Menunggu Matinya Majalah Musik
Berharap ada majalah musik lokal yang bisa bertahan lama rasanya masih terdengar muluk.
Untuk bercerita soal majalah musik lokal, Aktuil bisa jadi pembuka. Sebelum Aktuil, tahun 1963 di
Ide untuk menerbitkan Aktuil datang dari Denny Sabri Gandanegara, kontributor majalah Discorina. Sabri yang tidak puas, memutuskan untuk menerbitkan majalah yang sesuai dengan hatinya. Bob Avianto, penulis lepas majalah perfilman yang ditemui Sabri, akhirnya menghadap Toto Rahardjo, pemimpin kelompok musik dan tari Viatikara. Ide ini disambut gembira oleh Rahardjo. Karena mereka saat itu sedang mengandrungi Actueel, majalah musik terbitan Belanda, Avianto lantas mengusulkan Aktuil sebagai nama majalah baru mereka. Lantas, Roy Sukanto dan Bernard Jujanto, yang juga anggota Viatikara, diajak bergabung setelah mereka menghadapi kesulitan keuangan.
8 Juni 1967, Aktuil edisi perdana terbit. Redaksi menempati kantor di Jalan Lengkong Kecil 41,
Edisi kedua mereka baru menetapkan periodiasi terbit dwi mingguan. Edisi ketiga, Denny Sabri berangkat ke Eropa untuk kuliah. Dia berjanji pada redaksi untuk mengirimkan tulisan dari
Memasuki tahun ’70, Remy Sylado, musisi yang juga pengajar teater di Akademi Sinematografi, diajak bergabung atas saran Denny Sabri.
“Barangkali supaya bobot majalahnya tidak sekadar dunia pop, karena saya memainkan musik klasik tapi juga masuk di dalam kancah musik rock. Saya bisa jadi jembatan antara orang–orang klasik yang kaku itu dengan dunia budaya pop,” kata Remy Sylado kepada saya medio Februari 2004.
Ketika saya sodorkan biodata untuk diisinya, Sylado mengosongkan kolom nama. Mungkin untuk memberi kebebasan pada orang. Yang jelas, di susunan redaksi, ia menulis namanya dengan Japi Tambayong. Kependekkan dari Jubal Anak Perang Iman Tambayong. Nama Remy Sylado—yang sering dia tulis dengan 23761 diambil dari kord pertama lirik lagu “And I Love Her” dari The Beatles.
Menjelang 1970 berakhir, ukuran majalah Aktuil berubah dari 16 X 21 cm menjadi 21 X 29,7 cm. Di tahun ini, Maman Husen Somantri diajak bergabung. Maman HS, mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dianggap menguasai desain. Dia adalah orang di balik ide kreatif pemberian bonus stiker, gambar setrikaan dan poster di Aktuil. Dia juga yang berhasil membuat tampilan Aktuil berani berbeda, dengan background warna gelap yang mencolok. Sangat cocok untuk anak muda masa itu. Maka, Aktuil mulai memasuki masa jayanya. Apalagi setelah Sylado melahirkan gerakan sastra mbeling, lewat cerita bersambung Orexas; Organisasi Sex Bebas. Betapa Orexas berpengaruh terhadap pembacanya, bisa dilihat di salah satu edisi Aktuil yang memerlihatkan foto coretan dinding-dinding kota yang bertuliskan Orexas.
“Itu bagian dari flower generation. Semangat pemberontakan terhadap nilai – nilai yang sudah mapan,” kata Remy Soetansyah, wartawan musik, yang waktu Aktuil berjaya masih berjualan majalah.
Lewat gerakan sastra mbeling, Sylado mencoba mengatakan definisi keindahan itu bukan hanya milik orangtua, dan dia ingin melawan kekuasaan orangtua, yang biasanya ada dalam feodalisme Jawa. Di pengantar edisi perdana puisi mbeling-nya, Sylado menulis:
“Sajak, seperti seni-seni kiwari yang intim dan pop, patutlah dianggap sebagai seni para remaja atau kaum muda, yang bangkit lantaran ternyata nilai-nilai tua yang diternakkan opa oma yang memanjakan kekolotannya, ternyata tak mencapai nilai-nilai yang cocok dengan perkembangan tehnologi yang kian laju meninggalkan kebanggaan-kebanggaan masa silam. Seni kaum tua terlalu dinylimetkan dengan teori-teori yang sudah tidak cocok. Seakan-akan puisi itu barang suci yang turun dari surga. Padahal apa puisi jika bukan sekedar pernyataan apa adanya? Dan buat jadi penyair ternyata tidak susah, gampang sekali. Modalnya cukup hanya dengan selembar kertas cebok dan ballpoint 15 perakan.”
Gerakan sastra mbeling, ikut mendukung kesuksesan Aktuil. Agus Sopiann, di majalah Pantau, menulis ada triumvirat yang membesarkan Aktuil, Denny Sabri, Remy Sylado dan Sonny Suriatmaadja. Kesuksesan Aktuil secara oplah bahkan bisa menembus angka 126 ribu eksemplar. Angka itu diperkirakan selama kurun 1973 – 1974, atau setelah Aktuil Fans Club [AFC] didirikan. Aktuil jadi bacaan wajib anak muda pertengahan ’70-an. Positioning Majalah Untuk Kaum Muda dan Mereka yang Berhati Muda agaknya tidak berlebihan.
