Lagu Riders On The Storm.
- Walk the Line [2005]. Sutradara: James Mangold. Pemain: Joaquin Phoenix [Johnny Cash], Reese Witherspoon [June Carter]. Ini yang membuat saya mencari album At Folsom Prison. Sebelum saya menonton film ini, saya tidak ingin mencari tahu lebih banyak soal Johnny Cash. Makanya, saya tempatkan film ini di nomer tiga. Melihat penampilan Phoenix di film ini, saya dapat kesan yang sama dengan melihat penampilan Val Kilmer di The Doors. Phoenix adalah aktor yang tepat. Plus, dia menyanyikan ulang lagu-lagu Cash di film itu. Dan suaranya, sama menariknya dengan penampilan dia di sana. Adegan pembukanya juga sama menarik dengan pembuka film The Doors. Folsom Prison. Intro Walk the Line. Johnny Cash sedang merenung sambil melihat alat pemotong kayu. Sipir menyapa Cash. “M-Mr Cash? M-Mr Cash?” Dan kalimat favorit saya di film itu, adalah setiap kali Cash ditanya soal pakaian hitamnya. “What with the black? He’s look like he’s going to funeral” Yang selalu dijawab Cash, dengan singkat, “Well maybe I am.”
- Almost Famous [2000]. Sutradara: Cameron Crowe. Pemain: Patrick Fugit [William Miller], Kate Hudson [Penny Lane]. Rock n’ roll dan jurnalistik ada di film ini. Fiksi, tapi diilhami kehidupan nyata. Salah satu mimpi saya adalah jadi rock journalist. Dulu, juga sempat punya keinginan jadi jurnalis Rolling Stone. Plus, saya selalu suka tahun ’70-an. Makanya saya sangat menyukai film ini.
- This is Spinal Tap [1984]. Sutradara: Rob Reiner. Pemain: Rob Reiner [Marty DiBergi], Harry Shearer [Derek Smalls], Christopher Guest [Nigel Tufnel], Michael McKean [David St Hubbins]. Rockumentary Heavy Metal band fiksi bernama Spinal Tap. Saya suka film ini karena mengolok-olok rock n’ roll. Parodi yang asik. Beberapa adegan yang berkesan; adegan ketika salah seorang dari mereka mengeluarkan pisang dari dalam celananya, supaya ukurannya terlihat lebih besar, adegan bermain gitar dengan menggesekkan biola yang juga parodi untuk Jimmy Page, panggung dengan latar Stonehenge, serta volume yang mencapai angka 11.
- Still Crazy [1998]. Sutradara; Brian Gibson. Pemain: Billy Connolly [Hughie], Timothy Spall [David ‘Beano’ Baggot], Bill Nighy [Ray Simms], Bruce Robinson [Brian Lovell]. Yang ditawarkan film ini sebenarnya mirip dengan yang ditawarkan Spinal Tap. Cuma, saya suka film ini karena ceritanya. Strange Fruit, yang pernah jaya, dan mencoba peruntungannya kembali. Saya dan teman-teman sering mengasosiasikan Strange Fruit dengan kelompok musik yang pernah kami bentuk semasa kuliah. Setahun kami cukup berjaya di panggung-panggung kampus. Banyak anak terkena propaganda kami, hingga mau datang menonton dan membeli kaos. Tapi ya begitu. Kami melakukannya di tahun terakhir di kampus. Berjaya sebentar. Setelah itu hilang. Dan kadang keinginan untuk merasakan masa keemasan itu masih ada. Seperti juga yang coba ditampilkan Still Crazy.
- Airheads [1994]. Sutradara: Michael Lehmann. Pemain: Brendan Fraser [Chazz Darvey], Steve Buschemi [Rex], Adam Sandler [Pip]. Mereka adalah personel The Lone Rangers yang putus asa hingga mengambil alih stasiun radio dan menyandera pegawainya supaya lagu mereka bisa diputar. Benar-benar menghibur. Judul dan cerita sangat sejalan. Dan tiga orang itu memang cocok memerankan karakter yang konyol. Ceritanya sih Hollywood sekali. Berakhir bahagia. Jagoan menang. Ada satu adegan yang menarik. Ketika mereka meminta polisi mendatangkan orang dari label untuk mendengarkan demo mereka. Baru sampai di pintu, Chazz memberi satu pertanyaan penting untuk orang itu. Soal ada di pihak mana orang itu dalam kasus pisahnya David Lee Roth dari Van Halen. Ketika dia memilih Van Halen, Chazz langsung tau orang itu polisi. Serta satu dialog lagi ketika Chazz dan Rex mengetes orang itu. “Who’d win in a wrestling macth, Lemmy or God?” Mula-mula orang itu menjawab Lemmy, tapi ragu, dan pelan-pelan menjawab God. Rex menjawab, “Wrong dickhead, trick question. Lemmy is God.”
