“Selamat pagi Mas Garin, aku Leo dari Hard Rock FM. Aku berniat mau interview Mas Garin by phone aja pagi ini mengenai kontroversi FFI. Apakah bersedia ya mas? Terima kasih.”
Archives: Cerita
Soundrenaline 2009
Ini hasil perjalanan saya bersama Seringai di Soundrenaline 2009, Minggu 15 November 2009 kemarin di Garuda Wisnu Kencana, Bali.
Ada kabar yang mengatakan bahwa Soundrenaline akan berakhir. Memang, event itu sudah stagnan, seperti tak bisa berkembang lagi. Rasanya sudah terbayang. Jika diibaratkan makanan, sejak 2002 ketika Soundrenaline digelar pertama kali, rasanya tak jauh berbeda. Para pengisi acarnya itu-itu saja. Ini berarti dua hal: memang di Indonesia band yang menjual itu-itu saja. Atau, band-band lain tak diberi kesempatan untuk menjadi headliner. Tapi, meskipun kegiatannya sudah terbayang, saya termasuk yang menyayangkan jika event ini berakhir.
Harus diakui, sampai saat ini, belum ada event besar yang skalanya bisa menyamai Soundrenaline. Java Rockin’land memang seperti bisa menggeser popularitas Soundrenaline, dan jadi jawaban atas pertanyaan banyak orang yang menginginkan event dengan nama Soundrenaline menghadirkan band-band yang benar-benar memacu adrenaline, bukannya band pop mendayu-dayu dan headliner yang itu-itu saja. Tapi, Java Rockin’land belum teruji. Dia baru berhasil di satu kota. Sedangkan Soundrenaline, sudah teruji di banyak kota. Salah satu yang harus diperhatikan jika memang ada lagi event Soundrenaline tahun depan, adalah memberi kesempatan kepada band-band lain di luar band yang sudah sering tampil di tv untuk menjadi headliner.
Soundrenaline 2009 di Bali kemarin, sedikit sudah memfasilitasi itu. Seringai, Burgerkill, The S.I.G.I.T., The Upstairs, Superman Is Dead, di antara nama-nama yang merasakan panggung besar. Setidaknya, ada sedikit peningkatan penghargaan dari event organizer kepada band-band yang tak mendapat sorotan. Walaupun di panggung utama, namanya masih berputar di itu-itu saja: Slank, GIGI, Nidji, d’Massiv di antaranya.
Ah, saya mendadak malas menulis. Sudah saja lah. Lihat saja foto-foto ini. Atau, klik saja berita ini. Saya menulis sedikit beritanya di rollingstone.co.id.
Atau, lihat juga foto lainnya di sini:
Pameran Foto Pertama Saya! :D
Oh Rileks.com, Kenapa Kau Menjiplak Tulisanku?
Padahal, kutip saja, tapi sebut sumbernya. Kalau si penulis menganggap bahwa yang saya tulis sudah ada di konferensi pers atau press release, itu salah, karena kutipan narasumber dari berita saya, hasil perbincangan saya dengan si orang Converse dan Elang Eby dari Polyester Embassy, tak ada di siaran persnya. Jadi, harusnya si jurnalis Rileks.com menulis sumbernya.
Yah kalau jurnalis Rileks.com membaca tulisan ini, saya cuma ingin memberi saran, lain kali, tolonglah tulis sumbernya. Saya pun pernah membuat tulisan berdasarkan tulisan orang lain, tapi saya masih menuliskan dari mana sumbernya. Atau, kalaupun mau menulis berita tapi malas mencari data, ubahlah sedikit kalimatnya, supaya tak terlihat sama.
Silakan Anda bandingkan dua tulisan di bawah ini.
Ini tulisan saya:
http://rollingstone.co.id/?m=rs&s=news&a=view&id=249 [dipublish tanggal 15 Agustus 2009]
Tiga Band dari Indonesia Terpilih Jadi Duta Converse
Teenage Death Star, Rock N Roll Mafia [RNRM], dan Polyester Embassy akan diikutsertakan dalam kompilasi band se-Asia Pasifik versi Converse.
