Tiga Fase Blogger
Empat Hari di London

London memanggil, dan saya menjawab. Ini kisahnya.
Oke, yang belum membaca latar belakang saya ke London ada baiknya membaca dulu di blog saya yang ini:
http://solehsolihun.multiply.com/journal/item/131/London_Saya_Datang?replies_read=25
Minggu malam, 20 Maret 2011, saya berangkat naik Emirates. Atau lebih tepatnya, lewat tengah malam, Senin 21 Maret 2011. Jakarta – Dubai memakan waktu delapan jam di udara. Meskipun terbang dengan kelas ekonomi, suasana di pesawat jauh lebih nyaman dibandingkan dengan pesawat domestik—kalaupun ada guncangan, tak terlalu membuat jantung berdebar. Lalu soal makanan dan minumannya, jangan tanya. Semuanya lezat. Apalagi pilotnya berbicara dalam bahasa Arab. Ah meskipun dia hanya menerangkan info penerbangan, rasanya seperti sedang dibacakan doa. Haha.
Menjelang pukul lima pagi waktu setempat, saya tiba di Dubai.
Bandaranya besar dan keren. Berbeda sekali dengan bandara Soekarno – Hatta. Dubai sepertinya kaya karena minyak, padahal kalau dipikir-pikir, Indonesia pun penghasil minyak yang besar, tapi tak bisa sekaya Dubai. Yang membuat saya takjub, adalah lift yang mengangkat penumpang ke ruang tunggu. Ukurannya besar, dan dengan latar belakang suara seperti di film-film futuristik: banyak bunyi mesin yang seperti suara mesin robot. Selain suasana bandara yang keren, bersih dan nyaman, keunggulan Dubai adalah toiletnya menyediakan semprotan air! Bahkan, setiap bilik toilet selalu dipastikan bersih terlebih dahulu sebelum dimasuki orang. Petugas toiletnya cukup galak untuk urusan ini: semua bilik harus dia periksa dulu sebelum bisa dimasuki orang. Kalau belum bersih, dia tak segan berteriak kepada orang yang akan masuk. Saya melihat dua orang mas-mas dari Indonesia, yang berpeci putih bercelana ngatung tipikal pemuda mesjid tiba-tiba menerobos masuk toilet, padahal si petugas toilet sudah mewanti-wanti untuk menunggu. Entah si pemuda mesjid itu tak sabar, entah tak paham maksudnya, entah memang tak ingin mematuhi. Tapi melihat kejadian itu, saya jadi ikut sebal: kenapa orang Indonesia tak sabar? Padahal, orang-orang sebelumnya juga mau menunggu.
Dubai – London, harus ditempuh kira-kira lebih dari tujuh jam.
Menjelang mendarat di Heathrow Airport di London, saya sengaja memutar lagu “London Calling” dari The Clash supaya menambah dramatis suasana psikologis. Ternyata, Emirates memasukkan album London Calling sebagai salah satu dari Essential Albums di daftar hiburan mereka. Wah, begitu melihat atap bangunan di London, jantung saya berdebar! No hoax! Akhirnya tiba juga! London, saya menjawab panggilanmu!
London sedang cerah ketika saya tiba di sana.
Matahari bersinar dengan cukup terik, berbeda sekali dengan yang saya baca di internet sebelum pergi ke sini: katanya matahari jarang muncul di London, dan cuaca bisa sangat tak terduga, harus selalu bawa payung dan jas hujan untuk jaga-jaga. Semua tulisan tentang betapa cuaca London bisa tak bersahabat, tak saya temui di saat pertama datang.
Seorang supir menunggu kami di pintu kedatangan. Dia memakai jas, seperti sopir bus Transjakarta lah kalau di Jakarta mah. Hehe.
Kamen namanya. Entah bagaimana ngeja namanya, tapi diucapkannya seperti itu, seperti orang mengucapkan kata ‘common’ dalam bahasa Inggris. Dia orang Bulgaria, dan kaget ketika saya bilang pernah mendengar nama Bulgaria. “Di film-film,” kata saya ketika dia tanya, “biasanya di film-film mata-mata, atau jadi gengster.” Sekenanya saja saya bilang. Sejujurnya, saya juga tak yakin apakah di film mata-mata pernah dibahas negara Bulgaria. Tapi Kamen mengangguk-angguk tanda sepakat bahwa di film Hollywood, seringkali orang Bulgaria digambarkan sebagai gengster atau mafia.
Saya dijemput dengan sedan mewah bermerk Mercedes Benz.
