Ada antrian panjang di depan pintu masuk Ecobar Kemang, Selasa [16/12] jam sembilan malam ketika saya baru tiba di sana.
Bukan antrian sembako atau antrian dalam rangka masuk ke klub trendi seperti di adegan film, tapi antrian orang yang mau membeli piringan hitam album Matraman dari The Upstairs. Sebagian besar laki-laki [saya sih tak melihat perempuan di antrian] berusia dua puluhan hingga tiga puluhan.
Setelah berusia sepuluh tahun, album Matraman kini dikeluarkan dalam bentuk piringan hitam.
Saya pertama kali tahu nama The Upstairs, tahun 2001, ketika magang di tabloid Bintang Millenia. Ada seorang fotografer bernama Vitri Yuliani, yang sering memakai kaos The Upstairs. Desainnya cerah warna-warni di atas kaos putih. Dan Vitri juga menulis The Upstairs sebagai band indie terbaik di Bintang Millenia edisi ulang tahun di mana mereka memuat profil para jurnalisnya. Kalimat Vitri waktu itu: mosque of indie band in Jakarta. Entah apa maksudnya. Apakah maksudnya kiblat band indie atau tempat solat band indie. Hehe.
Vitri bilang, The Upstairs adalah band pacarnya. Dan beberapa kali, ketika dia membuka email di komputer kantor, saya sering melihat dia membuka email yang sebagian besar isinya dari seseorang bernama Jimi Danger.
Tak lama setelah saya magang, saya membaca profil Jimi Danger dalam sebuah wawancara dengan majalah Trolley yang waktu itu masih berukuran kecil. Si pewawancara menggambarkan sosok Jimi sebagai paduan antara Mick Jagger dan Iggy Pop yang ketika Jimi bernyanyi, menggeliat seperti cacing. Dan dengan memakai nama Jimi Danger, saya mendapat kesan bahwa Jimi adalah sosok urakan nan rock n’ roll yang merupakan gabungan dua idola saya: Mick dan Iggy.
Lalu, pada 2002, suatu siang ketika MTV Indonesia masih berjaya dan masih memutar lagu-lagu bagus, saya melihat video klip “Antahberantah” dari The Upstairs. Saya langsung jatuh cinta dibuatnya.Video klipnya meskipun low budget tapi bisa menangkap energi lagu dengan baik.
Baru pada 2005, ketika menjadi reporter di MTV Trax Magazine, saya bisa menyaksikan langsung untuk pertama kalinya The Upstairs di sebuah bar atau cafe bernama De Basic dalam konser mereka yang diberi judul Konser Matraman. Saya membeli CD album Matraman dengan harga Rp 25 ribu. Kini, sepuluh tahun kemudian, piringan hitam mereka dijual dengan harga sepuluh kali lipatnya. Angka yang cantik ya. Hehe.
Jimi adalah abang-abang mirip preman pasar tapi dengan rambut jambul, kaos lengan buntung, dan skinny jean berwarna cerah [sebelum celana model begitu jadi trendi seperti sekarang!]. Venue nya kecil, tapi penuh sesak oleh orang-orang yang berjoged dengan menggila. Jimi masih berbicara kotor di panggung, dan lirik “Aku di Matraman kau di kota Kembang” dia plesetkan menjadi “Aku di Matraman kau dientot orang.”
Ini adalah periode liar Jimi Multhazam yang waktu itu masih tak keberatan dipanggil Jimi Danger. Tentu saja itu diambil dari lagu Gimme Danger punya The Stooges. Kalau tak salah, salah satu teman Jimi yang memanggil itu untuk pertama kalinya. Nama panggung yang keren, kalau menurut saya. Ada aura urakan, berwibawa, liar, dan rock n’ roll.