Mengenai hubungan musik dan anak muda, Suka Hardjana dalam buku “Coret-Coret Musik Kontemporer dulu dan Kini” mengatakan bahwa secara kultur sosiologis, musik bukan lagi menjadi milik orang dewasa dan orang tua, tetapi predominan menjadi tren budaya anak muda dan remaja. Pangsa pasar bisnis musik memang lebih diutamakan buat mereka karena merekalah pembeli terbesar produksi musik dunia. Inilah fenomena perubahan paling nyata pada perkembangan musik akhir abad ke-20 dan masa kini. Musik adalah dunia kaum remaja dan anak muda.
Masa remaja, atau masa muda, identik dengan masa susah diatur, masa-masa penuh perlawanan. Aktuil penuh dengan unsur itu. Mereka sangat menaruh perhatian terhadap musik Barat. Sesuatu yang dilarang pemerintah Orde Lama. Aktuil ingin menepis citra anti Barat. Redaksi Aktuil, sangat mengagung-agungkan musik rock. Musik yang identik dengan unsur perlawanan. Salah satu tulisan di majalah Tempo, malah menulis Aktuil sebagai “kitab suci” penggemar musik rock di Indonesia. Walaupun belakangan, Sylado menulis soal musik klasik di sana, Aktuil lebih kental nuansa rock-nya.
“Propagandis musik rock Barat, semua redaktur Aktuil itu,” kata Sylado sambil tertawa.
Akhirnya, tidak jarang mereka menganggap musik lain kacangan. Jadi bahan olok-olokan. Dan salah satu yang jadi sasaran mereka, adalah musik Melayu. Salah seorang redaktur Aktuil, Billy Silabumi, mengejek musik Melayu dengan istilah dangdut, yang diambil dari bunyi kendang. Waktu itu, belum ada istilah musik dangdut, masih musik Melayu, atau musik Japin—istilah yang dipakai oleh Glamgoli [gelandangan malam golok liar], preman-preman ’70-an di Alun-Alun Bandung yang memang menyukai musik itu. Belakangan, Sylado memakai istilah itu dalam tulisan hingga sekarang orang mengenal istilah musik dangdut. Tidak hanya istilah dangdut yang jadi warisan Aktuil. Istilah blantika pun dipopulerkan majalah ini. ‘Balantik’ diambil dari bahasa Sunda, yang berarti usaha atau dagang. Jadi, yang dimaksud blantika musik adalah musik yang diperdagangkan.
Bicara soal propaganda, Aktuil tidak bersikap setengah–setengah. Semua musisi rock dibilang superstar, mahabintang. Gito Rollies dibilang superstar, Deddy Stanzah superstar, Ucok AKA pun superstar. Entah baik atau tidak, yang jelas para musisi itu bisa jadi benar–benar terkenal. Cara seperti ini bisa dilihat sebagai kiat Aktuil untuk bertahan hidup. Sebagai majalah yang mengandalkan pemberitaan musik, majalah itu harus meyakinkan pembacanya bahwa musik yang diliputnya adalah penting. Maka, untuk membuatnya penting, musik harus ditaruh di tempat terhormat. Harus punya kesan serba besar, serba hebat dan serba spektakuler. Aktuil telah berhasil menyulap dirinya jadi panggung gemerlap. Berita yang ditulisnya tidak selalu harus dipercaya, yang jelas ceritanya harus memukau. [KOMPAS, 28 Juli 1991].
Puncak prestasi sebagai propagandis musik rock, agaknya ketika Aktuil berhasil mendatangkan Deep Purple ke Jakarta pada 5 – 6 Desember 1975 atas usaha Denny Sabri yang juga berhasil menjalin pertemanan dengan musisi idolanya itu. Bahkan ketika tahun 1970, Deep Purple menggelar konser delapan kota di Jerman, Sabri ikut dimasukan sebagai kru.
Ketika Sabri pindah ke New York, Aktuil meresmikan kantor cabangnya di sana. Di Aktuil edisi medio Februari 1975, majalah itu menuliskan skema redaksi luar negeri mereka, dengan Denny Sabri ada di urutan atas. Jabatannya hanya tertulis; Redaksi Luar Negeri. Di bawahnya, ada sekertaris, fotografer, film editor, music reporter, dan koresponden dari Jerman Barat, Swedia, Belanda, Jepang, Hongkong dan England. Padahal, ini, menurut Sylado, hanyalah tipu daya Denny Sabri.
“Denny Sabri itu yang bikin. Dari Jerman dia pindah ke New York. Apalah kerjaannya. Entah, serabutan ndak karu–karuan. Terus, bikin kantor di sana. Kantor apa itu?” Sylado tertawa.
Aktuil, bisa dibilang, telah memberi nada asing kepada majalahnya. Karena yang asing itu Barat, maka gejala itu disebut Sudjoko [dalam Prisma, 6 Juni 1977] dengan pembaratan. Yang terasa pada pembaratan itu adalah kepercayaan, kebanggaan, dan peninggian harkat. Pembaratan ialah cara untuk menyatakan keunggulan, untuk menyadarkan mereka yang tidak mampu membarat bahwa mereka itu berkekurangan, “ketinggalan,” dan “terbelakang”. Ini bisa dipakai sebagai cara berkuasa oleh lapisan atasan, dan cara menarik pembeli oleh pedagang. Untuk menipu massa ternyata bisa juga.