- Ray [2004]. Sutradara: Taylor Hackford. Pemain: Jamie Foxx [Ray Charles]. Film ini tidak sampai membuat saya ingin mencari tau lebih lanjut soal Ray Charles, atau mencari album-album Ray memang. Tapi, saya sangat suka ceritanya. Dan Foxx bermain dengan baik sebagai Ray di sini. Film musikal yang baik. Itu saja.
- High Fidelity [2000]. Sutradara: Stephen Frears. Pemain: John Cusack [Rob Gordon], Iben Hjejle [Laura], Todd Louiso [Dick], Jack Black [Barry]. Ini cerita tentang pecinta musik yang juga pemilik toko CD. Ditinggalkan pacarnya, Laura. Rob membuat banyak daftar di sini. Kenapa dia putus. Apa yang Rob ingin lakukan dalam hidup. Serta membuat mix tapes. Di sini, ada adegan soal bagaimana trik membuat mix tapes yang baik, supaya kualitas audionya tidak banyak berkurang. Cerita cinta, dengan nuansa musikal yang kuat.
- Velvet Goldmine [1998]. Sutradara: Todd Haynes. Pemain: Ewan McGregor [Curt Wild], Jonathan Rhyes Meyers [Brian Slade], Christian Bale [Arthur Stuart]. Ini juga fiksi, tapi diilhami dari kehidupan nyata-khususnya pertemanan antara David Bowie dan Iggy Pop. Beberapa uraian saya di atas, mungkin sudah bisa menjawab kenapa saya suka film ini. Rock n’ roll, tahun ’70-an, serta soundtrack yang asik.
Atau, ada yang bisa membantu saya?
Sepuluh Film Musikal Favorit
terlintas tadi subuh. Ketika mendengarkan album At Folsom
Prison-nya Johnny Cash. Saya mencoba mengingat-ingat, film musikal apa
yang paling berkesan buat saya. Dan inilah daftarnya.
- Grease [1978]. Sutradara: Randal Kleiser. Pemain: John Travolta [Danny Zuko], Olivia Newton-John [Sandy Olsoon].
Ini film yang membuat saya mencintai rock n’ roll music. Waktu SD–saya
lupa tepatnya–RCTI sering memutar video klip dari soundtracknya. Dan
saya langsung jatuh cinta. Karena film ini saya jadi memakai black
leather jackets. Sebelum saya menyukai The Ramones, saya memang sudah
memakai jaket kulit. Film ini punya segala yang dibutuhkan untuk
menghibur saya. Musik, tarian yang tidak membuat lelaki terlihat
feminin, dan cerita dengan tema kehidupan remaja. Lengkap dengan
dandanan para greasers yang membuat Soleh kecil terpana. Haha. - The Doors [1991]. Sutradara:
Oliver Stone. Pemain: Val Kilmer [Jim Morrison], Meg Ryan [Pamela
Courson]. Dua hal yang membuat film ini begitu menarik buat saya; The
Doors dan Meg Ryan. Val Kilmer memainkan perannya sebagai Jim dengan
sangat memikat. Rasanya tidak ada aktor lain yang lebih tepat kebagian
peran itu. Dan Meg Ryan. Saya selalu suka Meg Ryan. Plus, saya selalu
suka perempuan berambut lurus panjang. Nah, di film itu Meg Ryan
memenuhi semua impian saya tentang perempuan cantik dalam rock n’ roll.
Sejak adegan pembuka, film itu sudah begitu menarik buat saya. Gurun.
Jim kecil dalam mobil. Indian yang mati. Lagu Riders On The Storm. - Walk the Line [2005].
Sutradara: James Mangold. Pemain: Joaquin Phoenix [Johnny Cash], Reese
Witherspoon [June Carter]. Ini yang membuat saya mencari album At
Folsom Prison. Sebelum saya menonton film ini, saya tidak ingin mencari
tahu lebih banyak soal Johnny Cash. Makanya, saya tempatkan film ini di
nomer tiga. Melihat penampilan Phoenix di film ini, saya dapat kesan
yang sama dengan melihat penampilan Val Kilmer di The Doors. Phoenix
adalah aktor yang tepat. Plus, dia menyanyikan ulang lagu-lagu Cash di
film itu. Dan suaranya, sama menariknya dengan penampilan dia di sana.
Adegan pembukanya juga sama menarik dengan pembuka film The Doors.