Ini kali pertama saya naik Mercy berbentuk sedan, biasanya kalau naik Mercy pasti rodanya banyak dan badannya besar sekali alias bus kota. Kamen lantas bicara soal betapa kerasnya hidup di London: biaya hidup tinggi, persaingan begitu ketat. Meski begitu, banyak orang yang datang ke London demi kesempatan yang lebih baik. Kamen datang ke London, demi pendidikan yang baik untuk anaknya. Saya lupa bertanya berapa anaknya.
Setelah kira-kira satu jam perjalanan dari bandara, saya tiba di hotel.
Copthorne Tara Hotel ada di High Street Kensington. Lokasi yang cukup strategis, karena hanya berjalan kaki kurang dari lima menit, saya sudah tiba di kawasan pertokoan dan stasiun High Street. Segala macam toko ada di sana, kecuali toko CD. Sayang sekali, padahal saya ingin menengok koleksi toko CD di sana.
Kamar hotel saya, 481. Ada di lantai 4, di ujung lorong. Kamarnya nyaman, hanya sayang, pilihan saluran TV-nya tak terlalu oke. Kalau mau menonton film yang bagus, hotel menyediakan biaya tambahan. Mereka bahkan menyediakan saluran film dewasa alias XXX alias bokep! Tapi saya tak mengeluh, toh ke London jauh-jauh bukan untuk santai di kamar dan nonton TV. Dibayari Coca Cola ke London saja sudah syukur alhamdulillah. Oya, pemandangan di luar kamar, adalah rel kereta api serta sebuah gedung entah gedung apa. Dan yang saya kuatirkan ternyata terjadi saudara-saudara: toiletnya tak menyediakan semprotan air. Akibatnya, setelah diusap pakai tissue dan memastikan tak ada lagi warna kuning di tissue, saya bergerak ke bath tub dan membilasnya dengan pancuran air. Hehe.
London mengingatkan saya pada Melbourne. Bangunannya, khususnya orang-orangnya: cara mereka berpakaian mirip, dan banyak perempuan cantik berdandan keren.
Hari 1, Senin 24 Maret 2011: Makan malam dan bertemu beberapa bloggers luar negeri.
Sebelum sesi makan malam, kami diajak ke sebuah bar bernama Hoxton Square Bar & Kitchen di mana One Night Only tampil. Mereka adalah band yang juga dikontrak kerjasama dengan Coca Cola. Memainkan musik alternatif yang ternyata membuat puluhan perempuan menjerit. Para perempuan yang datang menonton konser malam itu, sebagian besar terlihat cantik dan berdandan dengan menarik. Konser dibuka oleh MC seorang bapak-bapak memakai jas, tanpa basa-basi tanpa ada sesi bagi-bagi merchandise atau kuis dari sponsor. Lantas, setelah setengah jam, One Night Only selesai manggung. Kami pun menuju ke restoran. Menu makan malamnya, tak terlalu menarik buat lidah saya yang Indonesia banget. Hehe. Untung masih ada nasi dan ayam kari yang mau tak mau harus dilahap daripada masuk angin dan kepala keleyeng-keleyeng karena pusing.
Hari 2, Selasa 23 Maret 2011: Melihat Maroon 5 di London Studio.
Oke sekali lagi saya terangkan soal event ini. Coca Cola meminta Maroon 5 membuatkan lagu untuk mereka dalam waktu 24 jam. Bloggers serta jurnalis diundang dari seluruh dunia untuk menyaksikan event ini. Ada juga live streaming via www.coca-cola.com. Plus, interaksi antara penggemar lewat twitter. Nah, saya diundang ke sana atas nama pribadi, bukan sebagai jurnalis, melainkan sebagai blogger [cieee ka marana atuh blogger?]. Di sesi pembuka, perwakilan Coca Cola menerangkan visi misi mereka. Menurut mbak-mbak yang menerangkan, faktor utama Coca Cola bisa bertahan lebih dari 125 tahun dan dekat dengan anak muda adalah karena mereka mengerti anak muda. Nah, salah satu passion anak muda adalah musik, karena itulah Coca Cola menggelar 24 Hour Session Maroon 5 ini.
Untuk info soal hari 1, silakan baca di blog saya sebelum ini:
http://solehsolihun.multiply.com/journal/item/132
Seharusnya, saya dan Endah serta blogger dari Mesir, mendapat jatah wawancara alias meet and greet dengan Maroon 5, jam satu pagi. Tapi karena lelah, jadwal wawancara dibatalkan. Oya, di hari kedua ini, saya dan Endah menyempatkan pergi ke Hyde Park yang legendaris, tempat The Rolling Stones menggelar konser gratis setelah kematian mantan pemain gitar mereka Brian Jones. Hyde Park berjarak kurang lebih setengah jam dari hotel, dan bisa ditempuh dengan mudah lewat kereta api atau bis kota. Oyster, alias kartu untuk naik bis dan kereta, bisa dibeli di stasiun dan petugasnya pasti akan menerangkan kepada kita berapa banyak yang harus kita beli untuk perjalanan yang kita inginkan.