Jika di luar negeri, Denny Sabri berhasil menjalin pertemanan dengan Deep Purple, maka di Bandung, rekan-rekan Sabri menjalin pertemanan dengan musisi-musisi Bandung. Itu, ditambah faktor kedekatan lokasi membuat Aktuil lebih banyak menulis soal musisi Bandung. Seorang pembaca Aktuil dari Jakarta dalam suratnya, mengeluhkan kurangnya pemberitaan musisi dari kota lain di luar Bandung. Dia mengatakan memang kelompok musik Hooker dari Jakarta sering dimuat di Aktuil, tapi beritanya kalah padat dengan berita kelompok musik Lizard, dari Bandung. Padahal, kata dia, Hooker Man lebih baik dari Lizard.
Yang diuntungkan dari kondisi ini, tentunya musisi Bandung. Almarhum Harry Roesli, mengatakan kalau dirinya dan musisi Bandung se-angkatannya banyak berhutang budi kepada Aktuil karena telah membesarkan mereka.
“Tahun ’70-an itu, [di Bandung], semua orang kenal semua orang. Dan wartawan Aktuil, seusia sama kita–kita. Ada yang satu SD lah, satu SMP lah. Seluruh pemusik ya temen mereka juga. Sebetulnya bukan ngebela–bela amat, ya temen lah namanya. Nah sekarang kalau yang bisa didagangin temen kita yang deket, mendingan dia kan? Daripada menjual orang lain, kan lebih susah. Ya kayak saya disuperstar-in. Kami temen, jadi gampang kan urusannya,” kata Harry Roesli kepada saya akhir Maret 2004.
“Kami remaja waktu itu memang butuh superstar,” kata Soetansyah.
Sampai sekarang, dampak pemberitaan Aktuil masih terasa. Nama seperti Gito Rollies, Bimbo dan Harry Roesli masih dikenal orang. Menurut Roesli, Aktuil berhasil memecah konsentrasi orang untuk urusan musik. Sebelum Aktuil terbit, perhatian orang terpusat pada Jakarta, kota asal Koes Plus. Soal faktor kedekatan ini, diakui juga oleh Sylado. Tapi, bukan hanya itu alasan Aktuil lebih banyak memberitakan musisi Bandung. Menurut dia, waktu itu musisi Bandung memang lebih berkualitas dibandingkan musisi kota lain. Dia mengambil contoh musikalitas The Rollies yang waktu itu masih sulit ditandingi kelompok musik dari kota lain.
* * *
Aktuil menikmati masa keemasannya selama kurun 1970 – 1975. Perlahan-lahan, majalah itu mulai tenggelam. Keluarnya Remy Sylado, jadi pemicu. Pihak perusahaan dinilai Sylado tidak terbuka kepada redaksi untuk persoalan keuangan. Sylado tahu, Aktuil sukses secara penjualan. Tapi bayaran yang diterimanya, dia anggap tidak sesuai dengan prestasi yang diberikan. Sebagai perbandingan, Remy yang telah menulis sejak 1974 di majalah TOP, dibayar Rp 25 ribu per tulisan. Sementara di Aktuil, gaji dia hanya Rp 20 ribu per bulan. Sedangkan gaji pertama ketika dia masuk Aktuil di tahun 1970, Rp 4000. Angka yang menurut dia untuk ukuran tahun 1970 pun masih kurang. Harga mesin tik bekas saja, Rp 15 ribu. Memang, awalnya Sylado tidak berkeberatan dengan itu. Belakangan, setelah bertambah usia, dia jadi kesal juga. Menurutnya, Toto Rahardjo yang mengambil keuntungan sendiri.
“Itu kan sudah sangat biadab. Tapi, waktu itu saya masih muda, tidak berpikir duit gitu. Ya seneng aja. Nulis, terus dibaca orang. Begitu aja! Masih idealis sekali. Idealis yang goblok! Akhirnya, menjadi realistis dong saya. Semua orang tahu ada saya di Aktuil, bikin gerakan puisi mbeling, semua anak–anak muda ke situ dan sebagainya jadi meletup–letup. Mereka nggak punya gagasan apa–apa. Bisanya cuma mengambil dari majalah luar, terus digunting itu seakan–akan Denni Sabri yang nulis dari sana, padahal itu guntingan–guntingan semuanya,” kata Sylado.
Denny Sabri, yang sejak 1975 tinggal di Indonesia pun, jarang ke kantor. Sabri merasakan apa yang Sylado rasakan. Kepada rekan kerjanya, Odang Danaatmadja, Sabri menulis surat pribadi yang isinya mengatakan ketidaknyamanannya di majalah itu. Sabri malah sibuk mencari artis-artis baru untuk diorbitkan. Beberapa di antaranya Nike Ardilla, Silvia Saartje, dan Superkid.
Soal tidak terbukanya pihak perusahaan, diakui oleh Bens Leo, yang belakangan masuk jadi kontributor Jakarta. Leo, yang merasa sangat makmur secara finansial ketika bekerja di Aktuil, mengatakan pernah diberi dua Vespa oleh perusahaan.
“Karena saya menjaga industri musik di Jakarta, termasuk musik panggung. akhirnya dikasih Vespa, yang lebih mahal dari motor Jepang. Tapi itu dirahasiakan oleh pemilik Aktuil. Jadi makmur sekali,” kata Leo tersenyum.
Konser Deep Purple juga dituding jadi pemicu. Konser pertama memang sukses, tapi di hari kedua, pintu stadiun jebol. Majalah Musik Artis Santai edisi Desember 1975 menulis angka yang didapat panitia di hari pertama sebesar Rp 40 juta. Dan di hari kedua, Rp 25 juta. Sedangkan biaya produksi sebesar Rp 80 juta.