Folsom Prison. Intro Walk the Line. Johnny Cash sedang merenung sambil
melihat alat pemotong kayu. Sipir menyapa Cash. “M-Mr Cash? M-Mr Cash?”
Dan kalimat favorit saya di film itu, adalah setiap kali Cash ditanya
soal pakaian hitamnya. “What with the black? He’s look like he’s going
to funeral” Yang selalu dijawab Cash, dengan singkat, “Well maybe I
am.” - Almost Famous [2000].
Sutradara: Cameron Crowe. Pemain: Patrick Fugit [William Miller], Kate
Hudson [Penny Lane]. Rock n’ roll dan jurnalistik ada di film ini.
Fiksi, tapi diilhami kehidupan nyata. Salah satu mimpi saya adalah jadi
rock journalist. Dulu, juga sempat punya keinginan jadi jurnalis
Rolling Stone. Plus, saya selalu suka tahun ’70-an. Makanya saya sangat
menyukai film ini. - This is Spinal Tap [1984].
Sutradara: Rob Reiner. Pemain: Rob Reiner [Marty DiBergi], Harry
Shearer [Derek Smalls], Christopher Guest [Nigel Tufnel], Michael
McKean [David St Hubbins]. Rockumentary Heavy Metal band fiksi bernama
Spinal Tap. Saya suka film ini karena mengolok-olok rock n’ roll.
Parodi yang asik. Beberapa adegan yang berkesan; adegan ketika salah
seorang dari mereka mengeluarkan pisang dari dalam celananya, supaya
ukurannya terlihat lebih besar, adegan bermain gitar dengan
menggesekkan biola yang juga parodi untuk Jimmy Page, panggung dengan
latar Stonehenge, serta volume yang mencapai angka 11. - Still Crazy [1998].
Sutradara; Brian Gibson. Pemain: Billy Connolly [Hughie], Timothy
Spall [David ‘Beano’ Baggot], Bill Nighy [Ray Simms], Bruce Robinson
[Brian Lovell]. Yang ditawarkan film ini sebenarnya mirip dengan yang
ditawarkan Spinal Tap. Cuma, saya suka film ini karena ceritanya.
Strange Fruit, yang pernah jaya, dan mencoba peruntungannya kembali.
Saya dan teman-teman sering mengasosiasikan Strange Fruit dengan
kelompok musik yang pernah kami bentuk semasa kuliah. Setahun kami
cukup berjaya di panggung-panggung kampus. Banyak anak terkena
propaganda kami, hingga mau datang menonton dan membeli kaos. Tapi ya
begitu. Kami melakukannya di tahun terakhir di kampus. Berjaya
sebentar. Setelah itu hilang. Dan kadang keinginan untuk merasakan masa
keemasan itu masih ada. Seperti juga yang coba ditampilkan Still Crazy. - Airheads [1994].
Sutradara: Michael Lehmann. Pemain: Brendan Fraser [Chazz
Darvey], Steve Buschemi [Rex], Adam Sandler [Pip]. Mereka
adalah personel The Lone Rangers yang putus asa hingga mengambil alih
stasiun radio dan menyandera pegawainya supaya lagu mereka bisa
diputar. Benar-benar menghibur. Judul dan cerita sangat sejalan. Dan
tiga orang itu memang cocok memerankan karakter yang konyol. Ceritanya
sih Hollywood sekali. Berakhir bahagia. Jagoan menang. Ada satu adegan
yang menarik. Ketika mereka meminta polisi mendatangkan orang dari
label untuk mendengarkan demo mereka. Baru sampai di pintu, Chazz
memberi satu pertanyaan penting untuk orang itu. Soal ada di pihak mana
orang itu dalam kasus pisahnya David Lee Roth dari Van Halen. Ketika
dia memilih Van Halen, Chazz langsung tau orang itu polisi. Serta satu
dialog lagi ketika Chazz dan Rex mengetes orang itu. “Who’d win in a
wrestling macth, Lemmy or God?” Mula-mula orang itu menjawab Lemmy,
tapi ragu, dan pelan-pelan menjawab God. Rex menjawab, “Wrong dickhead,
trick question. Lemmy is God.” - Ray [2004]. Sutradara: Taylor
Hackford. Pemain: Jamie Foxx [Ray Charles]. Film ini tidak sampai
membuat saya ingin mencari tau lebih lanjut soal Ray Charles, atau
mencari album-album Ray memang. Tapi, saya sangat suka ceritanya. Dan
Foxx bermain dengan baik sebagai Ray di sini. Film musikal yang baik.
Itu saja. - High Fidelity [2000].