Di musim gugur 2009 ini, Converse Asia Pasifik meluncurkan kampanye bertema musik dan lirik. Mereka mencari band-band indie di 11 negara yang cocok untuk mewakili karakter Converse. Seorang Music Director di Cina ditunjuk untuk menyeleksi ribuan CD album yang masuk dari seluruh Asia Pasifik. Dari Indonesia, ada kira-kira 200 album yang masuk ke pihak Converse Indonesia, yang kemudian dikirimkan ke Cina untuk dipelajari. Mereka mengirimkan album, profil, serta lirik lagu-lagu mereka.
“Tadinya, Indonesia cuma dapet jatah satu band. Sayang sekali kan, soalnya banyak band yang bagus di Indonesia. Akhirnya, Indonesia bisa mengirimkan tiga band,” kata Mia Farahziska, Manager Advertising & Promotion, PT Mitra Adiperkasa TBK [perusahaan yang memegang lisensi Converse di Indonesia], dalam konferensi pers yang digelar Jumat, 14 Agustus 2009 di Rolling Stone Live Venue, Jalan Ampera Raya No 16, Jakarta Selatan.
Di sesi konferensi pers itu, Converse mengumumkan secara resmi tiga nama yang jadi duta mereka untuk mewakili Indonesia. Kebetulan, tiga-tiganya ada di satu label [FFWD Records dari Bandung]. Mia sempat kaget begitu mengetahui bahwa hasil pilihan Music Director dari Cina jatuh kepada tiga band dari satu label dan satu lingkaran pertemanan. Salah seorang dari musisi yang jadi duta, Ekky Darmawan, malah ada di dua band sekaligus [dia menjadi vokalis di RNRM, dan gitaris di Polyester Embassy].
“Sejauh ini, kerjasamanya menyenangkan. Mereka juga nggak mengharuskan kami pake produk Converse dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Awalnya sih begitu, tapi setelah diyakinkan sama Mia bahwa budaya clothing lokal kuat banget di Indonesia, akhirnya kami diijinin buat cuma wajib make sepatu aja kalo manggung. Sekarang, di Bandung, anak-anak pada pake Converse. Soalnya, kami ajak kru juga buat ngambil jatah sepatu kami,” kata Elang Eka Permana, vokalis/gitaris Polyester Embassy, sambil tertawa. “Enaknya si Converse, dia ngebebasin kami, apakah sepatu itu mau dipake sama kami atau sama temen-temen kami.”
Rencananya, pihak Converse akan merilis album kompilasi yang terdiri dari 27 band indie dari 11 negara. Converse memilih kampanya musik dan lirik ini bukan tanpa alasan kuat. Sejak tahun `70-an, imej sepatu itu sudah dekat dengan musik. Musisi seperti The Ramones hingga Kurt Cobain selalu terlihat memakai sepatu Converse.
“Kampanye musik dan lirik, merayakan salah satu penemuan inovatif masa kini dari pergerakan musik independen dari Korea hingga Australia. Converse member penghargaaan kepada mereka yang orisinal, seniman, musisi dan para penggemar masa kini, menghidupkan gairah akan merek ini dan kecintaan mereka pada musik. Kami terinspirasi oleh suara yang atang dari skena musik underground. Kampanye ini bentuk penghargaan kami kepada para penggemar juga senimannya,” kata Geoff Cotrill, Chief Marketing Officer of Converse, seperti dikutip siaran persnya.
Selain sesi tanya jawab, di konferensi pers itu, tiga duta Converse tampil membawakan dua lagu, kecuali Teenage Death Star yang memainkan tiga lagu ketika tampil sebagai penutup. “Kalau Anda mau melihat evil, tontonlah Teenage Death Star,” kata Mia sambil tertawa.
Bandingkan dengan tulisan dari Rileks.com [bahkan tanda kurung buka kurung tutupnya pun tak diganti]:
http://www.rileks.com/community/artikelmu/ceremonia/26745-3-band-indie-indonesia-masuk-kompilasi-converse.html [dipublish tanggal 18 Agustus 2009]
3 Band Indie Indonesia Masuk Kompilasi Converse
Dalam rangkaian Converse Celebrates Asia’s Underground Indie Music Scene As Brand Launches Music + Lyrics Campaign For All 2009, Teenage Death Star, Rock N Roll Mafia [RNRM], dan Polyester Embassy akan diikutsertakan dalam kompilasi band se-Asia Pasifik versi Converse.