Bens Leo juga mengakui hal ini. Menurutnya, pihak perusahaan terlalu berani investasi ke bisnis itu. Akhirnya, banyak sekali uang produksi untuk majalah yang terserap ke konser itu. Uniknya, Toto Rahardjo menepis tuduhan itu. Dia mengatakan kalau konser itu masih mendatangkan untung buat mereka, walau hari kedua pintu stadion jebol.
Tiras Aktuil mulai merosot di tahun 1976. Di tahun 1977, tirasnya hanya mampu menembus angka 30 ribu eksemplar. Ini makin menyusut hingga ke angka 3000 eksemplar di tahun 1978. Setelah beberapa orang staf redaksi baru berjuang memertahankan supaya Aktuil tetap terbit—mereka bahkan memindahkan kantor redaksi ke Jakarta—tahun 1986, surat ijin usaha penerbitan Aktuil digunakan untuk menerbitkan majalah berita Editor.
Tahun 2000, seorang wartawan bernama Yusuf Zainudin, mendatangi Denny Sabri, Remy Sylado dan Odang Danaatmadja. Meminta ijin untuk menerbitkan kembali Aktuil. Sabri menolaknya. Akhirnya, Zainudin memakai nama Aktuil Jaya. Majalah ini hanya terbit dua edisi.
Akan tetapi, di balik semua persoalan yang menyebabkan Aktuil mati, salah satu yang paling berpengaruh adalah kenyataan bahwa para redakturnya tidak mampu mengikuti perkembangan jaman. Tren musik rock mulai hilang di tahun ’80-an.
“Pernah pada suatu saat, rock nggak laku. Yang ada fusion, jazz. Nah, jaman ’80-an itu, jaman Casiopea, jaman Chick Corea dan sebagainya. Tren berubah. Mereka [Aktuil] nggak berubah selera dan gayanya. Daya saingnya nggak kuat lagi,” kata Roesli.
Majalah untuk kaum muda itu, tidak bisa awet muda.
* * *
Senin malam, 17 Mei 2004, di Toko Buku Kecil, Jl. Kyai Gede Utama No 8, Bandung, beberapa orang awak Aktuil bisa dipertemukan kembali. Mereka ke sana dalam rangka pemutaran film dokumenter karya mahasiswa Insititut Kesenian Jakarta soal majalah Aktuil. Sylado, akhirnya bisa mengatakan secara langsung kekecewaannya pada Toto Rahardjo. Ia juga menyampaikan kekecewaan Denny Sabri yang dikatakan padanya sebelum meninggal. Toto Rahardjo hanya diam. Ada rasa penasaran di benak orang-orang tua itu. Seandainya Toto terbuka terhadap karyawan, mungkin Aktuil masih bisa terbit. Sebagian dari mereka rupanya masih ingin menerbitkan Aktuil. Hanya Sylado yang tidak tertarik. Ia merasa masih bisa berkarya lewat novel, teater dan musik.
“Sekarang kalau saya dibilang suruh bikin majalah musik, ndak mau saya. Ya pasti ndak laku! Dan nanti saya disalahkan juga kan sama pemodalnya. Daripada begitu, lebih baik ndak sama sekali,” ujar Sylado.
“What’s next?” kata Goenadi Harjanto, mantan redaksi Aktuil.
Tapi tidak ada satupun yang bisa menjawab.
* * *
Banyak majalah yang berusaha merebut pasar Aktuil. Beberapa di antaranya TOP, Musik Artis Santai [MAS], Junior. Saya mendapat kesan kalau majalah MAS terpengaruh Aktuil. Mulai dari pemberian hadiah poster atau stiker, dan sampul yang dihiasi foto musisi. Sebelumnya, majalah ini bernama Cinta, dengan tag line, The Magazine of Love. Sejak tahun 1973, Cinta menjadi MAS. Seperti juga yang lainnya, MAS tidak bertahan lama. Dia tidak bisa hidup sampai tahun ’80-an.
Pertengahan tahun ’80-an pernah terbit majalah musik bernama Diskotek Musik, Forum Musika dan Bacaannya Orang Musik [BOM]. Majalah Vista, sempat menjadi Vista Musik, sebelum menjadi Vista FMTV, majalah untuk pemirsa televisi. Yayasan Bina Remaja juga sempat mencoba peruntungannya dengan menerbitkan Mitra Musik pada Juni 1989. Majalah ini sebelumnya bernama Mitra, yang gagal di pasaran setelah memposisikan sebagai majalah putri kedua setelah Gadis. Sebagai Mitra Musik pun, majalah ini tidak bernasib lebih baik.
Tahun 1990, praktis tidak ada media massa cetak yang memberi porsi besar pada berita musik. Seorang wartawan bernama Hans Miller Banureah waktu itu masih menjadi redaktur musik di tabloid Monitor pimpinan Arswendo Atmowiloto. Suatu hari, Wendo menawarkan SIUPP pada Miller. Karena Miller selalu punya mimpi menerbitkan tabloid musik, akhirnya SIUPP itu digunakannya. Ia mengajukan nama Citra Musik untuk tabloid barunya itu. Nama itu dipilih semata-mata karena nama yang tertera di SIUPP adalah Citra. Miller mengajak Atik Kamil dan Remy Soetansyah, wartawan Monitor Minggu yang sudah intens mengikuti perkembangan musik sejak tahun ’80-an.
