Aku sayang kamu.
Oya? Makasih.
Mau nggak jadi pacarku?
Ehm, gimana ya?
Mau ya? Mau ya?
Gimana ya. Aku udah nganggap kamu kayak kakak sendiri.
Tapi, aku nggak nyari adek. Nyari pacar.
Archives: Cerita
As Time Goes By
Tidak terasa ya. Kayaknya baru kemarin saya mengalami Jumat. Waktu sekarang sepertinya berjalan lebih cepat. Apakah kamu merasakannya juga? Sepertinya detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, sekarang seperti lewat begitu saja.
Sekarang, jaman serba cepat. Begitu bukan yang sering digembar-gemborkan orang? Apalagi mereka yang hidup di kota besar. Ya, semuanya serba cepat. Bikin KTP ingin cepat. Bikin SIM ingin cepat. Bikin apapun kayaknya bisa serba cepat.
Mungkin karena manusia sudah menemukan teknologi yang memungkinkan semuanya serba cepat, Tuhan lantas membuat semuanya berjalan lebih cepat. Ya, mungkin juga tata surya ini berjalan lebih cepat. Makanya, waktu terasa berjalan begitu cepat hingga kita sering tidak sadar kalau telah melewati hari.
Mungkin dunia sudah tua. Sudah mau kiamat. Makanya semuanya terasa begitu cepat. Bukankah semua yang berjalan lebih cepat dari biasanya, akan berujung pada kehancuran? Ah, entahlah. Mungkin itu hanya pandangan bodoh saya. Tapi yang jelas, itu yang saya rasakan.
Salam,
Paksipapa Preman-preman
Ya, kita bisa dengan mudah menemukan mereka. Di jalan, di terminal, di pusat keramaian, di keriaan, di gedung-gedung dan entah di mana lagi. Dua profesi itu agaknya yang paling sering bersentuhan dengan masyarakat.
Dua-duanya sama-sama berhubungan dengan rasa aman. Polisi, katanya ingin melayani dan melindungi masyarakat. Memberikan rasa aman. Preman, sering menggunakan dalih seperti itu juga untuk membuat mereka merasa berhak punya kuasa. Liat saja di terminal, atau di tempat mangkal angkutan kota.
Padahal, buat saya dua-duanya memberikan rasa takut, ancaman. Bukan apa-apa, setiap saya datang ke kantor polisi–membuat SIM misalnya—pasti dada berdebar. Takut, karena banyak polisi. Begitu juga kalau ada di terminal, atau di gang-gang misalnya. Melihat begitu banyak preman, efek psikologisnya kurang lebih sama dengan efek psikologis yang diberikan polisi kepada saya.
Kalau polisi memanggil atau menghampiri kita, itu juga sama menegangkannya dengan dihampiri preman. Karena yang terlintas di kepala, pasti dua-duanya mau meminta uang. Haha. Mungkin kamu juga punya pikiran seperti itu. Cara mereka mencari uang kan kurang lebih sama.
Polisi dan preman, sama-sama menggunakan kekuasaannya untuk mendapat uang. Dua-duanya sama-sama mengancam. Yang satu dengan seragam dan segala tetek bengek soal Undang-undang. Yang satu dengan tampang seramnya.
Cuma, kalau preman lebih jujur. Mereka memang terang-terangan ingin merampok, atau meminta uang. Sementara polisi, sedikit malu-malu. Dengan dalih melanggar peraturan atau Undang-undang, mereka lantas bicara sangsi. Padahal kan, intinya ingin uang saja. Yang paling jelas terlihat mungkin polisi lalu lintas.
Oya, perilaku polisi dan preman pun kalau di bis kota kurang lebih sama. Mereka sama-sama tidak mau bayar. Entah apa yang membuat mereka merasa berhak naik gratis. Polisi biasanya, cukup diam. Biarlah seragamnya yang berbicara. Sementara preman, kadang-kadang harus bilang dulu dengan sedikit menunjukkan tampang seramnya.