Jalur kereta apinya tak rumit. Saya yang baru pertama kali datang ke London, bisa dengan mudah mempelajarinya. Jadi, bertanya pada orang ditambah peta jalur kereta, maka mudahlah perjalanan Anda. Soal jadwal, dengan jelas Anda bisa melihat kapan kereta datang sehingga lagu Iwan Fals yang “Kereta Tiba Pukul Berapa” akan sangat tak cocok untuk kondisi di sana.
Di kereta, penampakannya adalah orang-orang berangkat kerja, lengkap dengan jas dan baju kerjanya, membaca koran atau buku. Ternyata di pintu stasiun, dibagikan koran gratis sehingga orang-orang mendapat berita baru setiap pagi tanpa harus mampir ke newsstand yang ada.
Hari 3, Rabu 24 Maret 2011.
Setengah tujuh pagi saya dan Endah sudah berangkat dari hotel untuk menuju Abbey Road yang legendaris itu. Rasanya belum lengkap, ke London tanpa mengunjungi Abbey Road yang ternyata kurang dari setengah jam sudah bisa ditempuh dari hotel kami dengan kereta. Zebra cross di Abbey Road yang dipakai oleh The Beatles untuk sampul album dan ditiru banyak orang, ternyata zebra cross biasa, yang dilewati orang-orang setiap hari. Konon, sudah banyak orang yang tertabrak gara-gara berfoto di sana. Maklum, zebra cross itu ada di ujung persimpangan jalan di mana kendaraan melintas dengan kencang. Bagusnya, ketika saya tiba di sana, belum jam delapan pagi sehingga lalu lintas belum terlalu ramai. Tapi ironisnya, ketika kami bercerita soal betapa girangnya kami ke Abbey Road, ada salah seorang dari para undangan itu yang tak tahu apa itu Abbey Road, padahal dia penyanyi di negeri asalnya.
Di London Studio, siang harinya beberapa bloggers diajak untuk terlibat dalam sesi rekaman. Bukan untuk bernyanyi atau bermain musik, tapi untuk bertepuk tangan. Kelompok pertama: orang Indonesia, Jepang, Singapura, dan Thailand. Entah disengaja atau tidak, tapi kelompok itu terdiri dari orang-orang Asia. Kami merekam tepuk tangan dipandu semua personel Maroon 5 kecuali Adam Levine yang entah ada di mana siang itu. Beres sesi rekaman, kami diberi kesempatan wawancara dengan pemain bass Mickey Madden dan pemain gitar James Valentine. Silakan lihat videonya di sini:
Sesi ditutup dengan quick meet and greet alias foto bareng dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Saking singkatnya bahkan kami tak diijinkan memakai kamera sendiri, melainkan memakai kamera fotografer resmi mereka yang katanya akan dikirim tapi belum dikirim juga. Oya, sebelumnya Maroon 5 memainkan lagu “Sunday Morning” di dalam studio dan disiarkan langsung lewat situs Coca Cola dan disaksikan kami lewat layar kaca yang tersedia di Coca Cola Cafe alias tempat bloggers berkumpul.
Hari 4, Kamis 25 Maret 2011.
Hari terakhir saya gunakan untuk datang ke Camden Street, tempat yang katanya populer untuk belanja. Sayang sekali, waktu saya hanya lima belas menit di sana. Karena saya tiba di sana hampir jam dua belas, sedangkan jam satu siang saya harus sudah check out dari hotel. Dengan bis, jarak dari hotel ke Camden Street, kira-kira 45 menit. Jalanan London tak terlalu besar, tapi tak banyak kendaraan di jalan sehingga kalaupun macet, itu karena antrian yang biasa bukan karena antrian gila-gilaan kendaraan. Orang-orang banyak yang menggunakan kendaraan umum atau sepeda [banyak sepeda di sana tapi sepertinya semua memakai rem alias tak ada yang fixie. ;p]. Camden berisi banyak pertokoan, dan yang lebih menariknya adalah pasar yang jika diibaratkan di Bandung seperti Pasar Gede Bage alias barang bekas tapi berkualitas, hanya saja yang menjualnya di Camden adalah bule, atau bule yang tak cebok pakai air lebih tepatnya. Kalau berkunjung lagi ke London, saya pasti akan menghabiskan waktu lebih lama di sana.