Hanya dalam waktu seminggu, mereka menyusun rubrikasi dan konsep yang siap jual untuk Citra Musik. Mereka memutuskan untuk menulis segala jenis musik, mulai dangdut hingga rock. Miller ingin Citra Musik dalam format majalah. Tapi, Gramedia waktu itu sedang menikmati kesuksesan tabloid Monitor. Dia terima keputusan itu. Toh, dia juga akhirnya berpikir kalau format tabloid bisa menggapai masyarakat menengah ke bawah yang jadi sasarannya.
4 April 1990, sebanyak 125 ribu eksemplar edisi perdana Citra Musik diterbitkan. Sampulnya, dihiasi foto Rhoma Irama, yang waktu itu memang sedang digilai banyak orang dan punya massa yang banyak. Tabloid Monitor edisi Maret 1990, memuat promosi edisi perdana Citra Musik. Begini bunyi promonya:
“Jangan biarkan ribuan penggemar dangdut luput dari sasaran. Jangan lewatkan fans rock terpojok dari sasaran. Jangan sia – siakan penerus keroncong terbengong sendirian, atau yang setia pada jazz, pemuja pop, pencoba rappin dan sejenisnya.”
Belakangan, Miller menilai Citra Musik sebagai tabloid ‘banci’, karena sebagai tabloid musik, tidak punya arah yang jelas. Walau begitu, Miller mengatakan kalau Citra Musik mendapatkan sambutan hangat dari publik. Kantor redaksi sering dijadikan tempat berkumpul para musisi. Salah satu yang paling sering bertandang ke sana, adalah kelompok musik Grass Rock yang saat itu sedang naik daun.
“Pada saat itu memang luar biasa. Industri rekaman lagi gila – gilaan, dan tidak punya media. Nggak punya wadah untuk minimal menginformasikan musik itu sendiri. Minimal kami ingin menjadi mediator antar musisi dengan masyarakat, atau masyarakat ke musisi,” kata Miller.
* * *
Senin, 15 Oktober 1990, Monitor menerbitkan hasil polling pembacanya, dengan judul “Ini Dia: 500 Tokoh yang Dikagumi Pembaca Kita”. Mereka menempatkan Nabi Muhammad di urutan sebelas. Bagi umat Islam waktu itu, ini dianggap penghinaan. Senin, 22 Oktober 1990, kantor redaksi Monitor di Jalan Palmerah Barat diserbu massa yang mengamuk. Puncaknya, SIUPP nomor 184/1984 untuk Monitor dicabut pada 23 Oktober 1990. Wendo diajukan ke pengadilan. Pertengahan April 1990, Wendo resmi menjadi tahanan.
Ditutupnya Monitor berimbas langsung pada Citra Musik. Pihak Gramedia berpikir untuk mengambil pasar Monitor yang memang sudah bagus. Dan untuk membuat media dengan format yang sama, mereka belum berani mengambil resiko. Salah satu cara yang paling mudah, dengan mengubah format dan konsep media yang sudah mereka punya; Citra Musik.
Miller dipanggil petinggi Gramedia. Hanya butuh satu pertemuan untuk memutuskan Citra Musik harus berubah format. Waktu satu tahun belum bisa dijadikan alat untuk mengukur kesuksesan media. Paling sedikit, tiga tahun, begitu piker Miller. Kesepakatan yang dibuatnya dengan Wendo minimal dua tahun Citra Musik diuji. Perasaan Miller dan rekan-rekannya, hancur.
“Semua menangis. Ada sesuatu yang lagi dikejar harus berhenti. Padahal, bukan karena yang dikejar itu makin hilang. Tapi karena ada kondisi yang membuat itu harus berhenti. Waduuh, sakit banget. Makanya ketika itu dibombardir, sama kayak kepala dipecahin semua,” katanya.
Citra Musik berubah jadi Citra Musik Film Olahraga. Di Nomor 48/I/26 Februari – 4 Maret 1991, Citra Musik Film Olahraga berubah lagi menjadi Citra Film TV Musik Olahraga, dengan embel – embel Pedoman Pasti Penonton Televisi di sampul depannya. Logo empat stasiun TV pun dipampang di sana: TVRI, RCTI, SCTV dan TPI. Citra Film TV Musik Olahraga lebih mirip tampilan Monitor . Bahkan tulisan Citra-nya pun menyerupai jenis huruf yang dipakai Monitor. Apalagi kalau melihat huruf T di logo Citra yang sama dengan huruf T yang ada di logo Monitor.
Ini secara resmi menandai kematian Citra Musik. Pusat Data Kompas, yang menyimpan dokumentasi media terbitan Gramedia, tidak menyimpan dokumentasi Citra Musik. Yang ada, hanyalah mulai dari Citra Musik Film Olahraga hingga nama tabloid itu menjadi Citra. Padahal, mereka menyimpan dokumentasi Citra Pendidikan, yang terbit jauh sebelum Citra Musik.
* * *
Era ’90-an praktis tidak ada media massa cetak yang khusus membahas musik. Tapi, remaja di masa itu punya majalah yang jadi rujukan mereka; Hai. Majalah ini, tidak pernah menyebut dirinya sebagai majalah musik. Tapi, sejak era ’80-an, Hai menaruh perhatian besar terhadap berita musik. Ulasannya yang berbobot, dinanti banyak anak muda masa itu.