Di musim gugur 2009 ini, Converse Asia Pasifik meluncurkan kampanye bertema musik dan lirik.
Mereka mencari band-band indie di 11 negara yang cocok untuk mewakili karakter Converse. Dari Indonesia, ada kira-kira 200 album yang masuk ke pihak Converse Indonesia, yang kemudian dikirimkan ke Cina untuk dipelajari. Mereka mengirimkan album, profil, serta lirik lagu-lagu mereka.
Rencananya, pihak Converse akan merilis album kompilasi yang terdiri dari 27 band indie dari 11 negara. Converse memilih kampanya musik dan lirik ini bukan tanpa alasan kuat. Sejak tahun `70-an, imej sepatu itu sudah dekat dengan musik. Musisi seperti The Ramones hingga Kurt Cobain selalu terlihat memakai sepatu Converse.
“Tadinya, Indonesia cuma dapet jatah satu band. Sayang sekali kan, soalnya banyak band yang bagus di Indonesia. Akhirnya, Indonesia bisa mengirimkan tiga band,” kata Mia Farahziska, Manager Advertising & Promotion, PT Mitra Adiperkasa TBK [perusahaan yang memegang lisensi Converse di Indonesia], dalam konferensi pers yang digelar Jumat, 14 Agustus 2009 di Rolling Stone Live Venue, Jalan Ampera Raya No 16, Jakarta Selatan.
Di sesi konferensi pers itu, Converse mengumumkan secara resmi tiga nama yang jadi duta mereka untuk mewakili Indonesia. Kebetulan, tiga-tiganya ada di satu label [FFWD Records dari Bandung]. Mia sempat kaget begitu mengetahui bahwa hasil pilihan Music Director dari Cina jatuh kepada tiga band dari satu label dan satu lingkaran pertemanan. Salah seorang dari musisi yang jadi duta, Ekky Darmawan, malah ada di dua band sekaligus [dia menjadi vokalis di RNRM, dan gitaris di Polyester Embassy].
“Sejauh ini, kerjasamanya menyenangkan. Mereka juga nggak mengharuskan kami pake produk Converse dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Awalnya sih begitu, tapi setelah diyakinkan sama Mia bahwa budaya clothing lokal kuat banget di Indonesia, akhirnya kami diijinin buat cuma wajib make sepatu aja kalo manggung. Sekarang, di Bandung, anak-anak pada pake Converse. Soalnya, kami ajak kru juga buat ngambil jatah sepatu kami,” kata Elang Eka Permana, vokalis/gitaris Polyester Embassy, sambil tertawa. “Enaknya si Converse, dia ngebebasin kami, apakah sepatu itu mau dipake sama kami atau sama temen-temen kami.”
Selain sesi tanya jawab, di konferensi pers itu, tiga duta Converse tampil membawakan dua lagu, kecuali Teenage Death Star yang memainkan tiga lagu ketika tampil sebagai penutup. (*/Ezz/foto:Ezz)
Dari Srondol ke Santika
Satu lagi cerita akhir pekan bersama Seringai.
Srondol adalah nama daerah di Semarang. Saya tidak sedang mengada-ada. Nama ini benar-benar ada. Saya juga baru sadar bahwa nama itu ada setelah Jumat, 31 Juli 2009 kemarin datang ke Semarang bersama Seringai. Mereka diundang main di Semarang, oleh sebuah kolektif yang terdiri dari bocah-bocah SMA serta kawan-kawan alumninya. Sebelum dibawa ke Srondol, dua orang panita menjemput kami di bandara. Ketika pukul tujuh sampai di bandara, kami diberikabar bahwa yang akan menjemput kami, seseorang bernama Upi atau Opi saya lupa. Tapi, lima belas menit setelah mendarat, Upi atau Opi tak juga berhasil dihubungi.