Intinya, mereka sama. Polisi maupun preman. Yang lebih gawat lagi, adalah polisi. Karena mereka preman berseragam, dengan backing Undang-undang, Hukum dan sejenisnya. Dan yang ini, sepertinya lebih mengerikan dibanding preman manapun. Karena mereka bisa menangkap preman-preman.
Kita sering dengar kan, istilah polisi berpakaian preman. Tapi, kenapa tidak ada istilah preman berpakaian polisi? Padahal, sepertinya kan yang lebih banyak adalah yang seperti itu.
Kacaunya, dua profesi itu sepertinya disukai masyarakat kita. Tidak percaya? Lihat saja betapa banyaknya tayangan berita kriminal. Yang menampilkan aksi polisi dan preman dalam sebuah penggerebekan, atau kejar-kejaran. Gila!
Ah, sudahlah. Nanti tulisan ini terlalu panjang. Sebelum kamu keburu bosan, saya harus akhiri tulisan ini. Maaf kalau ada yang tersinggung.
Judge a Book by Its Cover
Ya, dua profesi itu punya kesamaan. Sama-sama mengandalkan fisik sebagai modal utamanya. Model, tentu saja keindahan fisik mereka. Semakin cantik, tampan dan ideal tubuh mereka, tentu saja orang lebih senang melihatnya.
Sedangkan pengemis, mengandalkan ketidakindahan fisik mereka. Semakin memprihatinkan mereka, tentu saja akan lebih mudah mereka dapat perhatian dari orang-orang yang lewat di depannya.
Intinya, dua profesi itu sama-sama mengandalkan fisik untuk mendapatkan uang. Pandangan dangkal? Mungkin. Tapi, agaknya ungkapan don’t judge a book by its cover tidak berlaku buat mereka.
Bukan apa-apa. Mau tidak mau, kita harus menilai model dan pengemis dari penampilan mereka. Kalau ada model yang menurut kita tidak cantik, pasti kemungkinan besar kita akan bilang, “Ah, dia mah nggak terlalu cantik,” atau “Kok, tampang kayak gitu bisa jadi model ya?” Intinya, kita akan kecewa kalau penampilan model tidak seindah yang kita harapkan.
Salah satu syarat untuk jadi model pun, harus berpenampilan menarik, bertubuh proporsional. Itu dulu kan yang dicari. Kepribadian atau bakat, dilihat setelah itu. Apa namanya dong, kalau bukan menilai dari penampilannya. Menilai buku dari sampulnya.
Sementara pengemis. Kalau fisik mereka sehat-sehat saja, gemuk misalnya, pasti kita akan berpikir, “Ah, dia malas. Badan begitu kayaknya masih bisa cari kerja deh.” Tapi kalo fisiknya terlihat lemah, kurus kering, dengan banyak penyakit kulit, kemungkinan besar kita akan iba. Dan keinginan untuk memberi uang pun jadi lebih besar.
Kontes kecantikan kan sering tuh diadakan. Saya jadi berandai-andai, kalau saja ada kontes pengemis paling memprihatinkan. Dicari; bakat baru dalam dunia pengemis. Syarat-syarat; berpenampilan tidak menarik, laki-laki atau perempuan, usia bebas, dan belum pernah memenangkan kontes pengemis manapun.
Mungkin akan lebih menaikkan derajat pengemis ke tingkat yang lebih tinggi di mata masyarakat. Nah, kalau sudah begitu, mungkin nanti model dan pengemis akan sama derajatnya. Hahaha. Ah, tidak juga ya? Tapi sudahlah.
Salam,
Teori Eksistensi
Itu kata Andy Warhol. Dan sepertinya dia benar. Sekarang, bukan cuma selebritis saja agaknya yang bisa nongol di layar kaca. Lihat saja tayangan-tayangan yang katanya reality shows itu.