Cikal bakal Hai, adalah majalah MIDI, kependekan dari muda mudi yang terbit perdana pada 11 Agustus 1973. Majalah ini dikelola wartawan Kompas yang bergelut di bidang penulisan remaja. Majalah ini kemudian mati pada 1977. Arswendo Atmowiloto yang belakangan bergabung di MIDI, merasa kalau matinya MIDI karena mereka tidak bisa menangkap pasar dengan baik.
“Karena waktu itu kan, Aktuil dengan posternya yang banyak. Dengan MIDI, kami sangat konservatif. Nulis tentang pacaran aja dengan malu – malu, takut atau hati – hati,” kata Wendo.
Surat Ijin Terbit untuk MIDI, kemudian digunakan Kelompok Penerbit Gramedia untuk menerbitkan majalah Hai, singkatan dari Hiburan, Amal dan Ilmu. Para pengelola awalnya, adalah mantan pengelola MIDI. Tahun 1983, Wendo menjadi pemimpin redaksi Hai, menggantikan Anton Sumanggono. Di tangan Wendo, Hai tidak hanya memuat komik, tapi juga sinopsis cerita video silat serta resensi film seri yang ditayangkan di televisi. Maka, wajah bintan film pun makin banyak menghiasi Hai. Wendo resmi mengundurkan diri dari Hai, pada 1987. Selepas Wendo, mulai tahun 1988, Hai mulai mengincar remaja pria, dengan semboyan “Bacaan Cowok Paten.”
Hai menandai era ’90-an dengan rajin menulis berita musik. Malah, pada tahun 1991, Hai mengundang kelompok musik Europe untuk manggung di Jakarta dan Surabaya. Dan tulisan wawancara dengan musisi atau kelompok musik pun sering hadir. Serta bonus-bonus yang berhubungan dengan musik—poster atau sisipan khusus. Ini membuat Hai dikenal sebagai majalah musik. Denny MR, salah seorang yang berjasa terhadap penulisan yang memikat di Hai, merasa unggulnya Hai karena saat itu tidak ada media lain yang banyak menulis musik.
Tahun 2000, porsi musik di Hai sempat menembus angka 80 persen. Mereka bisa saja kemudian menyebut dirinya majalah musik. Belakangan, mereka merasa kalau kebutuhan pembaca Hai bukan melulu musik.
“Media lain nggak ada tuh yang bela–belain belepotan lumpur, atau panas–panasan demi liputan musik. Kami juga pernah ngejar Sepultura ke Brasil. Udah setengah dunia tuh kami kejar. Akhirnya, opini membentuk dengan sendirinya bahwa kalau anak sekarang mau baca informasi musik ya harus beli majalah Hai,” kata Denny yang kemudian mundur dari Hai setelah merasa lelah karena harus menjadi anak muda terus untuk bisa menulis di sana. Denny sempat menjadi Artist & Repertoir Hai Music Records, menulis musik untuk TEMPO, serta belakangan ia lebih aktif mengurus manajemen kelompok musik.
* * *
Jika ada musik yang belum mendapat perhatian besar oleh majalah musik, itu adalah dangdut. Sejak jaman Aktuil, porsi pemberitaan musik ini masih kecil. Hingga akhirnya, Tabloid Dangdut terbit. Ide ini datang dari Wendo dan teman-temannya. Wendo sudah memikirkan hal ini sejak dipenjara karena kasus Monitor. Tahun 1995, Tabloid Dangdut terbit dengan nomor SIUPP no 301/SK/MENPEN/SIUPP/B,1/1995 –31 Maret 1995. Wendo melihat dangdut sangat menarik, bukan hanya dari segi musik, tapi juga dari budaya.
“Nggak ada orang merasa risau joged dangdut. Istilah saya, kasih lantai satu kotak aja dia bisa joged. Itu kan bentuk, yang menurut saya jenius lokal yang luar biasa. Nah, budaya ini mau saya terjemahkan dalam bentuk tabloid, makanya saya bikin Tabloid Dangdut,” kata Wendo
Ketika usianya baru tujuh bulan, tabloid ini mati dan berganti menjadi tabloid Aura. Pemilik modal, enggan mengeluarkan uangnya lagi untuk tabloid ini. Bagi Wendo, pemilik modal tidak punya cukup kesabaran untuk menunggu tabloid ini laku. Padahal, Wendo optimis tabloid ini bisa laku di daerah pinggiran Jakarta, seperti Bekasi misalnya. Walau Wendo sadar target pasar yang dikejarnya tidak punya cukup minat baca, ia merasa salah satu faktor kegagalannya adalah waktu yang tidak tepat. Tabloid Dangdut muncul di saat stasiun televisi belum gencar dengan program dangdutnya.
“Kalau terbitnya sekarang–sekarang ini, wah udah panen raya abis–abisan,” tambah Wendo.
Setelah Tabloid Dangdut mati, sebuah tabloid musik lain mencoba peruntungannya di tahun 1998. Tabloid ini diberi nama MUMU, kependekan dari Muda Musika. Sejak awal, MUMU ingin mengutamakan musik-musik Indonesia. Embrio MUMU sebenarnya berawal dari rencana beberapa wartawan Harian Republika untuk menerbitkan suplemen seni bernama Siesta. EH Kartanegara, wartawan Republika yang menaruh perhatian besar terhadap musik bisa mewujudkan impiannya akan tabloid musik setelah bertemu Doddy Yudhista, musisi yang juga punya mimpi menerbitkan media massa khusus musik.