Sutradara: Stephen Frears. Pemain: John Cusack [Rob Gordon], Iben
Hjejle [Laura], Todd Louiso [Dick], Jack Black [Barry]. Ini cerita
tentang pecinta musik yang juga pemilik toko CD. Ditinggalkan pacarnya,
Laura. Rob membuat banyak daftar di sini. Kenapa dia putus. Apa yang
Rob ingin lakukan dalam hidup. Serta membuat mix tapes. Di sini, ada
adegan soal bagaimana trik membuat mix tapes yang baik, supaya kualitas
audionya tidak banyak berkurang. Cerita cinta, dengan nuansa musikal
yang kuat. - Velvet Goldmine [1998].
Sutradara: Todd Haynes. Pemain: Ewan McGregor [Curt Wild], Jonathan
Rhyes Meyers [Brian Slade], Christian Bale [Arthur Stuart]. Ini juga
fiksi, tapi diilhami dari kehidupan nyata-khususnya pertemanan antara
David Bowie dan Iggy Pop. Beberapa uraian saya di atas, mungkin sudah
bisa menjawab kenapa saya suka film ini. Rock n’ roll, tahun ’70-an,
serta soundtrack yang asik.
begitulah. Untuk sementara begitu daftar saya. Sebenarnya, masih ada
tiga film yang belum saya tonton dan masih penasaran sampai sekarang.
Rock ‘n’ Roll High School [1979], The Great Rock ‘n’ Roll Swindle
[1980] dan Damai Kami Sepanjang Hari [198?]. Iwan Fals bermain di film
yang terakhir disebut. Sejak SMP saya selalu terlewat ketika film itu
tayang di TV. Baru lihat 15 menitan pertama saja. Iwan Fals sepertinya
memang terlalu tua untuk memerankan anak SMA. Tapi, saya tidak bisa
berkomentar banyak soal film itu.
Atau, ada yang bisa membantu saya?
Tidak Ada Tapi
Ini, tentu saja pertanyaan untuk yang sudah punya pasangan. Mungkin pertanyaan seperti itu pernah terlintas di benak. Apakah dia orang yang tepat? Apakah saya tidak akan tertarik lagi kepada perempuan/lelaki lain? Apakah saya tidak salah pilih?
Rasanya saya punya jawaban untuk semua pertanyaan itu. Bagaimana salah satu cara untuk mengukur apakah kita sudah bisa puas dan menerima hubungan yang sedang kita jalani dengan seseorang. Dan saya sampai pada satu kesimpulan.
Saya tau pacar saya orang yang tepat. Dan saya tidak tertarik lagi untuk mencari yang lebih baik. Dia yang selama ini saya cari, karena saya sudah tidak lagi menemukan kata tapi. Coba kamu tanyakan pada dirimu sendiri. Apakah kalimat seperti ini masih terlintas di benak?
Pacar saya sayang saya, tapi dia sering menyebalkan.
Pacar saya cakep, tapi coba kalau rambut dia lurus alami, tidak dibonding.
Pacar saya oke, tapi dandannya kurang bagus.
Pacar saya cantik, tapi dia kurang pintar.
Pacar saya baik, tapi dia kurang memperhatikan saya.
Pacar saya pintar, tapi dia kurang cantik di mata saya.
Pacar saya pantatnya oke, tapi dadanya kurang.
Pacar saya dadanya oke, tapi pantatnya kurang.
Pacar saya oke, tapi saya masih teringat mantan.
Pacar saya oke, tapi dia kurang asik diajak ngobrol.
Pacar saya oke, tapi saya jadi tidak bebas bergaul.
Saya sayang dia, tapi keluarganya tidak menyenangkan.
Saya sayang dia, tapi saya tidak nyaman ada di sekitar teman-temannya.
Saya sayang dia, tapi status ekonomi dia lebih baik.
Saya sayang dia, tapi sepertinya rasa sayang dia tidak sebesar saya.
Saya sayang dia, tapi sepertinya dia masih teringat mantannya.
Saya sayang dia, tapi saya malu kalau jalan bersama dia.
Saya sayang dia, tapi saya masih curiga setiap dia cerita soal laki-laki lain.
Saya sayang dia, tapi kalau ada yang lebih baik sih, kenapa tidak?
Saya sayang dia, tapi secara fisik dia kurang menarik.
Dan sekian banyak tapi yang lain. Teori saya, ketika sudah tidak ada lagi kata tapi, berarti kamu telah bertemu dengan yang kamu cari. Ada kata tapi, berarti kamu masih belum puas. Memang, manusia tidak akan pernah puas. Tapi dalam hal mencari pasangan, kalau kamu terus merasa tidak puas, kamu tidak akan pernah menemukan yang kamu cari.
Maaf. Bukan bermaksud menggurui. Hanya ingin berbagi. Boleh setuju. Boleh tidak.