Perjalanan pulang ke bandara, saya juga diantar oleh Mercy dengan supir yang memakai jas. Endah pulang lebih dulu karena harus manggung hari Jumat, daripada was-was tak terkejar waktunya jika pesawat telat berangkat. George nama supirnya. Orang London asli, tapi keturunan Yunani. Dia cerita soal supir taksi di London yang penghasilannya bisa 1000 poundsterling seminggu—maklum, taksi di London sangat mahal, perjalanan setengah jam saja bisa menghabiskan uang 65 poundsterling alias hampir 900 ribu rupiah. Dia punya teman yang supir taksi. Kerjanya hanya dua minggu di London, lalu berlibur ke Spanyol dan menghabiskan uang lalu balik lagi. Tapi sebelum menjadi supir taksi, orang harus menghapalkan 333 jalur dari kira-kira 1000 jalur di London. “That’s why our drivers are the best in the world!” kata George soal supir taksi di London. George bukan supir taksi, dia hanya melayani pesanan dari perusahaan.
George cerita soal 2,5 juta penganggur di London yang diberi uang oleh pemerintah. “Sistem kami buruk,” katanya dengan nada kecewa, “di satu sisi beberapa dari kami kerja keras, tapi ada juga yang bermalas-malasan dan mendapat uang dari pemerintah. Tapi kami sedang mencoba memerbaiki sistem itu.” Kata George, banyak juga perempuan di Inggris yang memilih jadi single parent alias hamil dan punya anak tapi tanpa ayah, demi mendapat tunjangan dari pemerintah. Baik George maupun Kamen, semuanya punya pendapat sama: hidup di London itu keras.
Tapi meskipun keras, saya ingin balik lagi ke London suatu hari nanti. Belum sempat mengikuti tur yang ada di sana. Ada tur seharga 8 poundsterling yang menyediakan paket tur The Beatles, hingga paket tur Rock n’ Roll alias berkunjung ke tempat-tempat penting dalam sejarah musik di Inggris! Pastikan Anda ikut tur itu, silakan google saja.
Oya, tips, buat yang ingin berlibur ke London dan masih bisa update di Twitter atau mengirim SMS ke Indonesia. Datang saja ke toko SIM Card dan beli di sana. Mudah dan lebih murah jika dibandingkan Anda harus membayar biaya roaming provider Anda.
Maka kembalilah saya ke Jakarta dengan Emirates. Di Dubai, isi penumpangnya sebagian besar orang Indonesia: campuran antara TKI dan mereka yang sepertinya pulang umrah. Di pesawat, bapak-bapak tiba-tiba menduduki kursi saya yang letaknya sudah enak bagi saya: di lorong. Si bapak, tanpa permisi tiba-tiba duduk.
“Saya punya penyakit suka sering kencing,” kata si bapak, tanpa bilang maaf atau minta ijin terlebih dahulu mengambil tempat duduk orang. Istrinya mendukung ucapan si bapak. Selama perjalanan, saya hitung cuma dua kali dia pergi ke toilet. Akhirnya, sebagai balasan karena kesal kursi saya diambil begitu saja, ketika mereka terlelap, saya bangunkan dan minta ijin untuk ke toilet. Haha.
NB: London adalah salah satu kota yang ingin saya kunjungi, selain Mekkah untuk naik haji, New York karena banyak band punk besar di sana, dan Yunani karena pacara saya ingin sekali ke sana. Ini berarti, satu impian telah terwujud. Terima kasih Tuhan. Terima kasih Coca Cola.
Sampai jumpa lagi London.
Menulis Blog di London: Catatan Perjalanan 24Maroon5
London, Selasa 23 Maret 2011 jam setengah delapan malam waktu setempat.
Haha. Gaya sekali ya nulisnya. Tak pernah saya mengira suatu hari akan datang ke London dan menulis blog di sini. Detik ini, ketika saya menulis blog ini melalui Galaxy Tab (ini juga sesuatu yang tak pernah saya kira akan saya lakukan karena biasanya saya malas menulis agak panjang kalo tak lewat komputer), Maroon 5 sedang menulis lagu untuk Coca Cola.
Di Coca Cola Cafe (ini nama cafe yang ada di London Studio) saat ini, sedang berkumpul puluhan bloggers dari seluruh dunia. Dan sejak hari Senin kemarin, saya berbahasa Inggris terus sampai bibir saya panas. Hehe. Mungkin juga karena cuaca yang dingin kira-kira tujuh derajat celcius.
Ada bloggers dari Mexico, dua orang yang satu perempuan bernama Lucie yang lincah dan ekspresif, yang satu lelaki bernama Andres seorang freelancer berkumis. Kata mereka, Coca Cola sangat populer di Mexico. Dua hal yang harus ada di setiap rumah di sana adalah pesawat televisi dan Coca Cola. Oya lalu ada blogger dari Singapura bernama Sylvia Ratonel yang ternyata penyanyi ternama di sana dan datang dengan seorang manajer (mungkin da satu-satunya yang datang dengan manajer pribadi). Ada blogger dari Los Angeles, Amerika Serikat, seorang pria heboh bernama David Lehre yang berambut jikrak ala remaja masa kini dan kata salah seorang folower saya si David ini memproduseri Agnez Monica. Ada juga blogger dari Rusia bernama Evgeniy Kozlov yang parlente dan dari cerita dia sih sepertinya dia punya perusahaan. Saya pergi bersama Endah Widiastuti, vokalis/gitaris duo Endah N Rhesa.