Dawo, Road Manager Seringai, akhirnya berhasil menghubungi seorang panitia. Singkat cerita, kami berhasil menghubungi panitia yang bertugas menjemput. “Lagi nunggu Upi atau Opi,” kata si panitia. Kira-kira pukul delapan pagi, panitia penjemput datang. Satu orang perempuan yang buru-buru meminta maaf karena terlambat, dan satu lelaki yang mengemudikan mobil. Tak seorangpun dari mereka bernama Upi atau Opi. Entah siapa yang mereka tunggu tadi ketika ditelepon.
Dua bocah penjemput tadi, tak banyak bicara di dalam mobil. Entah grogi, entah malu, entah takut, entah pendiam, entah belum mandi dan gosok gigi sehingga takut beresiko menimbulkan bau tak sedap ketika berbicara.
“Elu LO-nya Seringai?” tanya Arian pada si perempuan.
Yang ditanya, terbata-bata. Kebingungan tak tahu harus menjawab apa.
Tak berapa lama, si lelaki malah menjawab, “Errr, kayaknya gua deh, LO-nya.”
“Mau ke venue langsung atau ke hotel dulu?” tanya si lelaki.
“Enaknya kalian aja deh gimana,” jawab Arian.
“Kalau ke hotel dulu, jauh tempatnya soalnya. Bolak balik. Terus, bis anak-anak juga udah mau nyampe Semarang. Mending langsung ke hotel,” kata si lelaki.
Kru serta band hardcore dari Depok, Paper Gangster—yang entah kenapa diberi nama itu, mungkin mereka mafia kertas atau punya usaha sampingan tukang foto kopian—menempuh perjalanan darat dengan bis berukuran ¾, yang terisi penuh oleh alat-alat, satu band plus kru, satu tim kru, serta panitia penjemput yang ikut menjemput ke Jakarta, sehingga membuat kondisi bus sangat penuh sesak.
“Soundcheck jam berapa?” tanya Arian.
“Jam sepuluh,”
Jam digital di mobil, menunjukkan pukul setengah sembilan.
“Sekarang masih diberesin kabelnya,” kata si lelaki, “tapi bis kru udah mau deket, jadi nanti kita tunggu mereka di Simpang Lima, terus langsung bareng ke venue. Nunggu di sana aja.”
“Oke. Nggak apa-apa,” kata Arian.
Beberapa menit kemudian, si perempuan bicara, “Jadi gimana? Mau ke hotel aja dulu, istirahat di sana?”
Dan si lelaki pun langsung mengemudikan mobilnya menuju hotel. Tak jadi menunggu bis rombongan di Simpang Lima.
***
Hotel itu bernama Hotel Srondol Indah, letaknya ada di dataran yang lebih tinggi di Semarang. Sponsor utamanya sepertinya Indo Teh, karena terpampang di depan hotel, juga jadi minuman hadiah penyambut tamu. Dari desainnya, sepertinya hotel itu sudah tak mengalami renovasi sejak tahun ’80-an. Tapi, jika benar hotel itu dibangun sejak tahun ’80-an, maka hotel itu visioner sekali. Karena tamu hotel punya garasi sendiri—lengkap dengan rolling door. Desainnya mirip rumah petak. Ada beranda, satu kamar tidur, satu kamar mandi, dengan garasi di sebelahnya, yang punya akses langsung ke kamar. Siapapun yang tak ingin terlihat ada di sana, dengan mudah sekali menyembunyikan keberadaannya.
Nama Srondol tak seindah bunyinya. Entah siapa penemu nama itu. Entah siapa juga yang memilih nama Hotel Srondol Indah sebagai nama. Pertama, kata Srondol tak terdengar indah. Kedua, hotel itu sudah tak lagi indah.
Tapi yang paling menarik tentu kata Srondol. Karena sepertinya konotasinya negatif jika dimasukkan ke dalam kalimat seperti misalnya “Direktur itu sedang menyrondol sekretarisnya”. Apalagi dengan kondisi hotel yang mencurigakan untuk dijadikan tempat cucus seperti itu.