Proses merekam album Matraman, kalau saya tak salah dengar, hanya memakan biaya produksi Rp 5 juta. Menurut mantan manajer Wenz Rawk, album itu banyak berhutang jasa kepada Ario Hendarwan, gitaris/vokalis The Adams, karena sesi rekaman dan mixing dilakukan di rumahnya. Album yang merupakan paduan baik antara manisnya musik pop, semangat cerianya new wave/disco, dengan agresifnya punk rock. Energi The Upstairs masih meledak-ledak, mendengar vokal Jimi di album ini, saya mendapat kesan bahwa Jimi hanya ingin bernyanyi, bisa merekam saja sudah syukur, jadi tak perlu memikirkan apakah suaranya bakal bagus atau tidak.
Dan “Matraman” adalah salah satu lagu cinta terbaik sepanjang masa. Intro kibordnya yang pop sekali, lalu disambut lirik pembuka: “Demi trotoar dan debu yang beterbangan ku bersumpah. Demi celurit mistar dan batu terbang pelajar ku ungkapkan.” Gila. Lirik yang keren untuk menggambarkan orang yang jatuh cinta dan mengungkapkan perasaan. Jatuh cinta tak selamanya harus diungkapkan dengan menye-menye atau lemah mendayu-dayu. Dan kalimat sumpah tadi, dengan baik menggambarkan suasana jalanan di ibukota yang kotor dan pada masanya sempat ramai oleh tawuran pelajar sekolah.
Lagu ini manis sekali. Manis tapi dengan lirik yang jantan.
Album ini membuat saya memasukkan Jimi Multhazam ke dalam daftar penulis lirik terbaik dari Indonesia.
Satu lagu lagi yang begitu mendengar membuat saya langsung terpana adalah “Apakah Aku Berada di Mars atau Mereka Mengundang Orang Mars”. Lagu tentang Jimi datang ke sebuah klub, dan orang-orang yang di sana berdansa dengan seragam. Menurut Jimi, saat itu, dia sendiri yang gerakan dansanya berbeda dengan orang lain.
Beberapa tahun kemudian, ketika The Upstairs menjadi raja pensi dan bermunculan banyak sekali Modern Darlings [sebutan untuk penggemar mereka], The Upstairs telah menciptakan planet mars di setiap konser mereka. Modern Darlings berdansa dengan seragam, pakaiannya senada, dan semuanya adalah interpretasi mereka terhadap visual The Upstairs. Mereka yang bukan Modern Darlings pasti akan bertanya seperti itu juga akhirnya: apakah aku berada di Mars atau mereka mengundang orang Mars.
Maunya sih saya membahas satu per satu lagu di album Matraman, tapi apa daya, mata sudah mengantuk. Jadi, daripada uring-uringan atau lemas tak berdaya karena kurang tidur, mendingan saya segera akhiri tulisan ini.
Singkat cerita, setelah album Matraman, The Upstairs sempat jadi raja pensi, lalu mereka mengalami proses ditinggalkan manajer terbaiknya: Wenz Rawk, dan satu per satu personel aslinya. Dua personel asli mereka, drummer Beni Adhiantoro dan bassist Alfi Chaniago mundur dari musik karena sudah menemukan Tuhan dan merasa harus menjauh dari sik sik musik.
Selasa malam tadi, di Eobar Kemang, ada Jimi dan Kubil Idris sang gitaris dalam sesi tanda tangan. Dua yang tersisa dari personel di album Matraman. Bagai Mick and Keith di The Rolling Stones atau Iggy dan James Williamson di The Stooges, selama ada gitaris dan vokalis, maka band biasanya masih bisa bertahan.
Saya masih menanti munculnya album terbaru dari The Upstairs dan tentu saja lirik-lirik ciamik dari Jimi Multhazam. Selama ini belum ada lirik dia yang bercerita soal hubungan dia dengan anaknya, Pijar Cakrawala. Saya penasaran, seperti apa dia menuangkan kisah atau harapan dia tentang anaknya ke dalam lagu. Yah, seperti kata Jimi dalam hesteg nya di Instagram: Punk is Dad.
Anyway, terima kasih The Upstairs atas musik kalian. Semoga esok kita berdansa.