Oya, soal Coca Cola dan Maroon 5. Dari keterangan mbak-mbak Coca Cola yang menyambut kami tadi sore, ternyata alasan utama Coca Cola memakai musik untuk alat kampanye adalah karena mereka sadar bahwa musik adalah gairah nomor satu bagi anak muda. Karena peka terhadap keinginan anak muda itulah, Coca Cola mengatakan bahwa mereka bisa disukai anak muda selama lebih dari 125 tahun!
Dan karena mengaku tahu apa yang anak muda mau itulah, Coca Cola mengadakan sesi workshop 24 jam Maroon 5 yang memungkinkan anak muda di seluruh dunia berpartisipasi via twitter dengab hashtag #WithMaroon5 atau untuk Indonesia #24Maroon5.
London, Saya Datang!
Rajawali — The Flowers di Terusik Traxkustik [percobaan upload kedua].

Ini tentang lagu-lagu bertema alkohol.
Sejauh ini, ada tiga lagu bertema alkohol buatan band lokal yang saya sukai: “Di Sayidan” dari Shaggydog, “Alkohol” dari Seringai, dan “Rajawali” dari The Flowers. Meskipun saya bukan peminum alkohol, tapi saya sangat menikmati mendengarkan lagu itu.
“Di Sayidan”, karena bisa mewakili dengan baik karakter Shaggydog. Cerita tentang satu daerah di Jogja, yang juga markas mereka: sebuah daerah bernama Sayidan, dan minuman khas Jogja: lapen. Serta semangat kumpul-kumpul yang diceritakan di lagu itu.
Di Sayidan di jalanan
Angkat sekali lagi gelasmu kawan
Di Sayidan di jalanan
Tuangkan air perdamaian
“Alkohol”, juga karena apa yang digembar-gemborkan Seringai bisa didapatkan di lagu itu: senang alkohol dan pernyataan menolak tua yang disampaikan melalui musik rock. Yang paling baru, adalah Rajawali. Gitaris Boris, si penulis lagu ini, mendapat inspirasi karena melihat kelakuan vokalis Njet yang sering membawa minuman dalam kantong plastik berwarna hitam. Menurut Boris, adegan ini biasa dia lihat waktu mereka masih sering nongkrong di Potlot–bukan sebagai Slankers tentunya. Fakta bahwa Njet menginspirasi Boris untuk membuat lagu ini, dalam kadar tertentu adalah sebuah aww moment [momen di mana penonton terharu dan pelan-pelan berkata, aaawww]. Duet maut Boris Njet bagaikan hati dan jiwa The Flowers. Mereka adalah Mick and Keith versi The Flowers.
“Rajawali” [biasa diplesetkan di panggung menjadi RJWL, mengikuti cara penulisan clothing-clothing lokal yang jadinya terlihat pasaran itu], konon adalah sebuah merk minuman. Liriknya sangat bercerita. Boris dengan baik menangkap momen ketika Njet datang dan membagikan minuman itu kepada teman-temannya. Adegan orang-orang duduk melingkar dan menunggu distribusi minuman dari Njet, juga mengingatkan pada adegan anak-anak burung yang sedang menunggu makanan dari sang induk. Dan hey, judul lagu itu Rajawali! Sebuah kebetulan yang menyenangkan.
Sebagai sebuah lagu, Rajawali adalah lagu yang jadi jaminan akan menjadi magnet di panggung. Sejak intro, lagu itu sudah mengikat kuping untuk terus mendengarkan. Lantas, mau tak mau badan diajak bergoyang oleh groove lagu yang sangat mengundang. Belum lagi part di mana crowd bisa ikut berteriak dan menyanyikan lagu [ketika sebuah lagu memberi kesempatan untuk penonton bernyanyi dengan mudah, maka lagu itu biasanya akan langsung membuat konser semakin panas, atau dalam konteks konser The Flowers, akan menimbulkan klimaks yang menyenangkan].
Dan dalam konteks The Flowers, part ini sangat mudah. Crowd hanya tinggal menyanyikan atau meneriakkan satu kata: Rajawali.
Raja! Raja! Raja Rajawali!
Raja! Raja! Raja Rajawali!