Bens Leo dan Denny MR mengatakan kalau mereka juga ditawari untuk mengelola tabloid MUMU. Leo menolak, setelah tahu formatnya tabloid. Denny MR, yang baru saja keluar dari Hai menolak karena merasa jenuh menulis untuk anak muda.
MUMU sangat membela musik Indonesia. Sampulnya lebih banyak dihiasi wajah musisi lokal. Begitu juga isi tulisannya, yang sebagian besar berisi berita tentang perkembangan musik Indonesia. Bahkan, ketika majalah Hai menuduh Sheila On 7 menjiplak lagu “Father and Son” karya Cat Stevens, MUMU membelanya dengan menurunkan laporan utama berjudul “Sheila On 7 Menjiplak? Uuh…Sirik”
Soal tulisan pun, mereka tidak pernah membahas sisi lain selain musik. Tidak pernah ada gossip, maupun menyentuh gaya hidup musisi. Dan tidak sedikit mereka bicara soal teknis musik. Ini membuat tabloid itu seakan-akan untuk mereka yang bisa memainkan alat musik. Mereka ingin menjadi barometer dalam berita musik.
“Sempet sih ada yang ngritik dulu, MUMU terlalu teknikal, kesannya itu media hanya dimengerti sama anak – anak yang nge-band, anak – anak yang sekolah musik gitu gitu. Nah MUMU tuh sangat menjurus ke teknis,” kata SA Pralim Mudya.
Mungkin itu sebabnya MUMU kesulitan meraih pembaca. Selama dua tahun pertama, menurut laporan PT Nusa Distribusindo, yang mengurus sirkulasi MUMU, tiras tabloid ini hanya bisa mencapai angka 1024 hingga 2767 per minggu.
Perlahan-lahan, idealisme redaksi mulai luntur. Mereka tidak lagi menulis musik dari musisi atau kelompok musik yang dianggap berkualitas saja, tapi lebih sering menaruh kelompok musik atau musisi lokal yang sudah jadi jaminan menarik pembeli. Akhirnya, sampul mereka selalu berputar-putar di Slank, Iwan Fals, Sheila On 7, Dewa atau Padi.
“Begitu Slank misalnya punya sesuatu, kami angkat langsung. Oke lah dia nggak ada album, tapi dia mau tur. Itu langsung jadi laporan utama. Ada aja alesan yang bisa dicari buat naruh mereka di sampul,” kata Mudya.
Demi penjualan, tabloid ini bahkan pernah menurunkan Westlife di sampul tiga edisi berturut-turut di bulan Mei hingga Juni 2001. Maklum, para agen senang dagangannya laku. Mereka meminta terus formula ini. Masalah klasik antara pemilik modal atau perusahaan dengan redaksi pun mulai timbul. Karena mereka menulis kelompok musik yang itu-itu saja, redaksi mulai mengalami rasa jenuh. Redaksi mentok. Memasuki tahun ke-empat, MUMU mati. Edisi 06, Minggu ke-44, Tahun IV, 07 Nopember 2001, dengan judul cerita utama “Tur Asyik Slank,” jadi edisi terakhirnya.
“Saya cuma bisa bilang mismanajemen, karena itu sebetulnya dapur mereka. Tapi yang pasti, MUMU tuh dari sebelum terbit, udah bermasalah. Jadi, tebakan saya nggak terlalu meleset juga, ini pasti nggak akan bertahan lama. Karena ribet di dalemnya antar pengurus. Itu kan punya Timi Habibie kan,” kata Denny MR.
Se-era dengan MUMU, majalah NewsMusik terbit pada Desember 1999, kependekan dari Nuansa Entertainmen & Warta Seputar Musik. Bens Leo pemimpin redaksinya. NewsMusik terlihat sekali sangat terpengaruh majalah Rolling Stone, terutama dari segi tampilan. Leo memang ingin membuat majalah musik yang merupakan gabungan antara Aktuil dan Rolling Stone.
Leo mengatakan idealisme redaksi begitu tinggi. Mereka tidak akan menulis musik yang dianggap tidak bagus. Bahkan, ketika Maxi Gunawan, pemilik majalah itu merilis album, NewsMusik tidak mengulasnya. Dan Leo berbangga sekali dengan itu. Walau begitu, sejak enam bulan usia NewsMusik, dia sadar majalah yang akan dikelolanya tidak akan berumur panjang. Selain karena banyak majalah musik tumbang, Leo sadar kalau visi pemilik modal ternyata berbeda dengan redaksi.
“Pak Maxi Gunawan ini bener – bener pengusaha, dia hanya punya satu pengalaman media, dan itu bukan media kayak NewsMusik. Pada akhirnya feeling saya bener. Bulan ke enam itu saya udah ngomong sama rekan–rekan, lo cari nama di sini, habis itu, saya nggak tahu, nggak jelas sampe kapan,” kata Leo.
Ketika NewsMusik baru berusia tiga tahun, Maxi Gunawan sudah gerah. Ia belum juga merasakan keuntungan dari uang yang dia keluarkan untuk majalah. Bens Leo menanggapi kebingungan Maxi dengan balik bertanya. Pasalnya, ketika hendak menerbitkan majalah ini, Maxi berjanji tidak akan mengharap keuntungan dulu. Kalaupun akan bicara soal keuntungan, Bens menjanjikan waktu lima tahun. Karena merasa tidak nyaman lagi dengan ketidak konsistenan Maxi, Bens memutuskan keluar dari NewsMusik pada Januari 2003. Begitu Bens mengajukan surat pengunduran diri, satu edisi yang seharusnya naik cetak langsung dibatalkan.