Bicara soal famous atau terkenal. Saya jadi teringat teman-teman saya. Setidaknya, empat dari teman saya akan masuk tampangnya di film Cinta Silver–yang baru akan diproduksi. Ah, rupanya mereka akan mendapatkan fifteen minutes mereka.
Sepertinya, hampir semua orang ingin jadi terkenal. Setidaknya, pernah punya keinginan untuk jadi orang terkenal. Termasuk saya. Termasuk kamu. Bukan begitu?
Personel kelompok musik yang saya wawancarai beberapa hari yang lalu, malah mengatakan kalau mereka sangat ingin terkenal. Minimal orang-orang tau lah siapa mereka. Itu salah satu bukti pengakuan publik. Begitu kata mereka.
Mungkin itu maksud Warhol. Bahwa semua orang pada dasarnya punya keinginan jadi orang terkenal. Dan ketika teknologi semakin maju, sarana untuk mewujudkan itu semakin mudah.
Padahal, jadi orang terkenal itu belum tentu enak. Tapi masih banyak orang ingin terkenal. Buktinya, masih banyak para peminat kontes-kontes bernyanyi atau pencarian bakat baru itu.
Kalau menurut saya sih. Keinginan jadi orang terkenal sama saja dengan keinginan mendapat pengakuan dari orang lain. Bukti eksistensi diri. Semakin besar keinginan orang untuk terkenal, semakin tinggi pula keinginan pembuktian eksistensi dirinya. Pencarian jati diri yang tak pernah usai! Hahaha.
Teman saya ada yang sudah mendapat fifteen minutes mereka. Bagaimana dengan kamu? Ingin dapat fifteen minutes-mu? Atau masih bermimpi? Kalau begitu, mari kita sama-sama bermimpi.
Salam,
Calling Dr. Love
Hari penuh cinta juga. Lalu, apa sebenarnya rasa sayang itu? Apa itu cinta? Perasaan yang mendalam terhadap orang lain? Sesuatu yang indah? Tidak juga sepertinya. Malah, itu bisa berubah jadi benci. Begitu kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Yang saya ingin tau dari dulu. Bagaimana kamu bisa tau kalau kamu benar-benar mencintai seseorang? Apakah ketika kamu mau menerima segala apapun yang ada di dirinya? Apakah ketika kamu siap menerima perlakuan apapun dari orang yang kamu cintai itu?
Lantas, bagaimana kamu tau kalau kamu benar-benar jatuh cinta? Apakah ketika hati kamu berdebar-debar setiap melihat dirinya? Apakah ketika sosoknya selalu terbayang di benak kamu?
Wah, kalau begitu definisinya berarti berat sekali ya. Ada yang bisa bantu saya?
Salam,
Riddle Me This Riddle Me That
TALEDA TIYEBU
EBAMIN UJATIK
IBATAS IBILIK
IKETUN IDALAK
AKINAT UMESUM
ABINAT UYESUM
BABIRA JIWISU
Silakan ditebak apa maksudnya. Kalau sudah bisa nebak, maaf kalau kata-katanya sedikit tidak sopan.
Salam,
Dan Mereka Sebut Itu Kesepian
Begitu SMS seorang sahabat saya, di tengah malam. Jelas, yang terlintas di benak saya adalah betapa ‘tersiksanya’ dia. Padahal, beberapa bulan yang lalu, saya masih mendengar cerita bahagia dia. Karena bisa menjalin kembali hubungan dengan mantan pasangannya. Tapi, kisah itu kembali tandas. Dan, dia kembali jadi laki-laki kesepian.
Saya yakin, kamu juga merasa begitu. Betapa kesepian sangat menyiksa. Kamu pernah merasakan kesepian? Bisa sepi karena jauh dari rumah. Jauh dari keluarga, atau teman-teman. Tapi, satu yang pasti. Kamu merasa kesepian ketika tidak ada orang yang menyayangimu. Yang bisa memberikan kehangatan batin. Haha. Anjis! Jadi menye-menye begini ya?