Orang yang buta nada atau buruk dalam menghapal lirikpun akan dengan mudah mengikuti. Lalu, part di mana lirik “Oleng ke kiri dan oleng ke kanan” juga jadi sebuah gimmick yang menghibur. Penonton bisa ikut bergerak miring ke kiri dan ke kanan. Jika dilakukan dalam jumlah penonton yang sangat banyak, maka faktor menghiburnya akan lebih berlipat-lipat. Part ini biasanya sukses membuat penonton tersenyum.
Dalam konteks yang serupa, Naif punya part semacam ini dalam lagu “Curi-Curi Pandang” di mana ketika bagian “curi ke depan curi ke belakang curi ke kanan dan curi ke kiri” biasanya penonton akan dengan mudah mengikuti koreografi. Dan konteks lagu Rajawali, gerakannya lebih sederhana dan tak terlalu memakan tempat, karena hanya ke kiri dan ke kanan. Plus, tak serumit koreografi tari poco-poco atau pun senam prajurit yang terlalu banyak hitungannya itu.
Lalu, part di mana Njet bernyanyi “Kalau kau tak suka dengan isi gelasku, pergi sana menjauhlah dari diriku” adalah sebuah lirik yang berisi pernyataan keras tapi tak terdengar sombong dan mengesankan lebih jantan hanya karena meminum alkohol. Dan kalau mau dilihat dari konteks agama Islam, memang sebaiknya cukup menjauhlah dari kegiatan orang yang sedang minum-minum, seingat saya selama mengaji tak ada ajaran dari ustadz yang mengatakan kalau ada orang minum-minum alkohol, harus kita serang. Dan sebaliknya, kalimat itu juga bisa dipakai oleh mereka yang tak minum alkohol.
Bicara lagu soal minum-minum, saya selalu ingat lagu “Lisoi” milik orang Batak. Saya tak tahu isi tepatnya lagu itu bicara apa, yang saya tahu, lagu itu seperti soundtrack kegiatan minum-minum. Dan kebetulan, pemain gitar di lagu “Alkohol” dan “Rajawali” adalah orang Batak.
Jangan-jangan Ricky Siahaan dan Boris Simanjuntak, punya hubungan darah dengan si pencipta lagu “Lisoi”.
Oya, ini The Flowers membawakan lagu “Rajawali” di Terusik Traxkustik yang digelar Trax 101,4FM Jakarta, Minggu [23/5] malam di Hard Rock Cafe, Jakarta.
Rajawali — The Flowers di Terusik Traxkustik.

Ini tentang lagu-lagu bertema alkohol.
Sejauh ini, ada tiga lagu bertema alkohol buatan band lokal yang saya sukai: “Di Sayidan” dari Shaggydog, “Alkohol” dari Seringai, dan “Rajawali” dari The Flowers. Meskipun saya bukan peminum alkohol, tapi saya sangat menikmati mendengarkan lagu itu.
“Di Sayidan”, karena bisa mewakili dengan baik karakter Shaggydog. Cerita tentang satu daerah di Jogja, yang juga markas mereka: sebuah daerah bernama Sayidan, dan minuman khas Jogja: lapen. Serta semangat kumpul-kumpul yang diceritakan di lagu itu.
Di Sayidan di jalanan
Angkat sekali lagi gelasmu kawan
Di Sayidan di jalanan
Tuangkan air perdamaian
“Alkohol”, juga karena apa yang digembar-gemborkan Seringai bisa didapatkan di lagu itu: senang alkohol dan pernyataan menolak tua yang disampaikan melalui musik rock. Yang paling baru, adalah Rajawali. Gitaris Boris, si penulis lagu ini, mendapat inspirasi karena melihat kelakuan vokalis Njet yang sering membawa minuman dalam kantong plastik berwarna hitam. Menurut Boris, adegan ini biasa dia lihat waktu mereka masih sering nongkrong di Potlot–bukan sebagai Slankers tentunya. Fakta bahwa Njet menginspirasi Boris untuk membuat lagu ini, dalam kadar tertentu adalah sebuah aww moment [momen di mana penonton terharu dan pelan-pelan berkata, aaawww]. Duet maut Boris Njet bagaikan hati dan jiwa The Flowers. Mereka adalah Mick and Keith versi The Flowers.
“Rajawali” [biasa diplesetkan di panggung menjadi RJWL, mengikuti cara penulisan clothing-clothing lokal yang jadinya terlihat pasaran itu], konon adalah sebuah merk minuman. Liriknya sangat bercerita. Boris dengan baik menangkap momen ketika Njet datang dan membagikan minuman itu kepada teman-temannya. Adegan orang-orang duduk melingkar dan menunggu distribusi minuman dari Njet, juga mengingatkan pada adegan anak-anak burung yang sedang menunggu makanan dari sang induk. Dan hey, judul lagu itu Rajawali! Sebuah kebetulan yang menyenangkan.