Dan kamu bisa berkreasi dengan segala kemungkinan kata yang berasal dari kata Srondol: srondolisasi, srondoloyo, hingga Edo Srondologit. Saya lupa yang lainnya, tapi kemarin sepertinya lebih banyak variasinya.
Rombongan kru datang kira-kira setengah jam kemudian. Awalnya, mereka dan Paper Gangster akan ditempatkan di hotel depan Hotel Srondol Indah. Hotel bernama Setiabudi, dengan papan nama DIJUAL di depannya. Setelah protes, barulah panitia sadar bahwa keputusan menempatkan kru dan Paper Gangster di shitty hotel bukanlah keputusan bijak.
Mungkin karena masih bocah. Mungkin juga karena dasarnya kurang pengalaman. Mungkin juga karena memang pada dasarnya belum tahu yang baik dan benar, panitia hampir tak terlihat sepanjang hari. Setelah kami dijemput, dua penjemput entah ke mana. Bahkan ketika kami pulang dari soundcheck, tak seorang pun panitia yang mengantarkan kami ke hotel. Padahal, tak seorang pun tahu jalan pulang. Untung seorang pemuda lokal kawan kami kebetulan berkunjung ke sana dan menjadi juru selamat kami dari tersesat.
Entah apa nama event organizernya. Tapi yang jelas, di papan nama panitia, terlihat tulisan “We Are Teenage Hero”. Mungkin itu namanya. Selain Seringai dan Paper Gangster, ada sekitar dua puluh band yang tampil sore itu di Taman Budaya Raden Saleh.
Yang lebih gawat lagi, menjelang manggung honor belum juga tuntas dibayarkan. Padahal, mereka sudah diberi dispensasi untuk melunasi pembayaran setelah soundcheck. Beberapa menit sebelum manggung, barulah Dawo menerima pembayaran dalam bentuk uang tunai dengan pecahan sepuluh ribu rupiah. Untung, penontonnya cukup antusias. Meskipun jumlah mereka tak terlalu banyak, jika melihat betapa lengangnya ruangan itu.
Usai manggung, pukul satu pagi, kami langsung bertolak ke Jogja untuk konser dalam rangka road show Java Rockinland. Dan saya tak punya kesempatan melewatkan satu malam di Srondol.
***
Hotel Santika Jogjakarta jadinya terlihat sangaaat mewah jika dibandingkan Hotel Srondol Indah. Handuk untuk kesetnya saja, jauh lebih tebal dan bersih jika dibandingkan handuk Hotel Srondol Indah yang sangat tipis dan kasar di kulit. Dan tentu saja, event organizer-nya jadi terasa sekali beberapa tingkat jauh di atas kelas event organizer bocah-bocah sebelumnya. Pukul empat pagi, kami disambut paket McD. Di Srondol, bahkan nasi bungkus pun tak menyambut makan siang kami.
Pukul empat pagi kami tiba di Santika. Mengherankan. Tak ada penjagaan di depan hotel. Siapapun bisa masuk hotel dengan leluasa. Bahkan kami yang membawa banyak sekali barang, bisa dengan leluasa masuk. Untung saja, hotel itu bernuansa lokal Jogja bukan bernuansa Amerika, karena kalau tidak, kemungkinan fanatik sayap kanan yang merasa akan masuk surga dengan meledakkan dirinya dan mati sebagai syuhada sudah menjadikan Hotel Santika sasaran yang mudah.
Seringai tampil bersama Gribs, The Brandals dan Netral. Gribs adalah akronim dari Gondrong Kribo Bersaudara. Dari namanya bisa ditebak seperti apa penampilan mereka. Musik yang dimainkan, glam rock. Lengkap dengan lengkingan vokal dengan nada-nada tinggi. Mengingatkan pada Seurieus hanya saja dengan format yang serius tanpa sisi humoris.
“Sudah sebulan ini kami tampil bersama drummer Ade dari Killed By Butterfly,” kata Arian ketika akhirnya Seringai tampil setelah Gribs, Sabtu 1 Agustus 2009, yang juga hari Arian menjadi tiga puluh lima tahun. “Drummer kami, Khemod tak bisa maen karena jarinya patah. Dia berkelahi dengan supir angkot.”