Seorang sahabat saya yang lain, malah mengeluarkan teori kompensasi. Bolehlah, dia tidak punya pacar sekarang. Sebagai gantinya, dia puaskan dirinya dengan membeli PS2, DVD player dan barang-barang lain yang bisa menggantikan perasaan sepi itu. “Sekarang kan gua nggak terlalu pusing mau ke mana malam minggu,” kata dia.
Ah, banyak cara orang lakukan untuk mengusir kesepian. Seakan-akan itu sesuatu yang menakutkan. Saya yakin tidak ada seorang pun yang mau merasakan kesepian. Termasuk saya. Termasuk kamu.
Bagaimana dengan kamu? Apakah sekarang merasa kesepian? Butuh seseorang? Ini, juga ramai dibicarakan sahabat-sahabat saya di blognya. Soal cinta dan perasaan membutuhkan orang lain. Kalau begini, saya jadi ingat lirik lagu The Rolling Stones:
We all need, someone we can lean on…
We all need, someone we can dream on…
We all need, someone we can cream on…
We all need, someone we can bleed on…
[Let It Bleed, dari album berjudul sama, 1969]
Saya juga kadang merasa seperti itu. Sepi. Sendiri. Tidak ada orang untuk membagikan perasaan; somebody to love, and who can love me! Hehe. Ini akhirnya menggiring ingatan saya kepada lirik lagu dari Slank:
Kadang ku merasa sendirian.
Sahabat cuma diriku sendiri.
Selalu merasa kesepian.
Seakan orang-orang nggak ada yang pernah peduli.
[Bersama Kita Menangis, dari album Lagi Sedih, 1996]
Bagusnya, saya masih punya sahabat-sahabat yang bisa tidak membuat hari-hari saya sepi. Ibarat penghilang haus dan dahaga jiwa! Hahaha. Ah sudahlah. Semakin tidak jelas. Semakin mellow. Harus dihentikan.
Salam,
Katakan atau Tidak Katakan
Simpan saja di dalam hatimu.
Tak perlu semua diungkapkan.
Segala apapun yang kan kau rasakan sendiri. Hanya kau.
Perjalanan hidupmu, untukmu.
Tak semua orang bisa mengerti.
Simpanlah sukamu. Simpanlah dukamu. Simpan rahasiamu.
Tak perlu kau katakan semua yang tak perlu kau katakan.
[sebuah lagu Plastik–saya lupa judulnya–dari album Dengarkan Pada Saat Tenang, 1997]. Bisa jadi liriknya ada yang salah. Tapi, kurang lebih seperti itu.
Lirik itu seakan selalu mendukung saya untuk menyimpan semua cerita untuk diri sendiri. Ternyata, di balik semua mulut besar dan “keterbukaan” itu, saya masih introvert. Hahaha. Tapi, diri saya yang lain kadang selalu memaksa untuk bercerita. Mengeluarkan semua yang terasa. Buktinya, ya beberapa tulisan saya di sini.
Susah juga ya? Tapi, Plastik juga sepertinya mengalami yang saya rasakan. Kalau di lagu itu mereka berkata, “Simpan saja”. Di lagu lain yang juga saya lupa judulnya, masih di album yang sama, mereka malah berkata;
Katakan.
Katakan tentang apa yang harus kau katakan.
Masih ada ruang untuk berikan senyuman.
Katakan padaku. Cerita-ceritamu…
Mungkin kamu juga pernah mengalami yang saya rasakan.
Salam,
Obat Awet Muda
Tidak ada Peterpan di sini. Tidak ada Tinkerbell. Tidak ada Kapten Hook. Hanya ada sekumpulan orang-orang di pertengahan 20-an dan 30-an yang masih bersikap seperti anak belasan tahun.
Salam,