Sebagai sebuah lagu, Rajawali adalah lagu yang jadi jaminan akan menjadi magnet di panggung. Sejak intro, lagu itu sudah mengikat kuping untuk terus mendengarkan. Lantas, mau tak mau badan diajak bergoyang oleh groove lagu yang sangat mengundang. Belum lagi part di mana crowd bisa ikut berteriak dan menyanyikan lagu [ketika sebuah lagu memberi kesempatan untuk penonton bernyanyi dengan mudah, maka lagu itu biasanya akan langsung membuat konser semakin panas, atau dalam konteks konser The Flowers, akan menimbulkan klimaks yang menyenangkan].
Dan dalam konteks The Flowers, part ini sangat mudah. Crowd hanya tinggal menyanyikan atau meneriakkan satu kata: Rajawali.
Raja! Raja! Raja Rajawali!
Raja! Raja! Raja Rajawali!
Orang yang buta nada atau buruk dalam menghapal lirikpun akan dengan mudah mengikuti. Lalu, part di mana lirik “Oleng ke kiri dan oleng ke kanan” juga jadi sebuah gimmick yang menghibur. Penonton bisa ikut bergerak miring ke kiri dan ke kanan. Jika dilakukan dalam jumlah penonton yang sangat banyak, maka faktor menghiburnya akan lebih berlipat-lipat. Part ini biasanya sukses membuat penonton tersenyum.
Dalam konteks yang serupa, Naif punya part semacam ini dalam lagu “Curi-Curi Pandang” di mana ketika bagian “curi ke depan curi ke belakang curi ke kanan dan curi ke kiri” biasanya penonton akan dengan mudah mengikuti koreografi. Dan konteks lagu Rajawali, gerakannya lebih sederhana dan tak terlalu memakan tempat, karena hanya ke kiri dan ke kanan. Plus, tak serumit koreografi tari poco-poco atau pun senam prajurit yang terlalu banyak hitungannya itu.
Lalu, part di mana Njet bernyanyi “Kalau kau tak suka dengan isi gelasku, pergi sana menjauhlah dari diriku” adalah sebuah lirik yang berisi pernyataan keras tapi tak terdengar sombong dan mengesankan lebih jantan hanya karena meminum alkohol. Dan kalau mau dilihat dari konteks agama Islam, memang sebaiknya cukup menjauhlah dari kegiatan orang yang sedang minum-minum, seingat saya selama mengaji tak ada ajaran dari ustadz yang mengatakan kalau ada orang minum-minum alkohol, harus kita serang. Dan sebaliknya, kalimat itu juga bisa dipakai oleh mereka yang tak minum alkohol.
Bicara lagu soal minum-minum, saya selalu ingat lagu “Lisoi” milik orang Batak. Saya tak tahu isi tepatnya lagu itu bicara apa, yang saya tahu, lagu itu seperti soundtrack kegiatan minum-minum. Dan kebetulan, pemain gitar di lagu “Alkohol” dan “Rajawali” adalah orang Batak.
Jangan-jangan Ricky Siahaan dan Boris Simanjuntak, punya hubungan darah dengan si pencipta lagu “Lisoi”.
Oya, ini The Flowers membawakan lagu “Rajawali” di Terusik Traxkustik yang digelar Trax 101,4FM Jakarta, Minggu [23/5] malam di Hard Rock Cafe, Jakarta.
Slank di I Like Monday Hard Rock Cafe Jakarta

“Harusnya telanjang masuknya,” kata Kaka berseloroh soal singkatan HTM. “Sebelum konser, banyak yang nanya sama aku, HTM-nya berapa. Aku tadinya bingung, HTM apa ya.”
Kaka humoris sekali malam itu. “Wah, gara-gara Jack D nih,” kata Bimbim sambil tersenyum melihat ke arah Kaka.
Senin, 17 Mei 2010, Slank mulai tampil pukul setengah sebelas malam. Sebelumnya ada band pembuka bernama Gary Plant, yang katanya dari Kanada.
Konsep I Like Monday kali ini, akustik. Dan Slank tampil nyaris tiga jam dengan memainkan lebih banyak lagu dari era album Tujuh [1997] hingga sekarang. Tapi penonton tak hanya sing along di lagu era itu, karena mereka juga sing along pada lagu-lagu lama.
“Kadang-kadang, kita suka melihat rumput tetangga lebih hijau,” kata Kaka sebelum membawakan setiap lagu.
“Kalau gitu, gua nggak mau jadi tetanggalu ah Ka,” sambar Bimbim sambil tertawa.
“Aku hanya mandi sekali, biar hemat air. Tapi bersihin selangkangan berkali-kali,” kata Kaka.