“Mampus itu! Itu lebih–lebih nggak tahu. Segmentasinya ndak jelas mau ke mana. Itu buang–buang uang. Siapa yang beli kayak gitu?” kata Sylado soal matinya NewsMusik.
Matinya NewsMusik tidak membuat orang lantas berpikir ulang untuk menerbitkan majalah musik. Log Zhelebour salah satunya. Promoter rock ini menghubungi Hans Miller dan Remy Soetansyah untuk menerbitkan tabloid khusus rock, yang diberi nama ROCK. Edisi perdana ROCK terbit pada minggu ketiga Maret 2002. Di tahun yang sama, Jamrud, musisi yang bernaung di bawah label milik Log rilis album “Sydney 09. 01. 02.”
Ketika Log tidak melihat artisnya di ROCK, tampangnya kusut. Redaksi jadi serba salah. Di manajemen juga terjadi perpecahan. Log Zhelebour tidak lagi akur dengan Direktur Jeddy Suherman dan Komisaris Liem Siau Bok. Pihak Jeddy merasa tidak pernah dilibatkan dalam penerbitan ROCK. Miller sempat memperkirakan umur ROCK hanya akan sampai edisi 52, karena Jamrud tur 52 kota waktu itu.
Miller salah. Belum sampai edisi 52, ROCK mati. Selain beberapa persoalan tadi, ROCK tidak pernah mendapatkan pemasukan yang berarti dari penjualan. Miller dan Soetansyah, kini aktif di Shandika Widya Cinema, production house pembuat tayangan infotainment, di antaranya Kabar Kabari.
* * *
Medio 1999, beberapa anak muda Bandung yang juga mulai muncul dengan produk pakaian bermerk 347, menerbitkan Ripple. Majalah ini tadinya lebih merupakan flyer produk 347. Lantas, majalah ini menaruh perhatian besar terhadap dunia surfing dan skateboarding. Sejak awal, mereka memang ingin membahas segala sesuatu yang di luar mainstream. Itu sebabnya, tidak sedikit kelompok musik yang dibahas di Ripple mereka yang belum mendapat kontrak rekaman. Bonus kaset berisi lagu dari kelompok-kelompok musik mereka berikan sebagai bentuk dukungan. Kini, Ripple menjadi majalah gratis. Bonus kaset sudah tidak lagi diberikan. Tapi, setidaknya mereka masih eksis. Berbeda dengan ‘saudara’-nya, Trolley.
Trolley, majalah yang menaruh perhatian besar terhadap fashion, seni dan musik. Helvi Sjarifudin, salah seorang penggagas, yakin tiga unsur itu tidak bisa dipisahkan. Dia lantas mengajak Gustaff H Iskandar, seniman kontemporer Bandung untuk membantu. Nopember 2000, Trolley edisi perdana terbit. Arti filosofis dari nama Trolley, adalah bahwa isi majalah itu semua yang disukai redaksi. Tidak hanya soal musik, majalah ini kemudian disambut baik oleh para desainer, dan mereka yang tertarik dengan seni rupa. Seperti Ripple, Trolley juga menulis berita musik yang di luar mainstream. Dua majalah ini akhirnya ikut memelopori banyak anak muda di kota lain untuk menerbitkan majalah indie. Membuat banyak orang yakin, bahwa menerbitkan majalah tidak lagi milik pemegang uang dengan modal besar. Kekurangan modal pula, yang akhirnya membuat Trolley terbit tidak tentu. Ini membuat mereka harus gali lubang tutup lubang. Pemasukan dari distributor bulan ini, dipakai untuk membayar hutang bulan lalu.
“Karena uangnya nggak ada. Kami jadi males-malesan ngelolanya. Akhirnya, pas edisi sebelas udah siap, gue bilang ke anak-anak, udahan aja ah, pusing,” kata Helvi.
Sebenarnya, ada beberapa investor yang tertarik mendanai Trolley, tapi karena terlalu banyak menuntut, Helvi tidak menerimanya. Setelah era Trolley, majalah-majalah musik dari penerbit dengan modal besar pernah terbit. Di antara mereka yang terbit nyaris berdekatan waktunya, adalah majalah POSTER, MTV Trax dan POPCITY. MTV Trax belakangan melepas nama MTV, dan menjadi Trax. POSTER dan POPCITY mati, menyusul majalah-majalah musik pendahulunya. Belakangan, beberapa redaktur Hai juga mengelola majalah ROCK STAR. Mudya dari MUMU, kini jadi redaktur majalah Gitar Plus [G+]. Trax masih bersaing. Bersama dengan Rolling Stone yang terbit di Indonesia sejak 2005. Selain dua nama itu, masih ada beberapa majalah musik lain. Ada yang terbit gratis, ada yang terbit di jalur indie, ada juga yang terbit dari kelompok penerbit besar. Dan semuanya masih harus diuji oleh waktu.
* * *
Februari 2007, beberapa awak Aktuil berkumpul kembali. Ketika saya hubungi Sylado lewat telepon, dia mengatakan teman-temannya itu sedang berkumpul di rumahnya. Maman HS pensiun dari pekerjaannya sebagai petinggi Bank Indonesia. Mereka berencana menerbitkan buku tentang Aktuil.
“Memang ada rencana menerbitkan kembali Aktuil?” tanya saya.
“Ndak tahu. Kalau soal nerbitin majalah, saya ndak ikutan,” Sylado tertawa.
0 Comments