Penonton berteriak dengan meriah. Mendengar nada Arian yang berbicara dengan penuh rasa bangga ketika menerangkan drummer Seringai berkelahi dengan supir angkot, penonton ikut terbakar rasa bangganya. Mereka bertepuk tangan.
“Tapi kalah,” kata Arian sambil tertawa.
Penonton ikut tertawa, dan bertepuk tangan sekali lagi.
Kira-kira sepuluh ribu orang memadati Taman Parkir Abu Bakar Ali yang terletak tak jauh dari Malioboro. Mereka tak banyak bergerak. Ketika Gribs tampil malah lebih banyak yang terdiam. Ketika Seringai naik, responnya lebih baik. Tapi, ketika The Brandals tampil setelah Seringai, penonton kembali lesu. Baru ketika Netral tampil sebagai penutup, respon paling meriah diberikan. Mereka ikut menyanyikan lagu-lagu yang dibawakan Netral.
Sebelum Netral selesai, saya sudah pulang bersama rombongan ke Hotel Santika yang nyaman. Kasur empuk, AC dingin, TV kabel, dan handuk tebal nan putih menyambut saya di sana.
Serigala Bali
Pulau Bali gelap gulita, Minggu 31 Mei lalu.
Sampai sekarang, saya tak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, seingat saya, selama hampir tiga jam banyak rumah dan hotel di Bali yang hanya diterangi cahaya lilin. Mereka yang punya genset sih, boleh membuat sekitarnya iri karena terang benderang. Hotel yang saya dan rombongan Seringai tempati, kebetulan tak punya genset. Bahkan, mereka tak punya tamu lagi selain kami. Ketika gelap gulita, kami seperti tinggal di gedung terbengkalai. Jadinya hampir seperti lokasi uji nyali.
Seringai diundang bermain di sebuah event bernama Pesta Serigala, di sebuah klub bernama Blue Eyes. Klub yang tata suaranya dahsyat, tapi kabarnya masih kesulitan mendapat keuntungan. Selain Seringai, ada Navicula, Scared of Bums, Parau dan saya lupa lagi siapa.
Pesta Serigala menggabungkan rock show dengan acara dugem. Di sela-sela pergantian antar band, DJ memutar musik yang mencoba memfasilitasi para pecinta ajojing malam hari. Tata panggungnya pun terlihat begitu. Menggabungkan pertunjukkan musik dengan hiburan dari DJ. Maklum, DJ booth nya ada di depan panggung. Band yang instrumennya masih memakai kabel dan yang vokalisnya merangkap gitaris tak bisa menghampiri penonton di depannya karena terhalang tempat bermain DJ. Memang, di kanan kiri DJ booth terdapat jalur untuk berlari ke depan penonton, tapi itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang instrumennya memakai wireless, atau yang vokalisnya tak memainkan instrumen.
Kami menginap di kawasan Pantai Sanur. Jauh dari keramaian wisatawan dan dunia senang-senang seperti kawasan Kuta. Yang ada hanya sepi. Bahkan kamar hotel kami tak punya TV. Tak ada gadis berbikini lalu lalang. Hanya kira-kira satu jam kami mampir di kawasan ramai, ketika mampir di Toko Volcom untuk mengambil jatah Seringai.
Melihat kawasan Legian, saya jadi teringat spanduk di kawasan Kemang yang berkata menolak Kemang dijadikan Kuta kedua. Ah payah sekali mereka. Mungkin mereka belum pernah melihat Kuta dengan segala keindahan visualnya. Lagian, tak mungkin Kemang dijadikan Kuta kedua. Kemang kan bukan daerah pinggir pantai. Tak mungkin lah itu dijadikan Kuta kedua. Lagi pula, maksiat mah bukan hanya di Kuta atau di Kemang. Lupakah mereka dengan sejarah yang mengatakan bahwa di Mekkah dulunya juga banyak orang berbuat maksiat?
Ah jadi melantur. Ini foto-foto dari hampir seminggu lalu.