Dan penonton tertawa.
Dialog-dialog itu hanya sekilas dari betapa menyenangkannya suasana konser malam itu. Saya tak bisa menulis lebih banyak lagi, karena harus menulis laporan yang sama untuk di majalah. Hehe. Nanti kalau sudah ada di Rolling Stone Online, saya masukkan link-nya lah.
Untuk sementara, nikmati klip singkat ini, Slank membawakan lagu “Lembah Baliem.”
Kelly Clarkson di Tennis Indoor Senayan Jakarta

Sebelum juara American Idol yang pertama ini datang ke Jakarta untuk konser pada 29 April 2010, beberapa orang yang mengatakan peduli terhadap perkembangan anak dan anti rokok mengecam keras konser Kelly Clarkson yang disponsori oleh LA Lights. Salah satu tokoh lokal–si-penyayang-anak-bapak-bapak-menolak-tua-pemelihara-si-komo–yang melancarkan keberatannya adalah Kak Seto. Dia bilang, Kelly Clarkson adalah idola anak-anak [ternyata dia mengambil contoh anaknya yang penggemar Kelly] dan khawatir karena rokok yang mensponsori itu akan membuat anak-anak merokok.
Padahal, kalau menurut saya, yang paling berpotensi mempengaruhi seorang anak untuk mencoba merokok, adalah pergaulan. Bukan apa-apa, iklan rokok, berbeda dengan iklan produk lain yang menunjukkan secara langsung manfaat yang ditawarkan. Tak ada misalnya seperti iklan produk kecantikan yang menawarkan kulit mulus. Saya bukan perokok, tapi saya tak keberatan konser musik disponsori merek rokok.
Akhirnya, setelah sempat terancam batal, Kelly Clarkson tetap datang juga, karena katanya dia menghargai penggemarnya yang sudah menanti.
Beberapa jam sebelum konser, bos Java Musikindo, Adri Subono menunjukkan kepada saya, dan dua rekan kerja: Wenz Rawk dan Hasief Ardiasyah, surat dari Midas Production–kalau tak salah, itu booking agent Kelly Clarkson–yang mengatakan bahwa mereka tak ada keberatan dengan rokok menjadi sponsor.
“Gua udah lima belas taun bikin konser, nggak mungkin lah gua ceroboh,” kata Adri yang menanggapi pernyataan Kelly Clarkson di media massa yang mengatakan dia tak tahu menahu soal sponsor rokok.
Setelah berbicara dengan Adri, saya mendengar selentingan dari jurnalis lain yang bilang bahwa ini terjadi karena Kelly Clarkson berganti manajemen sehingga membuat dia tak tahu soal sponsor rokok untuk konsernya. Wenz Rawk berencana membuat feature panjang soal perusahaan rokok jadi sponsor untuk konser musik. Silakan tunggu di Rolling Stone Indonesia edisi Juni 2010.
Sekarang kita bicara konsernya. Kelly Clarkson mulai tampil pukul setengah sembilan malam, dengan pembukanya lagu dari AC DC. Dan imej rock itu sepertinya yang ingin ditampilkan dia. Hanya dengan jins dan kaos hitam bergambar Pink Floyd serta aksesoris kalung serta gelang, Kelly sudah cukup percaya diri.
Tapi, saya malah melihatnya Kelly Clarkson tidak niat berdandan. Seperti baru pulang jalan-jalan dari Senayan City dan langsung manggung. Tak ada aura bintang, apalagi bintang skala internasional. Dan maaf ya, bukannya saya ingin meledek para perempuan bertubuh gempal, tapi melihat Kelly Clarkson kemarin sangat-sangat mengecewakan.
Seorang American Idol ternyata tak mampu menjaga supaya tubuhnya tetap langsing dan menarik. Maaf, kita bicara soal industri musik pop yang mau tak mau memang tak hanya mengutamakan suara bagus, tapi juga penampilan yang menarik. Kostum panggung yang terlalu biasa dicampur dengan tubuh yang melar membuat Kelly Clarkson kurang berhasil memuaskan dari sisi visual, apalagi buat penonton seperti saya yang bukan penggemar lagu-lagunya dan berharap melihat penyanyi bule cantik kelas dunia. Tapi Kelly menunjukkan bahwa kualitas vokal dia prima.
Ini dia sedang menyanyikan hitsnya, “Since You Been Gone.” Saya merekamnya, lagi-lagi, dengan Nokia X6 dari jarak lebih dari dua ratus meter [bahkan dari kejauhan pun, saya bisa melihat betapa lebarnya dia. :p] sehingga timbul ide di kepala soal kepanjangan nama KELLY: Kelihatannya Emang Lumayan Lebar Ya.